Bab 7

1.4K 149 65
                                    

Empat jam menempuh perjalanan, akhirnya Levin sampai di rumah yang awalnya menjadi hadiah pernikahannya untuk Salsa. Levin dengan tergesa-gesa keluar dari mobil. Pelayan yang melihat kedatangan sang majikan segera membuka pintu.

"Di mana Javier?" Levin langsung mencari adik bungsunya.

"Tuan Javier ada di ruang teng_" Belum sempat sang pelayan menyelesaikan ucapannya, Levin melangkah lebar ke ruang tengah.

Amarah dalam benak Levin sudah tidak bisa dibendung lagi, setelah mendapatkan laporan dari pelayanannya. Javier yang tengah berbaring santai di sofa tampak terkejut ketika kerah bajunya di cengkram.

"Apa maksudmu mengusir perempuan itu, huh?" Levin menatap penuh kemarahan pada adik bungsunya. Selama ini sudah sabar menghindari sifat Javier yang selalu membangkang.

"Ada apa dengan Kakak? Maksudnya perempuan yang mana?" Javier berusaha melepaskan cengkraman Levin yang semakin erat di kerah bajunya.

"Brielle, kenapa kamu mengusir perempuan buta itu?"

Javier terperangahnya mendengar itu. Jadi, kakaknya marah seperti ini hanya karna wanita penyakitan itu? Sungguh tak terduga."Astaga, Kak. Perempuan penyakitan seperti itu dirawat? Apa Kakak sudah gila?"

Levin mengeratkan rahangnya. Ingin rasanya menampar wajah sang adik yang selalu membuat kesabarannya goyah. Dulu, Levin bisa mentolerir sifat nakal Javier karna berpikir adiknya masih kecil, tapi sekarang nakalnya Javier sudah sangat keterlaluan.

Levin melepaskan cengkramannya di kerah baju Javier. Ia menoleh ke arah pelayan yang berdiri di hadapannya."Sekarang Brielle ke mana?"

"Saya tidak tahu Brielle pergi ke mana. Karna ..." Pelayan itu menjeda ucapannya sambil melirik ke arah Javier.

Levin yang seolah paham dengan maksud pelayan tersebut, memilih segera keluar dari rumah. Ia akan mencari Brielle, wanita malang itu tidak bisa dibiarkan terlalu lama berada di luar, mengingat kondisinya yang tidak bisa melihat.

Javier langsung memberikan kilatan tajam pada para pelayan yang langsung menunduk."Pasti kalian mengadu!" Sarkasnya, membuat para pelayan itu terdiam tak berani membalas.

Sementara disepanjang perjalanan yang gelap gulita karena hari sudah malam, Levin melajukan mobilnya di jalanan yang tampak lengang oleh pengendara. Pria itu semakin tampak gelisah dan khawatir ketika tiba-tiba saja hujan deras mengguyur. Jalanan mulai berkabut karna hujan meluruh begitu derasnya.

"Di mana dia?" Levin menatap ke sisi jalanan. Ia yakin Brielle tidak mungkin pergi begitu jauh, mengingat kondisinya yang bisa melihat.

Hal yang Levin takutkan, Brielle bertemu dengan orang jaha, apalagi wanita itu begitu lemah dan mudah sekali ditindas. Mata Levin menyipit ketika melihat dari jarak yang tidak begitu jauh melihat sosok wanita yang berjalan tertatih-tatih bahkan beberapa kali jatuh tersungkur. 

"Apa itu Brielle?" Levin semakin menambah kecepatan mobilnya.

Levin menghentikan mobilnya. Ia segera turun dari mobil lalu menghampiri sosok wanita yang ia yakin Brielle. Wanita itu tampak meringkuk di pinggir jalan setelah jatuh berkali-kali. Guyuran hujan yang deras ditambah hembusan angin yang cukup kencang membuat tubuh wanita itu gemetar.

"Brielle!" Suara keras seseorang yang memanggil, membuat wanita itu mencari-cari asal sumber suara. Ia dengan susah payah bangkit dan berjalan dengan pelan.

Levin menghentikan langkahnya, tubuh pria itu mematung sejenak melihat wanita yang ia cari. Kondisi Brielle saat ini membuat hati Levin meringis pedih melihatnya.

Brielle tampak sangat terkejut ketika seseorang memeluknya begitu erat. Sontak Brielle langsung memberontak, mengira itu adalah orang jahat yang berusaha menangkapnya.

"Lepaskan aku!" Brielle berusaha melepaskan dirinya. Karna tenaga yang melemah, usaha wanita itu sia-sia.

"Hey, ini aku." Levin menangkup wajah wanita itu.

