Bab 8

1.3K 145 84
                                    

Setelah berganti pakaian Levin memilih duduk diruang tengah sambil meminum kopi jahe untuk menghangatkan tubuhnya. Javier datang lalu duduk di kursi yang bersebrangan dengan Levin.

Alis Levin langsung menukik tajam, seolah tak senang dengan kehadiran adik bungsunya. Ia marah dan kesal saat melihat rekaman cctv di mana Javier memperlakukan Brielle dengan tidak manusiawi. Sejak kecil, Levin sudah diajarkan oleh Naya tentang bagaimana bersikap apalagi terhadap seorang wanita.

"Masih marah?" Javier bertanya seperti tak peka dengan raut wajah marah Levin.

Levin meletakkan kopi jahe yang ia minum di meja. Tatapannya lekat menatap Javier."Apa kamu tahu, perbuatanmu itu sangat buruk. Kamu seperti tidak mencerminkan laki-laki sejati."

Javier memiringkan kepalanya ke samping sambil terkekeh menatap sang kakak."Laki-laki sejati? Aku hanya ingin membuang hama, apa mata Kakak buta, dia perempuan jelek dan penyakitan. Sepertinya Kakak sudah tidak waras semenjak pernikahannya batal," balas Javier tersirat ejekan di dalamnya.

Levin menggelengkan kepalanya dengan sifat sang adik. Dari kecil sampai dewasa Javier tetap saja nakal. Entah sifat buruk orang tuanya yang mana  menurun dengan Javier.

"Kamu hanya fokus dengan kecantikan dan keindahan seorang perempuan, Javier. Kamu kira hanya perempuan berwajah cantik saja yang boleh di tolong?"

Ucapan Levin langsung membuat Javier terbungkam. Kata-kata Levin tepat sasaran karna ia tahu betul dengan sifat adiknya yang senang menjalin hubungan dengan begitu banyak wanita. Rata-rata wanita yang menjadi incaran adiknya yang cantik dan sexy.

"Tuan?"

Ketegangan diantara keduanya langsung buyar ketika Yura datang menghampiri Levin.

"Bagaimana keadaannya? Apa sudah diganti pakaiannya?" Levin langsung melempar pertanyaan.

Yura mengangguk."Sudah, Tuan. Tapi tubuh Brielle begitu banyak bercak merah. Saya tidak tahu penyebabnya apa."

Levin langsung terdiam. Sebelah alis Javier terangkat mendengar itu. Ia menatap menyipit pada sang kakak, seolah menaruh curiga.

"Benarkah? Aku ingin melihatnya."

"Tetap duduk!" Suara berat Levin, membuat Javier mengurungkan niatnya yang hendak bangkit dari tempat duduknya.

"Memang kenapa? Aku hanya penasaran saja. Aku tidak asing dengan bercak merah yang Yura sebutkan," balas Javier sambil menahan senyum.

Levin memberikan kilatan tajam yang tersorot dari matanya."Dia hanya alergi!"

Levin langsung bangkit dari tempat duduknya lalu berlalu pergi dari sana dengan telinga yang memerah. Yura yang melihat kepergian sang majikan menatap bingung, sedangkan Javier menyemburkan tawanya. Ia tahu Levin menyembunyikan sesuatu darinya.

"Apa kamu lihat wajah Levin, Yura? Sepertinya kepiting rebus!" ungkapnya sambil tertawa-tawa. Baru kali ini Javier melihat wajah Levin yang tampak memerah seperti gadis perawan yang baru saja digoda.

Javier meredakan tawanya, lalu melontarkan pertanyaan pada Yura."Memangnya bercak merah di tubuh perempuan itu sangat banyak?"

Dengan cepat Yura mengangguk."Iya, Tuan. Saya takut dia kenapa-napa, padahal kemarin tidak ada tanda seperti itu di tubuhnya."

Javier manggut-manggut mendengar itu dengan senyuman yang mengembang. Entah Yura terlalu polos atau bagaimana hingga tidak bisa mengenali bercak merah tersebut.


Pagi-pagi buta saat semua orang belum terbangun dari tidurnya, Brielle duduk bersandar di bahu ranjang. Ia tampak terkejut ketika merasakan dirinya sudah terbaring di kasur setelah kehujanan dan hampir mati di luar sana. Tangannya terulur mengusap bagian lututnya di perban dan bagian pelipisnya pun juga diperban.

Suara pintu yang terbuka membuat Brielle langsung menoleh ke arah sumber suara. Levin yang awalnya ingin melihat keadaan wanita itu tampak terkejut melihat Brielle sudah sadar. Ia melangkah masuk ke dalam. Entah mengapa Brielle selalu was-was jika seseorang melangkah mendekat padanya.

"Bagaimana keadaanmu?" Pertanyaan Levin membuat kerutan halus muncul di kening Brielle.

"Apa kamu kembali membawaku ke rumah ini?" Brielle balik bertanya dengan suara pelan seperti berbisik.

"Ya. Aku sungguh minta maaf atas perlakuan adikku padamu. Perbuatannya memang kurang ajar. Tapi aku sudah menasehati dan memperingatkan untuk tidak menganggumu lagi," papar Levin panjang lebar.

Brielle menghela napas panjang."Apa yang dia katakannya benar, perempuan asing dan penyakitan sepertiku tidak pantas tinggal di sini. Hidupku memang sudah ditakdirkan dikelilingi kesialan dan penderitaan," balas Brielle dengan perasaan sakit mengatakan itu.

Levin yang mendengar itu merasa hatinya sesak. Andai wanita itu tahu, kebutaan yang wanita itu alami adalah perbuatannya yang tak disengaja. Levin mendudukkan dirinya di sisi ranjang.

"Tidak ada namanya hidup sial dan penderitaan yang terus-menerus. Tentu ada kebahagiaan yang akan kamu rasakan, mungkin besok atau besoknya lagi."

Brielle diam tak menggubris ucapan Levin. Ia sudah kenyang dengan kata-kata yang seolah memberikan harapan kalau ia bisa merasakan kebahagiaan. Semenjak ia buta dan ibunya meninggal, kebahagiaan itu tidak pernah ia rasakan lagi. Hidupnya sudah suram dan gelap.

"Bagaimana kita mulai dengan berteman. Anggap saja aku teman baru yang akan selalu menolongmu." Levin mengulurkan tangannya pada Brielle.

Brielle memalingkan wajahnya dari Levin yang duduk di sampingnya. Ia tidak tertarik dengan tawaran pria itu, tidak mudah baginya mempercayai orang asing yang baru di kenal. Levin menarik uluran tangannya, melihat ketidak tertarikan Brielle dengan tawaran itu.

"Tidak apa-apa jika belum ingin. Aku harap kamu bisa tinggal dengan nyaman di sini. Aku pun akan kembali lagi ke Jakarta, semoga betah. Jika Javier kembali mengganggumu, langsung pukul saja," ucap Levin.

Brielle hanya diam. Wanita itu menciptakan tembok dengan sikapnya yang dingin dan acuh, membuat Levin sedikit sulit membangun kedekatan.


"Pulang sana!"

Dengan terang-terangan Levin mengusir Javier yang tampak tersenyum-senyum tengah videocall dengan dua kekasihnya, dua ponsel yang berbeda. Dan pintarnya pria itu membisukan videocall itu. Levin geleng-geleng kepala melihat itu.

"Tunggu sebentar, aku ingin di sini dulu," ucap Javier yang menatap merengut pada Levin lalu kembali fokus pada dua layar ponsel di hadapannya.

"Hati-hati, Nona Brie."

Suara Yura membuat Javier dan Levin sontak menoleh. Tampak pelayan itu menggiring Brielle yang keluar dari kamar. Javier terdiam memandangi wajah Brielle dengan cermat setelah didandani oleh Yura.

"Wajah perempuan itu seperti memiliki darah campuran," gumam Javier yang baru menyadari hal itu. Levin yang mendengar gumaman sang adik semakin lekat memandangi wajah Brielle.

~~~~~

Namanya saja Brielle. Kira-kira dia memiliki darah campuran apa ya?

Huh, bagaimana part ini?

Terima kasih masih setia menunggu

Kayaknya aku bakal jarang update karna sibuk revisi cerita Argio dan Naya. Huh, pusing kalau sudah revisi🥲

Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan vote dan komentar.

See you di part selanjutnya💕









Love After HateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang