Terancam

1.5K 147 46
                                    

Ketukan sepatu yang berkali-kali di lantai mengudara dalam ruangan yang tampak sangat sepi seolah tidak ada orang di sana, hanya ada Levin yang duduk di single sofa dengan hati yang gelisah. Beberapa kali matanya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Dari raut wajahnya, Levin tampak bosan menunggu pelayannya menyelesaikan pekerjaan yang ia berikan. Meskipun begitu, Levin tetap berusaha tenang dan sabar. Suara beberapa langkah kaki membuat Levin langsung menoleh ke arah sumber suara.

Waktu seolah berhenti dalam beberapa detik bagi Levin yang tertegun melihat sosok wanita bergaun merah tua. Gaun itu memiliki belahan di bagian paha yang membuat wanita itu terlihat seksi dan anggun. Levin tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita itu, terpesona oleh kecantikan dan karisma yang dipancarkannya.

Levin bangkit dari tempat duduknya, hatinya berdebar-debar. Ia membenarkan jas mewah yang ia kenakan.

Pelayan menggiring Brielle menghampiri Levin setelah kurang lebih satu jam wanita itu didandani dan rias secantik mungkin. Levin memandangi Brielle dari atas sampai bawah. Sangat cantik, membuat matanya tidak ingin menatap ke arah lain maupun untuk sekadar berkedip.

"Kerja bagus," ucap Levin pada para pelayan, yang tersenyum senang melihat sang majikan puas dengan kerja mereka.

Sementara Brielle begitu gugup. Bukan karna berdekatan dengan Levin, tapi gelisah dan takut karna akan dibawa ke tempat asing. Satu bulan mendekam dalam rumah, membuat Brielle takut untuk bertemu dengan orang-orang baru. Apalagi ia memiliki trauma yang sangat membekas dalam benaknya.

Brielle tampak sangat terkejut ketika Levin meraih sebelah tangannya, lalu digenggam. Pria itu bisa merasakan keringat dingin membasahi telapak tangan Brielle.

"Tenanglah, kita hanya pergi sebentar," ucap Levin, berharap kalimat itu membuat hati Brielle tenang.

Wanita itu hanya diam tanpa ingin merespon. Levin mengiring Brielle menuju mobil mewah yang sudah terparkir di depan teras rumah. Dengan lembut Levin membantu Brielle masuk ke dalam mobil, dan setelahnya Levin menyusul masuk.

"Apapun yang terjadi, tetap berada di sampingku," pinta Levin, membuat Brielle menoleh ke samping.

"Tapi aku hanya perempuan buta, tentu orang lain_"

Levin dengan cepat menyentuh bibir lembab Brielle dengan jarinya. Tubuh Brielle seketika meremang ketika pria itu menyentuh bibirnya. Berbeda dengan Levin yang seperti tersengat listrik menyentuh bibir lembut wanita itu.

"Kamu sudah terlihat sangat sempurna, bahkan aku ragu bila kamu benar-benar buta. Kamu sangat cantik," puji Levin dengan gamblang.

Pipi berisi Brielle seketika memanas hingga membuat pipinya yang dipoles blush sebelumnya semakin memerah. Levin tersenyum melihat wajah Brielle yang merah sangat lucu dan menggemaskan.

Kini, mobil yang keduanya tumpangi sudah mulai meninggalkan area rumah. Sepanjang perjalanan rasa gugup yang Brielle rasakan semakin menjadi-jadi. Ia benar-benar takut walaupun Levin berusaha menenangkannya.

Tidak terlalu memakan waktu lama, mobil yang keduanya tumpangi sudah sampai disebuah hotel karna tidak jauh dari tempat tinggal Levin. Pria itu lebih dulu turun dari mobil dan setelahnya membukakan pintu mobil untuk Brielle.

Seperti pria manis yang romantis Levin meraih tangan Brielle ketika keluar dari mobil. Levin menggiring Brielle masuk ke dalam hotel yang tampak ramai. Beberapa pasang mata menatap kagum pada wanita di samping Levin.

Suara musik instrumental menenangkan yang terdengar santai dan elegan, saat Brielle melangkah masuk ke dalam pesta yang dihadiri para pebisnis dan orang-orang penting serta berpengaruh.

"Selamat datang Bapak Levin, saya kira Anda tidak akan datang," ucap salah satu pria yang terpaut beberapa tahun dengan Levin.

"Tentu saya akan datang ke acara yang sangat penting ini," balas Levin.

"Dia siapa? Apa istrimu? Dia sangat cantik sekali."

