1. Takdir Allah

112 19 0
                                    

Ibarat lentera kau berdiri rapi
dengan deretan cahaya api
seperti cahaya
kau menyinari perjalanan ku dengan susah payah

.

.

Sudah satu bulan semenjak kejadian yang laku. Kini keadaan Zaira cukup membaik, ia telah mengikhlaskan semua takdir Allah mencoba berdamai dengan ketetapan Allah karena apapun masalahnya Allah pasti akan memberikan jalannya.

Terbilang cukup lama akhirnya Zaira mulai menyadari akan arti hakikat cinta itu sendiri.

Zaira baru kembali dari kantornya. Ia baru saja menyelesaikan beberapa naska novelnya. Novel kali ini berjudul "Rencana Takdir" sebelumnya ia menuliskan cerita novel berjudul "Cinta di sepertiga malam" dan cerita itu cukup buming di kalangan remaja.

Setelah lulus SMA Zaira memutuskan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, ia mengambil jurusan Sastra karena dari kecil ia menyukai membaca dan menulis dan jangan lupakan satu hal, Zaira suka menghalu.

Drett Drett

Ponsel Zaira berbunyi, ia segera mengangkatnya siapa tau penting.

"Ra!" teriak seseorang di sebrang telpon.
Zaira segera menjauhkan telponnya dari telingan sebelum dirinya budek.

"Jangan teriak-teriak," tegurnya. Namun yang di tegur malah cengengesan gak jelas.

"Ayok buruan kesini. Aku udah lapar ini."

"Iya, ini otw."

Tut Tut

Ia segera mematikan ponsel sebelum mendengar jawaban dari sahabatnya. Karena jika tidak maka akan panjang urusannya.

Zaira segara membereskan berkas²nya lalu membawanya yang butuh saja sisanya biarlah tergeletak disana, toh tidak akan di makan kucing juga.

Mobil Zaira terparkir cukup jauh dari kantornya karena tadi pagi tempat parkiran penuh jadi ia menaruhnya di samping Cafe Racer yang letaknya cukup jauh.

"Mana ya?" Gumamnya, seraya mencari kunci mobilnya.

Cafe Racer cukup ramai pengunjung pada jam segini. Selain tempatnya yang bagus dan terkesan mewah harga makanannya pun tidak sampai menguras kantong. Cafe ini milik salah satu kenalan Zaira dan Viana--sahabatnya.

"Kenapa, Ra?" tanya Indri-- waiter di cafe ini. Dia juga temen dekat Zaira.

"Ini Dri, kunci mobil aku gak ketemu," jawabnya.

"Ohh, coba tanya Dika. Tadi dia nemuin kunci mobil depan Cafe."

"Yang bener?" tanya Zaira dengan mata berbinar. Indri mengangguk.

Zaira segera berlari mencari Dika hingga tanpa sadar ia meninggalkan sesuatu di atas meja.

"Dika!" Teriak Zaira hingga membuat sang empu terkaget setengah mati.

"Allahuakbar Zaira! Kebiasaan, salam dulu kek. malah teriak-teriak," tegur Dika. Namun yang di tegur justru malah cengengesan tanpa dosa.

Dika menggeleng-geleng kepala. Ia sangat hafal tabiat Zaira, Sudah hampir 2 tahun ia mengenal gadis ini sudah cukup baginya mengetahui sifat kekanak-kanakannya. Dika sudah menganggap Zaira seperti adiknya sendiri begitupun sebaliknya.

"Nih." tanpa basa-basi Dika segera melemparkan kunci mobil tersebut kearahnya itupun tanpa melihat gadis tersebut.

Jangan di tanya kenapa Dika bisa tau kalau itu kunci mobil Zaira atau bukan? Ya, karena ada gantungan kunci berbentuk Love dengan Huruf Z berwarna merah hal itu yang membuat siapa saja yang melihatnya pasti tau jika itu milik Zaira.

