Hanya Budak

1.7K 144 62
                                    

"Saya ingin mengingatkan pada Tuan Levin, bahwa ada pesta bisnis yang akan dilaksanakan di hotel bintang malam ini," ucap Riko berdiri di samping Levin.

Levin yang sibuk memeriksa email yang dikirim karyawannya, menghentikan pergerakannya. Ia melirik Riko di sampingnya dengan kerutan halus di keningnya.

"Malam ini?" tanya Levin.

"Ya, Tuan. Bukankah kita ke Bandung untuk menghadiri pesta itu," balas Riko.

Levin hampir saja lupa. Ke Bandung bukan hanya untuk melihat keadaan Brielle, namun juga menghadiri pesta bisnis.

"Baiklah, kamu siapkan semuanya. Atur jam berangkatnya. Aku harus selesaikan pekerjaan terlebih dahulu."

Riko mengangguk. Namun, saat hendak pergi dari ruangan itu Riko menghentikan pergerakannya. Ia kembali menatap Levin.

"Jika boleh memberikan saran, sepertinya Anda harus membawa pasangan, Tuan. Karna sepertinya orang-orang hadir dengan pasangan mereka masing-masing," saran Riko.

Kabar pernikahan Levin memang tersebar, tetapi tidak semua orang mengetahui tentang kegagalan pernikahan tersebut. Pada saat itu, Levin hanya mengundang sedikit orang untuk menghadiri pemberkatan pernikahannya. sang calon pengantin tiba-tiba membatalkan pernikahan secara sepihak, yang membuat beberapa orang berpikir bahwa Levin sudah menikah.

Levin menopang dagunya seolah memikirkan sesuatu.

"Jika Anda ingin membawa pasangan, akan saya cari perempuan yang siap menemani Anda dipesta itu." Riko kembali bersuara.

"Tidak perlu, aku sudah mempunyai perempuan yang akan aku ajak. Kemarilah."

Levin menggerakkan tangannya, Riko segera mendekat pada bosnya tersebut. Levin membisikkan sesuatu pada Riko, membuat pria itu manggut-manggut dengan perintah yang diberikan.

"Baiklah, Tuan. Sebelum jam tujuh semuanya akan selesai," ucap Riko setelah menjauhkan dirinya dari Levin.


Brielle duduk termenung sambil duduk di sisi kasur. Ia bingung harus melakukan apa di kamar ini. Kegiatan Brielle selama tinggal di sini hanya makan, jalan-jalan di taman belakang, lalu tidur, seterusnya akan selalu begitu.

Brielle pernah berpikir, apakah suatu hari nanti ia bisa melihat. Keinginan terbesarnya hanya ingin bisa melihat, setidaknya ia tidak bergantung pada orang lain lagi. Beberapa saat diam termenung dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana suara pintu yang terbuka membuat Brielle menoleh ke arah sumber suara.

"Siapa?" Suara Brielle mengisi ruangan yang awalnya sunyi dan hening itu.

Tidak ada jawaban, melainkan suara langkah kaki yang terus melangkah mendekat padanya. Brielle bangkit dari tempat duduknya, ia segera mengambil tongkat panjang miliknya di samping.

"Hey, tenang. Kenapa seperti ketakutan seperti itu?"

Mata Brielle membulat sempurna mendengar suara yang tak asing baginya. Wanita itu tersentak ketika tangannya ditarik lembut lalu diletakkan sesuatu di telapak tangannya.

"Ini untukmu." Javier, pria memberikan sesuatu pada Brielle. Diam-diam ia masuk ke dalam kamar wanita itu..

Brielle meraba-raba benda yang ia pegang sekarang. Gelang? Kenapa pria itu memberikan gelang padanya?

"Duduk dulu di sini. Jangan takut, aku tidak akan melakukan apapun."

Javier kembali mendudukkan Brielle di bibir kasur, dan ia ikut bergabung duduk di sana.

"Itu gelang pemberian nenekku. Pakailah, anggap saja sebagai permintaan maafku waktu itu."