Pujian dari salah satu pria yang berada di dekat Levin, membuat Brielle tertunduk malu mendengarnya. Levin merengkuh pinggang Brielle begitu erat, membuat wanita itu tersentak.

Levin tersenyum lebar mendengar pujian untuk Brielle. Ia dengan bangga memperkenalkan Brielle, "Terima kasih pujiannya, ini adalah Brielle, istriku yang cantik dan paling istimewa bagiku."

Tubuh Brielle langsung membeku mendengar kata-kata Levin. Istri? Bahkan hubungan mereka berdua tidak begitu dekat dan sekarang ia diperkenalkan sebagai istri. Apakah Levin sedang berbohong?

"Wah, ternyata benar dugaan saya. Anda sangat pintar mencari istri secantik ini. Saya dengar dia putri tunggal seorang pengusaha ternama."

Raut wajah Levin langsung berubah. Meskipun begitu ia berusaha tetap tenang dan santai."Ya, seperti yang Anda ketahui."

"Sepertinya istri Anda senang sekali memandangi orang yang tengah berdansa," ucapnya.

Levin menoleh ke arah Brielle yang menundukkan kepalanya. Seorang pun tidak akan menyangka bahwa wanita yang Levin bawa sekarang tunanetra.

"Ingin berdansa, hmm?" bisik Levin ditelinga Brielle. Hembusan napas Levin begitu menggelitik hingga membuat sekujur tubuh Brielle meremang.

Brielle hanya diam. Tangannya meremas dressnya dengan rasa takut yang mendera.

"Jangan tegang, tenangkan dirimu." Levin kembali berbisik ketika melihat wajah tegang Brielle.

"Kapan kita pulang?" Suara Brielle bergetar. Ia benar-benar takut berada di tempat ini.

Levin memperhatikan raut wajah Brielle yang berubah panik. Sebenarnya ia tidak tega melihatnya, hanya saja ia harus menyelesaikan acara ini setelah itu baru pulang.

"Ingin minum? Tunggu sebentar aku ambilkan." Levin hendak beranjak, namun dengan cepat Brielle mencekal pergelangan tangan Levin.

"Ja-jangan tinggalkan aku. Aku ingin ikut." Bagaimana pun kondisinya yang buta, membuat ia takut terpisah dari Levin.

Pria itu menipisnya bibirnya lalu menarik pergelangan tangan Brielle lembut. Ia mengambil segelas minuman perasa lalu diberikan pada Brielle yang langsung meminumnya sampai habis, sepertinya wanita itu sangat kehausan.

Namun, sepasang mata seorang pria terus memperhatikan gerak gerik Brielle dari jarak jauh. Matanya terus mengikuti ke mana wanita itu berjalan bersama seorang pria.

"Akhirnya aku menemukanmu, Brielle. Sekarang kamu sangat cantik dan terawat," gumamnya.

Rencana licik langsung tersusun dalam kepala pria itu. Bagaimana pun caranya ia harus merebut Brielle dari pria asing yang saat ini terus menggandeng tangan Brielle. Ia melangkah mendekat ke arah Brielle. Kondisi wanita itu yang buta, tentu tidak akan mengetahui ia ada di sini.

Brielle diam seperti patung. Kedua tangannya terus melingkar dilengan Levin. Ia benar-benar takut terpisah dari pria tersebut. Tanpa menyadari ancaman mengincar Brielle.

"Kamu benar-benar cantik sekali, Brielle."

Suara samar-samar seorang membuat Brielle menoleh ke samping. Ia mengenali suara pria tersebut seolah, pria itu tengah berdiri di sampingnya. Mengingat kondisinya yang buta membuat ia tidak bisa melihat siapa yang berada di dekatnya. Ia semakin memeluk erat lengan Levin.

"Kenapa?"

Levin menatap heran pada Brielle yang begitu ketakutan. Dengan gerakkan tak terduga, Brielle langsung memeluk Levin,  menyusupkan tubuhnya dalam tubuh hangat Levin.

"Aku ingin pulang." Sungguh, Brielle merasa terancam berada di tempat ini. Ia merasa kehadiran seseorang yang akan mengancam keselamatannya.


~~~

Maaf baru update ya

Karna ada kesibukan di rl sampai lupa dengan cerita ini. Itu pun kalau nggak ditagih update, mungkin nggak bakal update.

Terima kasih yang setia menanti cerita ini.

Maaf partnya agak pendek. Nanti aku usahakan dipanjangin lagi❤️



















Love After HateWhere stories live. Discover now