PART 22

689 126 24
                                    

Edelweiss melirik jam dinding yang terpajang di ruang tamu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Edelweiss melirik jam dinding yang terpajang di ruang tamu. Pukul 20.10 dan ia mulai kelaparan, padahal sore tadi dia sudah memakan pizza. Seharian berada di rumah memang sangat membosankan. Ia hanya bisa bermain ponsel dan menonton drama korea favoritnya. Beruntung Leandro dengan sabar menemaninya. Jika tidak, Edelweiss pasti merasa sangat kesepian.

"Mau alpukat atau mangga?" tanya Leandro sembari membuka kulkas.

"Dua-duanya boleh." Edelweiss berseru.

"Oke."

Tak lama, Leandro datang membawa sepiring mangga dan alpukat yang sudah dipotong-potong. Ia menyodorkan piring itu pada Edelweiss.

"Malam ini tidurlah sendiri, jangan manja. Dengarkan musik klasik agar cepat tertidur."

"Iya, kau sudah berkali-kali mengatakan itu."

"Katanya ingin hidup mandiri. Tapi kenyataannya apa?"

"Wajar, Kak. Namanya sedang sakit. Tapi kau sudah merawatku, sekarang aku jauh lebih membaik dan tidak akan merepotkanmu lagi. Terima kasih buahnya."

Edelweiss menusuk potongan mangga dengan garpu dan memasukkannya ke mulut. Buah berwarna kekuningan itu terasa sangat manis di lidah. Ya, semanis hari-hari yang ia lewati. Kalau boleh jujur, ia sangat menyukai perlakuan Leandro padanya. Lelaki itu menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang kakak, merawat adiknya yang sedang sakit dengan baik. Rasanya, Edelweiss tidak ingin hari bahagia ini cepat berlalu.

Namun sayangnya senyumnya memudar ketika tiba-tiba Rebecca datang dengan membawa sebuah koper. Mata wanita itu terlihat sembab dan wajahnya mengisyaratkan sebuah kesedihan.

"Aku pergi dari rumah," ujar Rebecca dengan suara serak. "Boleh aku tinggal di sini sampai aku mendapatkan apartemen?"

"Kamar sebelah masih ditempati Edelweiss. Dia masih belum pulih dan tidak bisa pergi dari sini," jawab Leandro. Entah kenapa kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Aku sudah membaik, Kak. Tidak apa-apa, aku bisa tidur sendiri. Nanti aku akan kembali ke unit atas."

"Tidak bisa," bantah Leandro. "Kau tetap tidur di kamarmu, Rebecca bisa tidur di kamarku."

"Tapi, Kak—"

"Jangan membantah." Tatapan Leandro beralih pada Rebecca. "Bisa kita bicara?"

Rebecca mengangguk. Leandro mengambil-alih koper dari tangan Rebecca dan membawanya masuk ke kamar. Wanita berambut panjang itu mengikuti mantan kekasihnya.

Mendadak Edelweiss kehilangan selera makan. Mata birunya mengawasi pintu kamar Leandro yang sudah tertutup rapat. Perasaan macam apa ini, kenapa melihat sepasang mantan kekasih itu masuk ke ruangan yang sama, dada Edelweiss terasa sesak? Benarkah ini yang dinamakan cemburu? Atau sakit hati membayangkan kemungkinan lelaki itu bercinta dengan wanita yang ... liar di atas ranjang?

My Little Butterfly Where stories live. Discover now