bab 12

168 29 7
                                    

Semoga gak banyak typo ya... soalnya agak banyak. Jangan lupa vote sama komennya guys🤗😉

**
“Terus kamu gak pingsan kan Ken? Gak kencing di celana juga kan?”

Aku memutar bola mataku ke atas mendengar pertanyaan ibu yang terlewat menganggapku seperti bocah umur 5 tahun. Memang benar jika mentalku ini agak mleyot, tapikan tidak sampai segitunya juga.

"Enggaklah buk," jawabku pada ibu.

Sesampainya di rumah tadi, aku langsung disambut dengan raut wajah khawatir para anggota keluarga yang nampaknya memang sengaja berkumpul menunggu kedatanganku.

Yang paling heboh tentunya ibuku.

Kehebohan ibu bukanlah menyalakan kembang api ataupun menangis dan memelukku. Tidak ada selebrasi semacam itu, yang ada aku malah hampir dibawakan sapu lidi yang untungnya langsung disembunyikan oleh bapak.

Bukan berarti setelah itu aku juga selamat dari penghakiman ibu.

Tak ada sapu, telapak tanganpun jadi. Sambil mengomel ibu memukul lenganku berkali-kali."Ora sisan minggat dadi TKW Ken?!" untungnya saat ini ada tubuh Didip yang kugunakan sebagai tameng. Tubuh Didip aku gerakkan ke kanan, lalu ke kiri sesuai arah serangan dari ibuku.

(Gak sekalian kabur jadi TKW Ken?)

"Ampun buk!" Aku memohon pada ibu yang tak kunjung berhenti memukuli kepalaku saat ini.

"Udah budhe... Surti kan kepalanya habis penyok, jadi wajar kalo pikirannya kacau. Kalo tambah budhe gebukin, malah makin sinting nanti."

Aku tahu niat Didip berkata seperti itu agar ibu berhenti memukuliku, tapi kan bisa menggunakan kalimat yang lebih manusiawi! Lagipula kepalaku tidak penyok, hanya pitak saja.

Kalimat Didip memang nyatanya berhasil membuat gerakan ibu terhenti. Meski begitu, raut wajahnya masih terlihat kesal dan jengkel.

Kemana tadi raut wajah ibu yang penuh kekhawatiran? Padahal anaknya baru saja patah hati, tapi malah disambut dengan KDRT begini.

KDRT yang kualami sebenarnya terjadi karena sebelumnya, ibu, bapak, dan mas Abi tidak tahu sama sekali alasanku tiba-tiba menghilang begitu saja. Salahku juga yang tidak mengabari salah satu diantara mereka terlebih dahulu sebelum pergi tadi.

Tapi kan ini belum 1 x 24 jam sejak aku menghilang, akupun sudah termasuk usia dewasa, harusnya mereka tidak usah sekhawatir ini.

Aku kan jadi merasa bersalah...

Setelah keadaan jauh lebih tenang, Didip yang tiba-tiba menjadi juru bicaraku menjelaskan apa yang terjadi padaku saat ini. Semua cerita tentang Mario yang pernah aku ungkapkan ia ceritakan secara berurutan. Termasuk buku diaryku tentang Mario yang pernah ia baca dan juga tentang aku yang memergoki Mario saat sedang menjemput gebetannya yang bernama Bunga.

Sial! aku malah jadi malu begini! Bolehkah aku menyumpal mulut Didip dengan busa sofa saja?

"Owalah cah ayu anak ragile bapak wis kesandung tresno to?"

(owalah anak bungsu bapak yang cantik ternyata udah jatuh cinta?)

Aku hanya meringis dan menahan rasa malu karena kini semua keluargaku telah mengetahui kisah cintaku yang berakhir tragis siang tadi.

"Kayak bapakmu aja sih Ken, kalo patah hati bikin semua orang khawatir," ucap ibu sambil melirik ke arah bapak yang tiba-tiba menggaruk kepalanya.

"Emang Pakdhe pernah patah hati sama siapa Budhe?" kali ini Didip yang bertanya.

"Ya sama Budhe lah Dip... Malah lebih parah dari pada Keken yang main kabur aja. Pakdhemu dulu ngancem mau nyembelih semua sapi bapaknya kalo Budhe gak mau nerima lamarannya." Yang tadinya semua orang fokus menatap pada ibu, kini malah beralih pada bapak yang malah memainkan bulu-bulu karpet.

Jawa-Jawa KotaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt