Bab 33

22K 2.1K 40
                                    

Sudah satu jam Langit tidak bisa berhenti menangis, dia tidak rela melepaskan pelukannya pada Roger, hal itu sangat membuat keluarga Robert khawatir, bahkan Langit menolak untuk disentuh oleh orang lain.

"Langit  berhenti menangis ya sayang."Ucapan Senia seolah tidak ada artinya bagi Langit, padahal Langit selalu mendengarkan perkataan mereka.

"Baby, sama daddy ya."Luke tidak rela melihat anaknya itu berpelukan dengan ayahnya, ada rasa janggal dihatinya saat Langit malah terus mendekap dalam pelukan Roger.

"Kenapa baby, ada apa?"Tanya Roger yang juga penasaran, takut, khawatir, semua ada di raut wajahnya, takut jika kelamaan menangis mata Langit bisa membengkak, dan itu akan bahaya bagi Langit yang baru saja bisa melihat.

Langit hanya menggeleng dengan kembali memeluk erat sang kakek, tiada hentinya kalimat kakek disematkan dari bibirnya.

"Tuhan Langit nggak mungkin mimpi kan? Ini beneran kakek kan? Terimakasih, terimakasih sudah bawa kakek kembali."Langit hanya bisa berteriak dalam hatinya, rasa sesak terus mengalir pada dadanya, tidak kuasa menahan hadiah spesial yang diberikan tuhan padanya, kakek nya, Jeremy, yang sudah bertahun-tahun telah berada disisi Tuhan hadir dihadapannya, Langit rindu dengan orang pertama yang ia cintai, Langit ingat betul waktu dia masih berumur lima tahun, waktu itu ibunya memukulnya tapi kakeknya lah yang membantunya.

Flashback on.

Emely menendang perut kecil bocah berumur lima tahun itu, raut wajah marah terpampang jelas ada diwajahnya.

"Sialan! Kenapa kau masih hidup! Anak haram! Kenapa kau tidak mati! Gara gara kau aku jadi diolok olok oleh mereka! Kenapa kau masih hidup!"

"Am-pun bu sa-kit.....sa-kit....am-pun..."ingin rasanya Langit mengatakan hal itu, tapi yang keluar hanyalah gumaman tidak jelas dari bibirnya.

Emely berjongkok dan menjambak rambut Langit hingga bocah itu mendongak.

Entah mengapa Emely seakan mengerti dengan perkataan Langit, kembali dia berteriak didepan wajah Langit,"Apa kau bilang tadi! Dengan kau berkata ampun kau bisa membuat kesucian ku kembali! "Emely menghempaskan kepala Langit  kedinding membuat Langit menjerit kesakitan.

Langit hanya bisa menggelengkan pasrah, dia pikir ibunya pasti marah saat mendengar gumaman nya, jadi dia memilih menutup mulutnya rapat.

"Anak haram! Anak sialan! Mati saja kau sana!"Emely kembali ingin membenturkan kepala Langit kedinding tapi tubuhnya ditarik oleh seseorang.

"Kau gila! Dia anakmu Emely! Kenapa kau melakukan hal ini!"Jeremy, dia datang dan membawa Langit dipelukan, menatap nyalang sang anak yang masih dilanda emosi.

"Dia bukan anakku ayah! Dia anak haram! Dia anak preman sialan itu! Bajingan itu! Biarkan aku membunuhnya!"Emely kembali ingin merebut Langit dari Jeremy tapi Jeremy dengan teganya mendorong sang anak,"dia tidak bersalah Emely! Dia bukan lahir karena keinginannya! Sepatutnya kau menyayanginya!"

"Ayah gila! Gara gara ada dia hidup aku hancur yah! Dia udah buat hidup aku hancur!"Emely berteriak kesetanan, dia mulai melempar barang barang, Jeremy yang tidak mau Langit terluka segera membawa Langit pergi dari sana.

Jeremy membawa Langit kebelakang halaman, disana memang ada pondok khusus untuk menyimpan sekam padi, Jeremy segera mengunci pintu itu, didalam sana juga terdapat obat merah yang selalu disiapkan Jeremy saat tahu akan hal ini terjadi.

Jeremy menatap iba Langit yang menangis tapi tidak mengeluarkan suara, hanya gumaman tidak jelas yang bisa ia dengar dari bibir mungil itu.

"Tahan sebentar ya, ini sedikit sakit, Langit kuat kan, jadi Langit tidak boleh menangis."Melihat senyuman Jeremy Langit mengaguk patuh, dia memejamkan matanya saat Jeremy mengoleskan cairan berwarna merah itu pada keningnya, dalam pikirannya dia tidak boleh menangis, karena dia kuat.

"Cucu kakek hebat, maafin kakek ya Langit, kakek terlambat, maaf membuatmu terluka begini."Jeremy mencium pelan kening sempit itu.

Langit mengelap air mata yang menetes di pipi kakek."kakek kenapa menangis?"Langit mencoba menggerakkan tangannya, walaupun belum sepenuhnya benar kakeknya mengerti, Jeremy harus mengeluarkan biaya lagi dan belajar cara agar bisa memahami bahasa isyarat itu, untuk dirinya dan tentunya untuk Langit.

"Kakek tidak menangis, ini keringat saja."Jeremy mengusap air matanya kasar dan tersenyum melihat Langit yang tampak bingung, mungkin dalam otak kecilnya berpikir, bagaimana bisa keringat turun dari mata.

"Sudah jangan dipikirkan, dengar Langit, sebanyak apapun yang kau dengar dari orang lain kau cuma harus mengigat perkataan kakek, Langit akan kuat dalam semua cobaan, Langit harus membuktikan pada orang orang jika Langit bukan seperti apa yang mereka ucapkan dan yang paling penting, Langit tidak boleh menyerah, mengerti?"

Langit memiringkan kepalanya bingung dengan perkataan sang kakek, tapi dia mengingat perkataan terakhir, "tidak boleh menyerah."

Jeremy membawa Langit dalam pelukannya, bocah itu bahkan sudah berhenti menangis, padahal luka pada keningnya masih bengkak, bocah kecil itu seperti tidak merasakan sakit pada tubuhnya.

"Langit kuat...."

Flashback off.

Langit meringis ketika ada sesuatu yang menembus kulitnya, tak lama rasa kantuk menerpanya.

"Apa yang terjadi dengan Langit, kenapa dia sebut opa dengan kakek?"Ucap Samuel.

"Tidak tahu, sepertinya ada kaitannya dengan kakek dari Langit, Sam apa kau tahu kakek Langit? Maksudku kau mengenalnya?"Tanya Senia.

"Tidak tahu mom, aku tidak tahu jika kakek Langit masih ada atau tidak, tapi dari kelihatannya dia sangat merindukan Kakeknya."

"Apa mungkin opa mirip sama kakek Langit!"Seru Saka membuat semua mata menatap dirinya.

"Entahlah, kita pikirkan nanti."Roger meletakkan Langit kembali kekasur dengan perlahan, dia mengecup singkat mata yang sudah sedikit membengkak itu."Apa itu tidak apa apa Nuel, bukankah lebih baik mengompresnya, kasihan sekali mata Langit membengkak."

"Hm, sebentar aku akan mengambilnya dulu."Jawab Immanuel dan pergi meninggalkan ruangan Langit.

Vote→comment→follow

LANGITWhere stories live. Discover now