Brielle langsung terdiam mendengar suara pria yang ia kenali. Melihat ke terdiaman wanita itu, Levin kembali memeluk Brielle. Hatinya sangat lega sudah menemukannya. Beruntung Brielle pergi tidak terlalu jauh.

"Akh!"

Brielle terpekik ketika Levin menggendongnya. Pria itu segera membawa Brielle masuk ke dalam mobil. Udara semakin dingin dan begitu menusuk ke pori-pori. Tubuh Brielle mengigil kedinginan ketika sudah dimasukkan ke dalam mobil. Levin mengecilnya volume pendingin dalam mobil.

"Dingin, dingin sekali," Brielle merintih pelan, sambil memeluk erat tubuhnya yang kurus. Udara di sekitarnya terasa menusuk tulang meskipun pendingin dalam mobil itu sudah dikurangi dinginnya.

Sementara itu, Levin baru saja memasuki mobil dan melihat kondisi Brielle yang kotor dan terluka. Ia segera mengambil tisu dan dengan lembut membersihkan wajah wanita itu, termasuk bagian pelipis yang tampak terluka. Ekspresi keprihatinan terpancar dari wajah Levin saat ia melihat kondisi Brielle yang rapuh dan terluka.

Melihat Brielle yang menggigil kedinginan, Levin mengusap-usap kedua telapak tangannya lalu menempelkan di pipi Brielle yang memucat, hal tersebut tidak memberikan kehangatan pada Brielle. Terlalu lama kehujanan membuat wanita itu tidak bisa merasa kehangatan dari telapak tangan Levin.

Pria itu semakin khawatir melihat Brielle yang terlihat pucat seperti mayat dan kulitnya perlahan berubah sedikit kebiruan. Namun, sekelibat teringat dengan seseorang yang menderita hipotermia, apakah Brielle mengalami hal ini?

Tidak ada cara lain. Levin segera melepaskan pakaian basah yang membalut tubuh Brielle. Tidak, ia tidak berniat macam-macam, ia ingin menghangat tubuh Brielle, mungkin agak kurang ajar tapi ini semua demi keselamatan wanita tersebut. Sementara Brielle tampak pasrah ketika seluruh pakaiannya dilepaskan.

Setelah melepaskan pakaian wanita itu, ia pun juga melepaskan pakaiannya. Dengan hati-hati ia membawa Brielle dalam pangkuannya lalu memeluk wanita itu dengan erat. Levin berharap kehangatan yang ia berikan dapat mengurangi rasa dingin yang Brielle rasakan.

Tidak sampai sana, Levin memberikan kecupan dan sesap dileher Brielle. Ia tidak berbuat mesum, ia benar-benar ingin membantu wanita tersebut. Brielle merespon setiap sentuhan dan kecupan yang pria itu berikan.

Perlahan Brielle merasa kehangatan yang menjalar pada tubuhnya. Kedua tangannya memeluk erat tubuh telanjang Levin. Perlahan Levin membaringkan Brielle di jok mobil tanpa melepaskan pelukannya dan sentuhan yang ia berikan. Orang lain mungkin akan mengira Levin tengah memperkosa seorang wanita yang tak sadarkan diri di dalam mobil.


Mobil yang Levin kendarai  memasuki area pekarangan rumah. Pelayan berdiri di teras berharap sang majikan membawa pulang wanita buta itu, mereka tidak bisa membayangkan bagaimana menderitanya wanita itu di luar sana apalagi kondisinya yang buta.

"Lihatlah, Tuan Levin menemukannya!" pekik salah satu pelayan kala melihat Levin mengeluarkan Brielle dari dalam mobil.

Wanita itu memejamkan matanya rapat. Levin melangkah masuk ke dalam rumah dan segera membawa Brielle ke dalam kamar, para pelayan langsung mengikuti sang majikan, ingin melihat keadaan Brielle yang tampak tidak sadarkan diri.

Javier yang melihat wanita itu dibawa kembali oleh sang kakak tampak memberengut kesal. Seolah Javier memiliki dendam kesumat dengan Brielle.

"Tolong, ganti pakaiannya. Jangan lupa lap tubuhnya dengan handuk yang dicelupkan dengan air hangat," perintah Levin setelah membaringkan Brielle di kasur.

"Baik, Tuan."

Levin segera keluar dari kamar itu untuk mengganti pakaiannya yang basah.

"Ya ampun, apa ini!" Yura, salah satu pelayan terpekik ketika melepaskan pakaian Brielle, dan menemukan begitu banyak tanda merah disekujur tubuh Brielle. Dari leher, dada, dan perut, penuh dengan tanda merah.

~~~~

Bagaimana part ini?

Semoga terhibur dengan cerita ini.

Jangan lupa  vote dan komen untuk lanjut ke part selanjutnya.








Love After HateWhere stories live. Discover now