63. Kamu Yang Terbaik

5.9K 677 18
                                    

Selama perjalanan menuju ke rumah orangtuanya, Gadis lebih banyak diam. Ia biarkan Gavriel fokus pada kemudi mobil. Lagipula Gadis merasa sedang membutuhkan ketenangan setelah huru hara di dalam ruang sidang tadi. Pelan-pelan Gadis menutup kedua matanya. Rasa lelah yang menyergap dirinya membuatnya berkelana di alam mimpi siang hari ini.

Gavriel yang melihat Gadis sudah tertidur di sampingnya hanya bisa tersenyum. Ini jauh lebih baik daripada Gadis marah-marah atas kesaksian Hamdani dan Susan di pengadilan. Meskipun tidak mengatakannya secara gamblang, namun Gavriel bisa membaca kekecewaan yang hadir di dalam diri Gadis dari wajah perempuan itu.

Saat sampai di depan pagar rumah orangtua Gadis, Gavriel mencoba mengamati rumah ini. Dari pagar rumah setinggi dua meter lebih ini saja Gavriel bisa tahu bahwa orangtua Gadis bukanlah orang biasa. Pantas saja Gadis bisa memiliki segalanya di usia muda. Di saat Gadis sudah tinggal di apartemen, dirinya masih ngekost di dekat kantor. Saat Gadis sudah membawa mobil ke kantor, ia masih menggunakan motor bebek 125 cc. Gavriel tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya.

Kini mau tidak mau Gavriel harus membunyikan klakson mobil agar pintu pagar ini dibuka. Siapa sangka klakson mobilnya membuat Gadis terbangun.

"Sudah sampai, Gav?" Tanya Gadis kala ia mulai membuka kedua matanya.

"Sudah."

"Enggak pakai acara nyasar?"

"Enggak. 'Kan udah pakai google map."

Saat pintu pagar itu dibuka, Gavriel segera melajukan mobilnya masuk. Halaman rumah orangtua Gadis sangat luas dengan taman yang ada di depan pintu utama. Bahkan ada air mancur besar di tengah taman ini. Gavriel yakin bahwa halaman rumah ini saja lebih luas daripada luas rumahnya di Jakarta yang masih belum selesai ia cicil saat ini.

"Rumah orangtua kamu besar juga, ya?"

"Karena dulu Papa berharap anak cucunya setiap lebaran bakalan main di halaman rumah. Sayangnya sampai detik ini, anak-anaknya malah belum ada yang kasih cucu."

"Banyu belum nikah?"

"Jangankan nikah, calonnya saja belum ada. Dia terlalu menikmati pekerjaannya di Singapura. Papa sudah ditahap lelah buat minta dia resign dan teruskan bisnis keluarga."

"Aku bisa memahami pilihannya karena sepertinya alasannya sama kaya aku," Kata Gavriel sambil mematikan mesin mobil.

Gadis hanya mengernyitkan keningnya kala mendengar perkataan Gavriel.

"Malas tinggal dekat dengan keluarga demi kesehatan mental. Kalo dekat keluarga pasti capek dikejar pertanyaan enggak bermutu."

"Oh, baru tahu aku kalo keluarga mixed marriage juga sama kaya keluarga lokal."

Gavriel tertawa mendengar semua ini. Ia memilih keluar dari mobil. Melihat Gavriel turun, Gadis juga melakukan hal yang sama. Ia memilih berjalan mendekati Gavriel yang kini sedang menatap air mancur besar di depan rumah orangtuanya.

"Enak ya, Dis hidup jadi pewaris. Enggak usah berjuang secara ugal-ugalan juga hidup sudah terjamin sampai beberapa generasi."

Gadis menghela napas panjang. Inilah yang terkadang orang-orang tidak ketahui. Di keluarga besar Papanya, baik dirinya, kakaknya atau sepupu mereka enggan meneruskan usaha keluarga. Hidup diatas kaki sendiri jauh lebih baik. Tidak ada embel-embel nama keluarga yang akan membuat nereka diperlakukan berbeda dari lainnya. Angi nahkan memutuskan tinggal di Jerman jauh dari keluarganya sejak beberapa tahun lalu.

"Setiap manusia memiliki beban hidup yang harus mereka tanggung. Jika menjadi pewaris itu menyenangkan, tidak mungkin Mas Banyu dan Angi kabur ke luar negri. Hanya aku satu-satunya yang mau tinggal dekat orangtua. Karena aku tidak mau menyesal dikemudian hari"

From Bully to Love Me (Tamat)Where stories live. Discover now