Prolog

5.4K 433 29
                                    

Hari sudah menjelang malam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari sudah menjelang malam. Perumahan besar di kota Edmond itu sepi dan lengang. Sebagian besar penghuni di setiap rumah sudah terlelap. Beberapa memilih begadang untuk mengerjakan suatu hal atau hanya untuk menonton televisi dan berkutat dengan gadget mereka. 

Di salah satu rumah, terdengar suara jeritan dan tangisan pilu seorang gadis berusia 16 tahun. Debu-debu kotor melapisi hampir sebagian besar perabotan di rumah tersebut. Rumah ini sebenarnya tergolong baru, namun karena kurang terawat, membuatnya terlihat tua dan kumuh.

"BERHENTI, IBU! SAKIT!"

Gadis itu meringis kesakitan, namun menahan diri untuk menangis. Ibunya sendiri terus melampiaskan amarahnya pada anak tunggalnya itu. Menjambak rambut hingga menyeretnya ke sudut ruangan lalu mendorongnya kasar.

"Kau sungguh anak tak berguna! Kaulah penyebab ayahmu meninggalkan kita!"

Gadis itu tidak tahan. Ia akhirnya menangis. Memegangi dadanya yang terasa sakit, Ia memberanikan diri melawan ucapan ibunya. Sebuah kalimat yang sejak lama Ia ingin ucapkan. Mungkin terkesan kasar, namun ini memang kenyataannya.

"Cukup, Ibu!"

Jeritan Aimee membuat gerakan tangan Nicole--Ibunya--yang ingin menamparnya berhenti. Dengan marah bercampur sedih dan frustasi, Ia menatapi Aimee.

Mata wajah, dan rambut itu ... Benar-benar rupa dari Ayahnya. Yang kini keberadaannya entah kemana karena kabur dari rumah sejak seminggu yang lalu.

Aimee menunduk. Beberapa saat kemudian Ia mendongak, masih terisak. Suaranya begitu parau dan bergetar. "Ibu yang membuat Ayah pergi! Ibu selalu diluar rumah, enggan dirumah menemaniku dan Ayah yang selalu menunggumu! Ia selalu menyayangiku, tapi kau--"

"PLAK!"

Nicole meringis. Ia gagal menahan diri untuk menampar Aimee. Ia marah karena ucapan Aimee benar. Ia diam-diam menjerit karena kesalahannya dulu. Ini membuat rumah tangganya retak. Dan Aimee, terpaksa menanggungnya.

"Kalau Ayahmu itu mencintaimu, dia tidak akan meninggalkanmu, Aimee!" Nicole berteriak. Ia menggertak geram, agar tidak terlihat lemah didepan anaknya sendiri. Ia tidak mau kalah. Sama sekali tidak mau. "Karena kau, dia--"

Lagi. Ia menyalahkanku. Aimee memilih bangkit, kemudian berlari menuju kamarnya. Sebelum Nicole berhasil menyusulnya, Aimee membanting pintu kamar, menguncinya lalu menahannya dengan meja. Mencegah siapa tahu Nicole masuk secara paksa dan kembali menyiksanya secara fisik maupun ucapan, yang sama-sama menyakiti hatinya.

Dengan kaki gemetar, Aimee melangkah mundur. Namun sebelum Ia mencapai kasur, Ia terjatuh lebih dulu ke atas lantai. Ia terisak, menahan jeritannya yang terdengar pilu dan menyakitkan. Ini terlalu banyak, batin Aimee perih. Terlalu banyak dan berat bagiku.

"Aimee, buka pintunya! Aimee Parker!"

Aimee menggeleng. Ia menekuk kedua lututnya, menjambak rambutnya sambil memandangi seisi kamarnya. Poster-poster itu masih terpasang rapi di dinding kamarnya. Aimee tersenyum masam, merasa bersyukur karena Nicole tidak melampiaskan emosinya kepada poster-poster kesayangannya itu, karena Ia tahu, Nicole tidak segan untuk merusak kebahagiaannya, walaupun Ia adalah Ibunya sendiri. Dan Aimee, pandangannya tertuju ke satu poster. Ia menggigit bibir, berusaha keras menahan air matanya disaat Ia masih memandangi poster kelima lelaki berusia 20 tahunan itu. Mereka tersenyum, tampak gembira. Dan senyuman itulah yang Aimee butuhkan. Walaupun hanya melihat mereka melalui poster, foto, bahkan video, itu sudah cukup baginya.

"AIMEE!"

"BRAK!"

Aimee menjerit ketakutan. Ia beringsut mundur, bersembunyi di samping kasurnya. Air matanya kembali mengalir. Ia tidak dapat percaya kalau semuanya berubah semenjak Ayahnya meninggalkan rumah. Ibunya yang semula lemah lembut (walaupun selalu sibuk diluar rumah), kini menjadi kasar, sering marah tanpa sebab. Aimee tak jarang menjadi pelampiasan Nicole Salt, wanita berusia 42 tahun yang melahirkannya 16 tahun yang lalu.

"AIMEE BUKA PINTUNYA!"

Nicole masih mencoba membuka pintu kamar Aimee. Baik dengan cara menggedor pintunya, sampai menendangnya dengan kaki. Namun meja kayu di baliknya mampu menahan pintu itu terbuka. Aimee ketakutan. Ia merutuki nasibnya yang begitu menyedihkan. Tidak ada yang menolongnya sekarang. Kedua sahabat terbaiknya kini sedang di luar kota, tidak tahu tentang Ayahnya yang sudah meninggalkan rumahnya, apalagi tentang nasibnya sekarang.

Aimee menutup kedua telinganya dengan tangan secara rapat. Enggan mendengar suara Ibunya yag masih berteriak diluar sana. Ia menunduk, diantara suara jeritan dan gedoran pintu yang keras, Ia menggumamkan sebaris kalimat dari lagu. Dengan suaranya yang parau dan agak gemetar, lagu itu menjadi terdengar aneh dan pasti orang lain akan tertawa jika mendengarnya. Namun inilah cara Aimee "membaik". Ia selalu menyanyikan sepenggal lirik itu jika Ia merasa rapuh, seperti sekarang. Dan saat Ia masih terisak, Ia pun mulai bergumam.

"S-so, baby, hold on ... to my he-heart ..."

Teriakan Nicole masih terdengar. Wanita itu mulai lelah, juga menangisi perbuatannya sekarang.

Apa yang kulakukan ...?

"Aimee ..."

Aimee menggeleng. Enggan mendengar suara Ibunya yang begitu lembut. Ia tetap menyanyikan lagu itu. Masih sambil menangis, dan suara lirihnya agak bergetar karena syok.

"Need you to keep me from falling apart ..."

Itu hanya tipuan. Ia memanggilku lembut seperti itu agar aku keluar lalu Ia akan menyiksaku lagi.

Aimee terdiam saat gedoran pintunya tak terdengar lagi. Ia mendongak, tatapannya tertuju ke poster itu. Poster yang selalu Ia lihat setiap hari. Tanpa bosan, karena hanya benda itulah. Hanya senyuman dari kelima orang di poster itulah yang membuatnya masih mampu berdiam diri dirumah ini. Walaupun aneh dan terdengar norak, itu memang benar adanya.

"I'll always hold on ..."

"Cause you make me strong."

***

Liana Liberato as Aimee Parker

Nicole Kidman as Nicole Salt ( Aimee's Mother )

- Slay-v


OBSESSIONWhere stories live. Discover now