"Makasih, Abang." teriaknya lalu berlari pergi menuju parkiran mobilnya.

💮

"Indri, Ini milik siapa?" tanya seorang laki-laki.

Mendengar dirinya di panggil indri segera menghampiri orang tersebut yang tak lain adalah bosnya.

Indri melihatnya dengan mata menyipit mengingat-ingat milik siapa itu hingga akhirnya jatuh sebuah kertas kecil berwarna biru dari dalam buku tersebut karena sang bos membukanya.

laki-laki tersebut mengambil kertas kecil itu lalu membaca deretan kalimat bersajak didalamnya.

Jika cahaya lampu saja mampu menyinari tempat-tempat yang gelap.
Namun mengapa senyuman tidak bisa menyembuhkan luka-luka yang di buat?

Ibarat lentera kau berdiri rapi
dengan deretan cahaya api
seperti cahaya
kau menyinari perjalanan ku dengan susah payah

Seperti itulah kira-kira isinya.

Indri di buat tertegun melihat senyuman sang bos. Pasalnya pria ini tidak pernah sekalipun tersenyum kecuali di depan keluarganya atau anak kecil. Dan kini ia melihatnya langsung. OMG rasanya ingin terbang batin indri

"Hey, kenapa kamu diam?"

Indri tersentak kaget, bisa-bisanya ia terbuai senyuman pria di depannya. "E-eh, ti-tidak, Pak."

Tak ingin basa-basi pria itu langsung pergi begitu saja dari hadapan Indri.

💮

Hampir 30 menit Viana menunggu namun Zaira belum ada tanda-tanda akan datang hal itu sungguh membuatnya bosan.

Berkali-kali dirinya mencoba menghubungi gadis itu namun yang terdengar bukan suara Zaira tapi wanita lain atau lebih tepatnya operator. Menyebalkan Satu kalimat yang dapat mengapresiasikan moodnya sekarang.

Sungguh jika sahabatnya itu tidak datang hari ini maka ia akan memintanya membayar semua makanan yang akan ia pesan nanti.

Viana mendengus kesal. Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga. "Aku nunggu kamu sampe berlumut nih," ucap Viana sok mendramatis.

"Maaf, tadi kunci mobil aku jatuh, untung di temui kak Dika," jawab Zaira apa adanya.

"Dasar ceroboh. Ini bukan dua kali tiga kali kamu menjatuhkan kunci mobilmu," omel Viana.

"Yaudah, two the point. Novel aku mana?" pinta Viana.

Zaira mengacak-acak tasnya. Mencari keberadaan buku tersebut, namun hasilnya nihil dia tak menemukan buku tersebut bahkan ujung hidup buku itu gak kelihatan.

"Ilang," ucap Zaira dengan cengiran kudanya yang menampilkan deretan giginya yang rapi.

Viana menepuk jidatnya. Astaghfirullah sahabatnya yang satu ini benar-benar membuatnya frustasi, sungguh sial yang akan menjadi suaminya nanti.

"Maaf." sesalnya.

"Coba ingat-ingat kamu taruh dimana tadi," saran Viana

Zaira mengangguk mencoba mengingat dimana keberadaan bukunya itu. Ia meletakkan jarinya di pelipisnya seraya memejamkan matanya. "Haa..." teriak Zaira sambil mengangkat jarinya di samping kepala.

"Ingat?" tanya Viana dengan wajah berharap.

Namun serentak Zaira malah menjawabnya dengan gelengan kepala. Allahuakbar Sumpah demi apapun Viana ingin menendang sahabat ini hingga ke ujung samudra Pasifik. Ya Allah dosa apa ini hingga kesabaranku di uji sejauh ini batinnya.

Viana mengelus-elus dadanya mencoba sabar agar tidak mencakar wajah sahabatnya ini.

"Maaf, Vivi."

"Gakpapa, gakpapa." Akhirnya Viana hanya bisa pasrah dan tawakal.

Sajadah Cinta | On GoingWhere stories live. Discover now