07. Rencana Allah

80 18 0
                                    

Sudah dua minggu terlewati tak terasa waktu berjalan secepat itu. Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar Zaira. Zaira menggeliat saat merasakan sesuatu yang terang memasuki matanya dengan cepat ia membungkus kembali tubuhnya dengan selimut.

"ZAIRAA!!" teriak Bunda saat melihatnya kembali menggulung dirinya dengan selimut.

"Pernikahan kamu bukan minggu depan, tapi lusa," ucap Bunda.

Zaira yang kaget langsung menyikap selimutnya dan langsung duduk menghadap sang bunda. "Bunda lagi bercanda, kann?" tanya Zaira tak percaya.

Bunda menggeleng. "Nggak serius."

Zaira membulatkan matanya sontak tak percaya dengan apa yang baru saja bundanya katakan. "Tapi undangannya buat bulan depan, Bunda."

"Kata siapa? Orang yang buat undangannya salah naruh tanggal yang biasanya tanggal 21 malah tanggal 12 jadi mau tidak mau kita harus langsungkan tanggal 12 lusa," ucap bunda dengan santainya.

Zaira yang panik langsung melompat dari tempat tidurnya menuju meja belajar miliknya dan mencari kertas undangan pernikahan miliknya dan Irham.

"Astaghfirullahil adzim," teriak Zaira saat melihat undangan itu ternyata benar. Kok bisa ya ada yang lupa bikin tanggal gini.

"Udah-udah, pokoknya kamu gak boleh keluaran hari ini besok dan lusa... Nikah."

"Ini rencana Allah, sayang." Zaira dan bunda menoleh ke arah suara tadi dan benar saja di ambang pintu sudah ada ayah yang sedang memandanginya dengan senyuman tulus yang selalu ia berikan. Senyuman hangat yang amat dirinya sukai.

"Ayahh." Zaira berlari dan menghambur ke pelukan sang Ayah.

"Putri ayah sudah mau jadi istri orang." ucapnya sambil mengelus puncak kepala milik putri bungsunya itu.

"Zaira gak mau pisah sama kalian," ucapnya lirih.

Farhan menatap lekat putri bungsunya. "Jadilah istri yang baik, Nak. Turutin semua kemauan suamimu ikuti kemanapun suamimu pergi. Jangan buat dia kecewa, Nak."

Ucapan Farhan seakan menusuk hatinya. Bukan! Bukan karena Farhan ingin mengusirnya ataupun karena putrinya akan ia lepas melainkan untuk mengingatkannya bahwa tanggung jawabnya kini telah lepas darinya dan menjadi tanggung jawab suaminya.

"Ayah..." Kalimat Zaira gantung, ia bingung harus berkata berbuat apa lagi. Belum juga resepsi pernikahannya tapi rasanya telah berat seperti ini ntah bagaimana nantinya.

💮

"Menurut kamu gimana, Na?" tanya Zaira. Ya, saat ini Viana tengah berada bersamanya dan Zaira sudah menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu.

"Yaaa.... Gimana lagi? Itu sudah rencana Allah."

Zaira menghela nafasnya. "Aku lusa nikah, ya?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Jangan nangis, jelek." ejek Viana sekaligus menenangkan sahabatnya ini.

Zaira menceritakan semuanya kepada Viana. Mulai awal pertemuannya yang di danau, perjodohannya yang tiba-tiba dan yang membuatnya tidak bisa melupakannya adalah ucapan Irham malam itu ketika sedang di halaman bersama anak-anak.

"Cieee."

"Kok, Cieee?"

"Co cuitt."

"Kepalamu!" kesal Zaira.

"Ingat kata dori, Ra."

Zaira yang mendengar ucapan Viana lantas menoleh dengan alis terangkat satu. "Apa?"

"Terus berenang, terus berenang."

Zaira mengerjapkan matanya. "Wong edan," ucap Zaira sambil melempar boneka beruang ke wajahnya.

"Aww... Sakit!"

"Bodo!"

Viana hendak membalas perbuatan sahabatnya itu namun niatnya urung saat mendengar kalimat yang di ucapkan sahabatnya.

"Ketika takdir Allah menetapkan dirinya untukku maka seperkian detik itu seluruh dunia dan isi tidak bisa menentangnya. Karena Allah maha menentukan," ucapnya.

Gadis itu tersenyum. Akhirnya sahabatnya sudah bisa menerima takdirnya walau tidak sepenuhnya. Tapi perlahan bisakan?

"Ehh, Na?"

"Apa?"

"Kalo pernikahan gue lusa apa gak terlalu mendadak? persiapan dan semuanya gimana?"

Viana tersenyum ke arah Zaira. Dengan senyuman yang bisa di katakan cukup menyeramkan.

"Sebenarnya sudah di siapkan satu minggu yang lalu." Zaira melototkan matanya. Tidak percaya dengan kalimat yang baru saja sahabatnya ucapkan.

"Kok aku gak tau?"

"Setelah orang tua kamu dan orang tua siapa dah namanya calonmu?"

"Irham."

"Nahh, iya, Irham. Setelah keduanya tau bahwa tanggalnya salah mereka langsung memutuskan..." Viana menggantung kalimatnya.

"Perasaanku gak enak."

"Yaa... benar sekali! Memutuskan gakpapa nikah pada tanggal itu aja."

"Kok mereka gak bilang ke aku?"

Viana menggidikkan bahunya, tak tau.

Helaan nafas keluar dari mulut gadis itu. "Kalo gini malah bikin panik."

Hening

Tak ada percakapan di antara mereka sementara Viana masih sibuk dengan kacangnya hingga akhirnya keluar pertanyaan di kepala Zaira.

"Na, kok kamu bisa tau soal itu semua?" tanya Zaira.

"Yang mana?"

"Ya, resepsi dan semuanyalah."

"Kamu suka gaun pernikahan yang kemarin di kirim?"

"Kok malah nanya balik?"

"Jawab dulu." Zaira mengangguk sebagai jawaban.

"Nahh itu. Mereka minta tolong aku buat cariin gaun buat kamu," jawab Viana.

"Agak laen emang. Biasanya pengantin yang nyari ini malah sahabatnya."

Yang di sindir malah cengengesan.

"Itu gaun yang kamu suka yang kamu pilih dulu pas katanya mau nikah."

Zaira mencoba mengingat-ingat kejadian itu. Kapan dan dimana? Zaira benar-benar memaksakan diri untuk mengingatnya.

"Aku ingat. Tapi itu mahal banget, Na."

Viana menggidikkan bahunya.

"Mereka cuma minta bantuanku untuk cariin gaun pengantin buat kamu dan aku ingat terakhir kali kita ke butik untuk melihat gaun pengantin untuk Citra dulu, ternyata gaun itu masih ada jadi aku bilang ke mereka kalo kamu suka gaun itu." jelas Viana.

Setitik air mata Zaira jatuh. Ia tidak menyangka bahwa sahabatnya ini akan mengingat semuanya. Zaira langsung memeluk Viana.

***

Seindah-indahnya mutiara akan kalah indah dengan persahabatan yang erat.
di balik lentera merah yang terdiam tenang
seperti itulah persahabatan dan kehidupan seseorang yang tak lupa akan "Persahabatan."

Sajadah Cinta | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang