05. Pertemuan berakhir pernikahan

92 13 0
                                    

Mata Zaira fokus pada sebuah mobil yang sedang berada di halama rumahnya. "Mobil siapa ini?" monolognya.

Viana sudah pulang lebih dulu ia, Zaira sudah mengajaknya untuk mampir namun sayangnya gadis itu menolaknya, katanya capek mau istirahat. Hari ini Zaira memang tidak membawa mobil sendiri semua ini atas permintaan Viana. Viana paham jika Zaira membawa mobil sendiri kemungkinan besar dia tidak akan pulang kerumahnya melainkan ke Rahmatullah.

Dengan langkah berat Zaira masuk kedalam rumahnya, "Assalamualaikum," sapanya pada penghuni rumahnya.

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka semua serentak.

Zaira di buat terkejut karena ada tamu di rumahnya. Sebenarnya ia sudah menebak bahwa ada tamu di rumahnya karena ada mobil pajero di depan pekarangan rumahnya namun yang membuatnya shock bukan tamu itu melainkan laki-laki tampan yang kini tengah duduk di samping ayahnya dan sialnya laki-laki itu adalah orang yang ia tabrak di danau tadi.

"Ehh, anak bunda sudah pulang," Bunda berjalan mendekati Zaira lalu membawa gadis itu untuk duduk di sampingnya.

"Ini putrimu yang akan di jodohkan sama anakku, Wir?" tanya wanita paruh baya yang tengah duduk di depannya. Wanita itu terlihat masih cantik walaupun sudah memiliki putra yang umurnya sudah bisa di katakan Tua?

"Iya, Num. Namanya Zaira," jawab Bunda.

"Masya Allah, Cantik banget," puji beliau.

Zaira menunduk malu. Apa-apa ini? apa dirinya tidak salah dengar barusan? di jodohkan? gila saja. Sudah jamannya markonah masih ada saja perjodohan.

"Bunda," panggil Zaira pelan.

"Kenapa?"

"Itu siapa?" tanya Zaira namun dengan posisi bisik-bisik.

"Calon suamimu," mata Zaira membulat sempurna nyaris copot. Jawaban macam apa ini yang barusan bundanya katakan.

Sesekali Zaira mencuri pandangan pada siluet di samping ayahnya. Laki-laki itu tetap tidak mengangkat pandangannya sama sekali. Zaira cukup di buat terpukau pada laki-laki didepannya. Wajah putih mulus, rahang tegas, bibir merah alami, sepertinya dia bukan cowok perokok. Dan jangan lupakan badan tegap dan gagahnya itu. "Masya Allah," ucapnya tanpa sadar.

Laki-laki itu tersenyum ia menyadari bahwa gadis di depannya tengah menatapnya kagum bukan karena dia mengintip atau apa tapi terlihat dari meja dengan lapisan kaca di depannya yang bisa melihat bahwa Zaira kini tengah memandangnya.

"Jadi bagaimana? apa pinangan anak saya di terima?"

"Tid--"

"Tunggu sebentar ya, saya ingin berbicara sebentar dengan putri saya," izin Bunda pada yang lain.

"Ohh, iya silahkan." sahut Zainal.

Bunda menarik tangan Zaira menuju dapur kebetulan dapur memang cukup sepi sekarang. "Kenapa sih, Bun?" tanya Zaira kebingungan.

"Bunda gak mau tau, pokoknya kamu harus terima lamarannya Irham!"

"Ohh jadi Irham namanya?" Zaira manggut-manggut. Sekarang ia tau siapa nama pria itu.

"..."

"Zaira gak mau!"

"Yasudah, bunda bakal kirim kamu ke kampung kaya dulu dan gak bakal bunda bawa pulang lagi!"

"Kok gitu?"

"Ya karena kalo kamu nolak dia berarti kamu mau bikin keluarga kita malu," jawab bunda.

"Kok bisa?"

"Bisalah."

"Gini amat punya bunda ngikut jaman," gumamnya pelan dan pasti masih bisa di dengar olehnya.

"Bunda?" panggilannya lirih.

"Apa?"

"Zaira masih trauma sama kejadian waktu itu," jawabnya jujur.

"Itu karena kamu gak nurut sama orang tua, coba yang sekarang di jamin hidupmu bahagia."

Zaira terdiam. Terlihat raut wajah bahagia bunda, wajah yang perlahan mulai keriput karena termakan usia. Zaira mencoba ngerenungi semua ucapan bundanya. Jika ia menolak laki-laki itu sama saja ia membuat malu orang tuanya untuk yang kedua kalinya namun jika ia menerima lamaran tersebut bagaimana dengan hatinya? Ntahlah, rasa dan trauma mencintai seseorang masih menjalar hangat di hatinya.

Ia menghembuskan nafasnya memilih keputusan yang pasti tak ingin mengecewakan orang tuanya untuk yang kedua kalinya lagi.

"Gimana?" Zaira mengangguk pasrah. Tidak ada pilihan lain semoga pilihannya kali ini benar.

"Bagus."

Bunda menarik tangan putrinya kembali menuju ruang tamu di sana sudah ada keluarga besar Irham.

"Bagaimana, Nak?"

Zaira mengangguk. "Iya, Zaira terima pinangannya om Irham."

"Alhamdulillah."

Irham terkejut saat dirinya baru saja di panggil om, apakah dirinya setua itu?.

"Baiklah, karena nak Zaira sudah menerima pinangan Irham. pernikahannya akan di langsungkan bulan depan." ucap aba Zainal

"Apa?"

"Baik, saya setuju semakin cepat semakin baik," jawab Farhan.

"Apa gak terlalu cepat? bukankah mereka masih butuh waktu untuk saling menerima satu sama lain." kali ini umi hanum yang angkat suara.

"Ya, waktu satu bulan itu cukup untuk mereka saling memahami satu sama lain."

"Saya setuju dengan, Zainal," ucap Farhan.

Zaira tidak berani berkomentar jika keputusan ayahnya seperti itu maka harus begitu. Ia takut akan membuat orang tuanya malu cukup sekali hal itu terjadi.

"baiklah, karena sudah di tentukan semuanya kami pamit pulang dulu, Han." pamit Aba Zainal.

"Ohh, iya-iya, mari saya antar."

Sebelum pulang Bunda memberikan beberapa kue kepada calon besannya, Zaira terlihat jengah dengan pemandangan membosankannya ini apa lagi saat melihat laki-laki sok didepannya itu sungguh membuatnya panas.

Keluarga besar Irham berpamitan untuk pulang Irham menyalami tangan mereka ayah dan bunda begitupun dengan Zaira yang juga menyalami tangan umi hanum dan aba Zainal.

Sajadah Cinta | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang