Bab 3

1.5K 148 28
                                    

"Berikan dia makan yang enak dan banyak. Apapun yang dia keinginan turuti." Levin memerintah pada pelayan setelah keluar dari kamar wanita buta itu.
Serentak pelayan mengangguk patuh dengan perintah Levin.

"Jangan lupa obati luka-luka ditubuhnya." sambung Levin kemudian.

"Baik, Tuan Levin."

Ketiga pelayan itu kembali masuk ke dalam kamar wanita buta itu untuk segera menjalankan tugas mereka. Levin mendesah pelan. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar. Hari ini ia akan kembali ke Jakarta, namun sepertinya niat itu akan ia urungkan. Ia ingin mengusut tuntas tentang wanita buta itu, wajahnya sangat mirip dengan wanita yang ia tabrak dulu.

Wanita itu tampak meringis kesakitan ketika pelayan mulai mengobati luka di tubuhnya. Ia berbaring tengkurap sambil merasakan punggung yang diobati.

"Kenapa tubuhmu banyak sekali luka, apakah selalu mendapatkan kekerasan fisik?"

Wanita buta itu diam, ia seolah menyimpan rapat apa yang terjadi padanya. Lagipula ia masih was-was dan harus waspada pada mereka semua, walau mereka bersikap baik sekalipun.

"Aku rasa dia orang yang tertutup." Pelayan itu berbisik-bisik pada pelayan lain.

"Sepertinya. Tapi untuk apa Tuan Levin membawa dia ke sini?"

"Aku tidak tahu. Sekarang cepat selesaikan pekerjaan kita dan segera memberikan dia makan. Badannya kurus sekali."

Kali ini, wanita buta itu tampak pasrah tanpa memberontak terhadap perlakuan para pelayan. Meskipun tanpa sadar, matanya tertutup rapat karena mulai terhanyut dalam tidurnya.


Levin memperhatikan dengan teliti lembaran kertas dan beberapa foto seseorang yang baru saja Riko berikan. Mata Levin fokus pada foto pria paruh yang ia pegang sekarang.

"Namanya, Herman. Dia ayah tiri dari Brielle, perempuan yang Tuan tabrak. Dan 100% perempuan buta itu, orang yang Tuan tabrak dulu."

Levin mengigit bibir dalamnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia mengingat-ingat satu tahun lalu di mana ia tidak sengaja menabrak seorang anak SMA yang saat itu tiba-tiba menyebrang.

On Flashback

Dengan langkah lebar dan cepat, Levin menggendong erat seorang gadis yang mengenakan seragam SMA, tubuhnya penuh dengan luka. Kepalanya berlumuran darah segar yang terus mengalir. Levin terlihat sangat panik dan cemas. Ia berteriak memanggil petugas rumah sakit yang saat itu sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.

"Tolong, selamatkan dia!" pinta Levin dengan suara lantang ketika beberapa suster datang mendekat.

Dengan sigap, suster-suster tersebut segera merespons dan membawa gadis itu ke ruang UGD. Levin menatap pintu UGD yang kini tertutup rapat. Tubuhnya gemetar dengan rasa bersalah yang menyusup begitu dalam benaknya.

"Di mana putriku?" Suara teriakan seorang wanita paruh baya menarik perhatian Levin yang sedang termenung di depan ruang UGD.

Levin segera menoleh dan melihat wanita itu menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa.

"Di mana putriku?" teriak wanita paruh baya itu dengan suara histeris di depan Levin.

Levin dengan hati yang berat menjawab, "Putri Anda sedang dalam penanganan medis. Saya sangat meminta maaf atas kecelakaan yang menimpa putri Ibu. Saya akan bertanggung jawab penuh dan menanggung semua biaya pengobatannya sampai sembuh."

Namun, seketika itu juga, seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dan mengancam Levin dengan tuntutan uang.

"Sebaiknya kamu memberikan kami uang sebesar 2 miliar sebagai kompensasi untuk masalah ini. Jika tidak, aku akan melaporkanmu ke polisi!" ucap pria tersebut dengan nada mengancam.

Levin merasa terkejut dengan tuntutan yang tiba-tiba itu, namun ia menyadari bahwa ia harus bertanggung jawab penuh atas kecelakaan tersebut. Tanpa ragu, Levin menjawab, "Tentu, saya akan memberikan uang yang diminta. Saya bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada putri Ibu."

Pria tersebut dengan senyuman licik di wajahnya terus menekan Levin, "Cepat berikan uangnya, setelah itu kamu boleh pergi. Pastikan uang biaya rumah sakit juga kamu yang membayarnya!"

Levin mengangguk dengan cepat dan segera menghubungi asistennya untuk menyiapkan uang yang diminta. Meskipun merasa tertekan dengan situasi ini, Levin tetap berusaha untuk menjalankan tanggung jawabnya dengan baik.

Off flashback

"Tuan? Apa Anda baik-baik saja?" teguran Riko membuat Levin tersentak dari lamunannya.

Levin menatap Riko dengan kebingungan. "Ya?" jawabnya, mencoba mengumpulkan pikirannya.

"Apa ada masalah, Tuan?" Riko balik bertanya, khawatir melihat ekspresi Levin yang tampak kacau.

Levin menggeleng cepat. "Tidak, tidak ada masalah. Terima kasih, Riko."

"Tolong, tinggalkan aku sendiri," pinta Levin. Saat ini, ia membutuhkan waktu untuk merenung dan memikirkan segala hal.

"Baiklah, Tuan," Riko mengangguk dan meninggalkan ruangan dengan hati-hati.

Levin kembali menatap lembaran kertas yg berisi biodata dan informasi tentang wanita buta tersebut. Ia kira keadaan wanita itu baik-baik saja pasca kecelakaan itu, namun sebaliknya. Karna saat ia memberikan sejumlah uang yang diminta orang tua gadis itu, ia sudah lepas tanggungjawab karna berpikir semuanya sudah selesai, tapi sebaliknya.

"Brielle," gumam Levin, beralih menatap foto seorang gadis berpakaian SMA yang tersenyum begitu bahagianya.


"Apa dia sudah makan?" Levin bertanya ketika kembali masuk ke dalam kamar wanita buta yang diyakini bernama Brielle.

Pelayan yang sedang menjaga Brielle menggeleng pelan. "Belum, Tuan. Sejak tadi dia hanya tidur."

Levin terdiam sejenak, merasa khawatir. Ia mendekati kasur di mana Brielle terbaring saat ini. Dengan lembut, ia membuka selimut yang menutupi tubuh wanita itu. Brielle hanya mengenakan tank top tipis, memungkinkan Levin untuk memeriksa luka-luka ditubuhnya.

"Apakah luka-lukanya sudah diobati?" tanya Levin tanpa mengalihkan pandangannya dari Brielle.

"Sudah, Tuan. Namun, luka-lukanya membutuhkan waktu untuk sembuh sepenuhnya," jawab pelayan dengan penuh perhatian.

Levin merasa lega mendengar bahwa luka-luka Brielle telah mendapatkan perawatan. Namun, ia tetap prihatin dengan kondisi wanita itu. Ia berharap Brielle bisa pulih dengan cepat .

Levin duduk di samping kasur Brielle, memperhatikan wajahnya yang tenang saat tertidur. Memandangi wajah Brielle membuat ia teringat dengan adik perempuannya.

"Besok aku akan pulang ke Jakarta. Tolong jaga dia dengan baik. Mungkin Minggu depan aku akan ke sini lagi. Informasikan apapun tentang perempuan ini."

Awalnya Levin ke kota ini hanya ingin menenangkan diri setelah pernikahannya gagal dengan sang kekasih yang ia cintai. Namun, takdir mempertemukan ia dengan Brielle.


~~~~~

Terima kasih yang sudah mampir

Jangan lupa vote dan komen untuk lanjut ke bab selanjutnya. Untuk sekarang alurnya masih terasa abu-abu, mungkin dipertengahan kalian akan paham.



Love After HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang