Bab 4

1.4K 141 59
                                    

Saat Levin hendak beranjak dari kamar Brielle, tiba-tiba wanita itu mengigau. Tubuhnya gemetar penuh ketakutan dan keringat dingin membasahi wajahnya. Levin yang awalnya hendak beranjak, mengurungkan niatnya. Ia menyentuh kening Brielle yang terasa panas, sepertinya wanita itu demam.

"Ampun Ayah, jangan pukul aku." Brielle terus menginggau disertai tangisan yang tersirat ketakutan berbalut luka menyiksa bathinnya.

Levin semakin khawatir melihat Brielle dalam keadaan seperti itu. Ia duduk di samping kasur dan dengan lembut mengusap-usap kepala Brielle, mencoba menenangkannya.

"Cepat siapkan air es di baskom, dia demam."

Pelayan dengan sigap keluar dari kamar dan segera menyiapkan air es sesuai permintaan Levin. Setelah beberapa saat, pelayan kembali dengan membawa baskom berisi air es yang siap digunakan untuk mengompres Brielle.

Levin dengan hati-hati mengambil kain bersih dan merendamnya dalam air es. Setelah memastikan bahwa kain sudah cukup dingin, ia dengan lembut mengompres kening Brielle.

"Kehidupan macam apa yang kamu jalani?" gumam Levin penuh iba. Melihat bagaimana ketakutan yang tergambar dari raut wajah Brielle seolah menggambarkan penderitaan yang wanita itu rasakan selama hidupnya.

Brielle yang menginggau, kini perlahan tenang. Deru napas wanita itu kembali teratur. Guratan ketakutan diwajahnya perlahan memudar. Melihat Brielle mulai tenang, membuat perasaan Levin lega.

"Temani dia di kamar ini," titah Levin yang diangguki pelayan.

Levin bangkit dari sisi kasur, sekali lagi ia memandangi wajah tirus itu, setelahnya pergi dari kamar itu. Pelayan wanita yang ditugaskan menjaga Brielle, kembali mencelupkan kain itu ke baskom lalu kembali mengompresnya.


Perlahan kelopak mata bermanik hitam legam itu terbuka. Tangan kurusnya meraba-raba kepalanya yang dikompres. Brielle, wanita itu bangun dari kasur yang menjadi tempat ternyaman tidurnya semalam. Dengan keadaan mata yang tak bisa melihat, Brielle turun dari kasur. Kedua tangannya meraba-raba sekitar. Setahunya dalam kamar ini ada toilet. Ia ingin pipis.

"Akh!"

Brielle langsung jatuh tersungkur ke lantai ketika kakinya tersandung sesuatu. Ia mengusap-usap lututnya yang terasa sakit setelah terbentur cukup keras dengan lantai marmer. Meskipun begitu, Brielle berusaha bangkit dari kembali mencari posisi toilet.

"Akh ... sakit!"

Lagi-lagi, kepala Brielle membentur tiang yang ada dalam kamar itu. Wajah pucatnya langsung berubah kesal. Entah sebesar apa kamar ini sampai ia sulit sekali mencari posisi kamar mandinya, dulu kamarnya kecil dan sangat mudah menemukan posisi toilet.

"Anda mau ke mana?" Suara pelayan membuat Brielle menoleh ke sumber suara.

"Tolong antarkan aku ke toilet, aku ingin pipis," ucapnya pelan dan serak.

Pelayan berusia 30 tahunan itu dengan segera menggiring Brielle menuju kamar mandi yang dilengkapi toilet.

"Ingin saya bantu melepaskan celananya?"

Dengan cepat Brielle langsung menggeleng. Ia terlihat seperti wanita yang sangat lemah sekali jika celana saja minta dilepaskan."Cukup beritahu posisi closednya saja," balas Brielle.

"Baiklah."Pelayan itu membawa Brielle menuju ke closed dalam kamar mandi itu."Jika sudah selesai, bisa panggil saya."

Brielle mengangguk. Ia dengan segera membuka celananya lalu menuntaskan buang air kecil. Setelah selesai, ia memanggil pelayan yang dengan cepat datang mendekat.

"Aku sudah selesai," ucapnya sambil membenarkan celananya.

"Kalau begitu Nona bisa ikut saya ke ruang makan, tadi malam Nona belum makan."

"Aku tidak lapar. Dan jangan panggil aku Nona, aku tidak suka."

"Baiklah kalau begitu, lalu saya harus memanggil apa?"

"Panggil saja aku, Brie."

Pelayan itu manggut-manggut."Baiklah. Tapi Anda harus ikut ke ruang makan, sedikit saja makannya setelah itu Anda boleh tidur lagi."

Brielle terdiam sejenak. Namun, setelahnya ia mengangguk. Ia pun sebenarnya lapar tapi ia tidak ingin kembali bertemu dengan pria asing yang membelinya. Ia takut pria itu akan melakukan macam-macam padanya.

Sekitar beberapa menit, Brielle keluar dari kamar dengan digiring oleh pelayan. Brielle terlihat cantik mengenakan dress bermotif bunga-bunga dan kedua rambutnya yang dikepang kuda. Terlihat lucu. Levin yang tengah menikmati sarapan paginya terdiam sejenak kala matanya melihat sosok Brielle.

Tanpa Brielle ketahui sama sekali, sosok Levin ada di ruang makan itu. Dengan hati-hati, pelayan mendudukkan Brielle di meja makan. Aroma sedap makanan segera mengisi ruangan dan membuat perut Brielle berbunyi lapar. Meskipun ia tidak bisa melihat makanan di depannya, namun Brielle bisa merasakan aromanya yang lezat.

"Ini, makanlah." Pelayan memberikan roti panggang dengan selai stroberi pada Brielle.

Entah karna kelaparan atau sangat bernafsu, Brielle memakannya dengan rakus seperti tidak makan beberapa hari.
Levin, yang melihat pemandangan itu di depannya, tanpa disadari bibirnya melengkung. Ia menopang dagu dengan kedua tangannya sambil memperhatikan Brielle dengan penuh perhatian.

Levin merasa campur aduk melihat cara Brielle makan begitu rakus. Di satu sisi, ia merasa senang melihat Brielle menikmati makanannya dengan lahap. Namun, di sisi lain, ia juga merasa sedih  bahwa Brielle mungkin tidak mendapatkan makanan yang cukup sebelumnya.

"Lagi, aku mau lagi," pinta Brielle menengadahkan kedua tangannya. Pelayan dengan cepat memberikan satu roti panggang lagi.

Perhatian Levin teralihkan ketika suara dering panggilan dari ponselnya. Ia segera bangkit dari tempat duduknya ketika melihat nama sang penelpon. Baru menggeser panah hijau di ponselnya suara cempreng seorang wanita sudah membuat telinga Levin pengang dibuatnya.

"Hallo, Kakak? Apakah Kakak baik-baik saja? Aku harap Kakaknya tidak mengakhiri hidup karna batal nikah!" Suara Jeva terdengar sangat khawatir dan memastikan keadaannya sang kakak.

"Tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja," balas Levin yang sekali-kali melirik ke arah Brielle.

"Syukurlah kalau begitu. Mama dari tadi sangat khawatir dengan Kakak. Cepat pulang ya. Nanti aku carikan perempuan yang lebih cantik daripada Salsa_"

Levin langsung mematikan sambungan telpon, tak tahan dengan suara cempreng Jeva, di tambah adik keduanya itu selalu lama jika mengobrol di telpon. Sementara Brielle tampak diselimuti kebahagiaan, akhirnya setelah dua hari kelaparan ia mendapatkan makan yang lebih manusiawi.

Apapun yang diberikan pelayan selalu diterima oleh Brielle lalu dimakannya sampai habis. Bagian mulut wanita itu tampak belepotan. Levin kembali duduk di kursinya dan melanjutkan sarapan paginya.

"Apa laki-laki gila itu ada di sini?"

Uhuk!

Levin langsung tersedak mendengar ucapan Brielle yang tentu ditujukan padanya. Sementara Brielle membulatkan matanya mendengar suara batuk seorang pria.

~~~~

Jangan lupa vote dan komen untuk lanjut ke bab selanjutnya💐

Terima kasih sudah mampir❤️



















Love After HateWhere stories live. Discover now