Bab 5

197 30 1
                                    

Jangan lupa votenya ya guyss😉

Penantian ku selama beberapa hari ini untuk mengikuti acara bazar UMKM akhirnya tiba juga. Sejak pagi buta, tanganku sudah sibuk memadukan beberapa pakaian yang telah kupilih untuk aku gunakan hari ini. Pakaian yang aku gunakan nantinya harus bisa memberi kesan bahwa aku adalah perempuan feminime, mandiri, serta cinta negara.

Mungkin pakaianku hari ini akan sangat berbeda dengan penampilanku pada hari biasanya.

Tak masalah, berani tampil beda itu baik.

Pilihanku telah jatuh pada sweater rajut berwarna cream dengan motif bunga-bunga dan bahkan ada gambar lebah di atasnya. Aku juga membiarkan rambutku tergerai dan memakai bando rajut dengan bentuk rangkaian bunga matahari. Tak lupa rok lipit berwarna mocha yang membalut hingga bagian betisku.

Aku mematut wajahku pada kaca meja rias. Kurasa aku cukup cantik, bentuk wajahku memang tidak tirus, dan malah bulat.

Tapi ini adalah bulat menggoda, hanya orang baik saja yang bisa melihat pesonanya.

“Lo kan cuma mau jual benang doang Sur, bukan jual diri. Udah kali dandannya.”

Aku menoleh malas ke arah sumber suara.

Ck ck ck! Dasar mengganggu!

“Lagian nanti juga keringetan, muka lo jadi lepek, kucel mana bau ase...”

Tanganku membekap mulut Didip yang hendak menghancurkan kepercayaan diriku yang sudah kubangun selama beberapa hari. Meski yang dikatakan Didip ada benarnya, apa salahnya jika aku berusaha untuk berdandan lebih hari ini? Lagipula para calon pembeli pasti akan tertarik jika sang penjual juga terlihat cantik dan menarik.

Penampilan memang selalu menjadi nilai lebih bukan?

“Lo gak boleh ngomong yang jahat-jahat. Hari ini kita harus keliatan manusia yang positive vibes gitu Dip. Aura-aura menebar kebaikan.”

“Kayak caleg kalo pas mau pemilu gitu ya Sur?”

“Tepat sekali saudara Didip.”

“Gampang itu ma... jangankan menebarkan kebaikan, menebarkan benih bayi aja gue sanggup.”

Segera kusentil mulut mesum Didip sebelum berucap lebih kotor lagi. Aku lalu mengambil sebuah pin rajut berbentuk bunga matahari yang sama dengan bandoku. Kusuruh Didip untuk berdiri di depanku, aku memperhatikan penampilannya yang sudah sesuai dengan SOP yang telah aku katakan padanya kemarin malam. Warna baju kami yang sama membuat kami terlihat seperti tim yang solid dan kompak, dan untuk menambah kekompakan kami, aku mulai memasang pin pada dada kiri Didip. Untungnya tinggiku memang hanya sebatas dada Didip saja, jadi tidak perlu mendongak apalagi merunduk saat memasangnya.

Didip tiba-tiba meletakkan telapak kanannya di depan pin yang telah kupasang.

“Pin bunga di dadaku pin bunga kebanggaanku ... “

“Udah! Udah ayo kita berangkat!”

Kami akhirnya keluar dari kamarku dan malah berpapasan dengan mas Abi yang kebetulan membuka pintu kamar. Gerakan kami bertiga kontan terhenti, mas Abi memperhatikan penampilanku dan berganti melihat ke arah Didip.

“Mau kemana? tumben bajunya samaan.”

Tumben? Apakah selama ini mas Abi memperhatikan baju-baju yang aku pakai dengan Didip? Seingatku aku malah sering menggunakan baju yang senada dengan Didip saat keluar bersamanya. Tidak benar-benar sama modelnya, hanya warnanya saja.

“Mau jualan di bazar mas.” Aku menimang untuk basa-basi lagi pada mas Abi. “Mas mau ikut?”

Mas Abi tidak langsung menjawab, momen ini begitu mendebarkan untukku dan aku yakin Didip yang sudah mengkeret di belakangku merasakan hal yang sama.

Jawa-Jawa KotaWhere stories live. Discover now