Brielle tertegun mendengar itu. Javier memasang gelang berwarna emas itu dipergelangan tangannya. Gelang gemerincing bila digerakkan akan menciptakan suara. Brielle langsung menarik tangannya dari Javier, wajah wanita itu tampak merenggut.

Javier hanya tersenyum dengan sikap Brielle. Ia memperhatikan wajah cantik wanita itu, yang seperti sangat berbeda saat mereka pertama kali bertemu.

"Apa kamu masih marah?" tanya Javier yang tampak tak bosan memandangi wajah Brielle.

"Pikir saja sendiri!" ketusnya, membuat Javier terkekeh.

"Jangan marah seperti itu. Kenapa galak sekali." Javier mencolek dagu Brielle, membuat wanita itu memekik tak suka.

Suara tawa Javier dan pekikan Brielle terdengar sampai luar kamar, karna pintu kamar yang tidak tertutup. Levin menghentikan langkahnya ketika ketika mendengar suara bising di kamar Brielle. Ia melangkah menuju kamar itu dan yang Levin lihat, Javier terlihat terus menggoda dan menyentuh pipi bulat Brielle.

Dada Levin bergemuruh melihat itu. Sudah ia peringatkan untuk jangan menggangu Brielle, tapi sepertinya Javier memang sangat bebal. Tanpa ragu Levin masuk ke dalam kamar itu.

"Khm!"

Suara deheman Levin yang sengaja dikeraskan membuat keduanya menoleh ke arah sumber suara. Levin melangkah menghampiri keduanya.

"Aku sudah mengatakan jangan menganggu_"

Javier dengan cepat memotong ucapan sang kakak."Aku hanya ingin memberikan dia gelang dan meminta maaf atas apa yang aku lakukan kemarin," ucap Javier raut wajah sesalnya.

Levin terkekeh mendengar itu, seolah ucapan adiknya ia anggap lelucon."Yakin minta maaf? Bukan karna hal yang lain?" tuding Levin, membuat Javier mengkerutkan keningnya.

"Sebaiknya keluar dari kamar ini. Bukankah ingin berkencan dengan kekasihmu itu? Sekarang cepat temui kekasihmu!" ucap Levin menarik Javier menjauh dari Brielle.

"Lepas, Kak. Kenapa sensi sekali!" Javier menyentak tangan Levin di lengannya."Memangnya tidak boleh aku berteman dengannya?"

"Tidak boleh!" sambar Levin dengan cepat. Javier terperangah melihat respon sang kakak.

Dengan mulut menggerutu kesal Javier keluar dari kamar itu. Ia ingin lebih lama lagi berinteraksi dengan Brielle, tapi Levin datang dan mengusirnya begitu saja. Kini, tinggallah Levin dan Brielle dalam kamar itu. Suasana dalam ruangan itu mendadak canggung, lebih tepatnya Levin yang merasa canggung.

"Apa dia mengganggumu?" Kalimat andalan yang selalu Levin lontarkan, ketika Javier dekat dengan Brielle.

Brielle menggeleng lemah."Tidak."
Brielle memalingkan wajahnya ke arah lain.

Levin menghela napas pelan."Malam ini aku ingin mengajakmu pergi keluar.".

Brielle terhenyak beberapa saat mendengar itu."Kenapa tiba-tiba mengajakku pergi?"

Levin mengusap tengkuknya demi menyamarkan sesuatu dalam hatinya."Aku ingin mengajakmu ke pesta."

"Untuk apa mengajakku ke pesta? Apa kamu lupa aku tidak bisa melihat. Akan sangat memalukan mengajakku pergi ke sana."

Dari segi fisik Brielle begitu sempurna dan cantik. Mungkin orang-orang tidak akan tahu bahwa wanita itu buta atau semacamnya. Levin pun begitu yakin mengajak Brielle pergi dan tak peduli dengan kekurangan wanita itu.

"Anggap saja ini upah dari kebaikan yang aku lakukan padamu."

Napas Brielle langsung tercekat di tenggorokan mendengar itu. Satu hal yang Brielle lupa, ia adalah seorang wanita yang dibeli untuk dijadikan budak.

~~~~

Bagaimana part ini?

Terima kasih yang sudah membaca sampai selesai❤️























Love After HateWhere stories live. Discover now