Bonus Chapter

1.7K 144 179
                                    

( Beth's Pov )

"Mint, blueberry, vanilla dan almond. Semuanya dalam satu mangkuk, lengkap dengan krim kocok, cokelat leleh dan taburan permen warna-warni. Aku kagum dengan kemampuanmu melahap es krim."

Aku tidak memedulikan komentar James. Melainkan aku menatapnya serius saat menyuap sesendok besar es krim ke dalam mulutku.

James menggelengkan kepalanya dengan seringaian kecil di mulutnya. Ia menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, memerhatikan kondisi kedai es krim langgananku yang kali ini sepi. Hanya ada dua pelanggan lain di meja yang berbeda.

"Minggu depan aku akan mengajakmu ke tempat latihan boxing."

"Wha—" aku menganga dan nyaris memuntahkan es krim dari mulutku. Namun sebelum itu terjadi dan aku memalukan diri sendiri di depan James, aku bergegas merapatkan mulutku lagi. "Boxing? Untuk apa kau mengajakku kesana?"

"Um ... untuk melatih kemampuan bela dirimu, tentu saja."

"Tidak mau."

James memutar kedua bola matanya. "Tentu saja kau tidak mau," Ia mencibir seraya menarik selembar tisu dari atas meja. "Aku melakukannya demi kebaikanmu sendiri. Agar kau dapat pandai menghajar seseorang—terutama pria—yang berani menyentuhmu jika aku sedang tidak ada di sampingmu."

"Hmm," aku meresponsnya malas, mencoba menyembunyikan reaksi maluku karena ucapannya yang terkesan posesif. "Kalau begitu, sering-seringlah ada di sampingku jadi aku tidak perlu berlatih boxing."

"Kau tahu aku tidak bisa ada di sisimu setiap waktu," aku tertegun saat James mengulurkan tangannya yang memegang tisu, lalu mengusap lelehan cokelat di ujung bibirku. Ia tersenyum, "sebenarnya aku ingin menghapus noda cokelat itu dengan bibirku, tapi—"

"Sssh!" aku mendesis. Ia malah tertawa. "Aku akan ke tempat boxing jika kau tutup mulut sekarang."

"Fine," James mengangkat kedua pundaknya santai. Sambil bersedekap, Ia menyenderkan punggungnya ke sofa, memerhatikanku sambil tersenyum kecil. Gosh. Seandainya dia tahu seberapa gugupnya aku sekarang karena caranya menatapku. "Kau mau kuantarkan kemana lagi sebelum pulang ke apartement?"

"Aku belum mau pulang," aku merengek. "Ini weekend. Semua tugas kuliahku telah selesai dan aku ingin pergi bersamamu ke mall. Mungkin menonton film?"

Senyumannya melemah. "Kau tahu aku tidak bisa muncul di tempat umum bersamamu—"

"Ini tempat umum," aku menekan suaraku agar tidak terdengar marah. Namun sepertinya gagal.

"Tetapi sepi, tidak ada banyak pengunjung," James berkata.

"Lalu apa maksudmu 'tidak bisa muncul di tempat umum bersamamu'? Kau takut seseorang melihat kita?"

James menatapku selama beberapa saat. Raut wajahnya berubah pesat, tidak ada lagi senyuman disana. Ia menggelengkan kepalanya ketika kembali bersuara. "Jangan berbicara seperti itu."

"Seperti apa?"

"Kau mengatakannya seakan aku mempunyai pacar lain," Ia menatapku tajam. "Kau satu-satunya gadisku. Untuk sekarang dan seterusnya."

Gadis batinku langsung merengut malu, mulai terpengaruh karena ucapannya. Namun tidak—tidak. Aku tidak bisa lemah begitu saja. James harus tahu kalau aku kesal karena dia selalu menolak jika aku mengajaknya pergi berdua ke tempat ramai walaupun hanya untuk sepuluh menit. Aku tahu alasannya menolak karena dapat berbahaya bagi pekerjaannya. Tetapi untuk sekarang, mood-ku buruk.

"Maaf," aku meraih tasku di kursi samping dan menggantungnya di pundakku. "Aku pergi duluan."

"Hei," James menghela nafas. "Beth, ayolah."

OBSESSIONWhere stories live. Discover now