Prolog

8.9K 1K 242
                                    

SIIIING ....

Rumah yang tampak besar nan mewah itu terlihat sunyi. Tidak terlihat adanya aktivitas di halaman. Begitu pula dengan di dalam rumah, tidak terlihat satupun manusia berada di dalamnya.

Tik ... tik ... tik .... terdengar bunyi detak jarum jam di tengah ruangan. Satu-satunya suara yang mengisi kekosongan di rumah itu. Jarum jam terus bergerak hingga tanpa terasa jarum itu sudah bergerak selama dua puluh menit.

Pintu besar di rumah itu mulai bergerak dan memunculkan seorang bocah laki-laki berusia kurang dari enam tahun. Anak itu berjalan gontai sambil sesenggukan. Matanya merah dan basah. Dari situ sudah diketahui kalau anak itu tengah menangis.

Dengan wajah tertunduk sedih, anak itu berjalan menuju sofa empuk di ruang tengah. Beberapa meter dari tempatnya, ia melihat tumpukan buku, sebuah tas, dan beberapa alat tulis tergeletak di sana. Di samping benda-benda itu ia juga melihat seragam merah-putih tergantung di dinding lengkap dengan dasi dan topinya serta sepasang sepatu hitam dan sepasang kaos kaki putih yang terletak di bawah baju seragam tersebut. Semua benda itu adalah benda yang dipersiapkan mamanya dengan penuh semangat karena lima hari lagi ia akan masuk sekolah dasar.

Dengan mata yang masih merah dan basah, anak itu menoleh ke kanan, ke tempat meja kecil yang terletak di sebelah ujung sofa. Diraihnya foto yang ada di sana. Terlihat foto dirinya yang tengah tertawa memperlihatkan giginya yang ompong. Di sebelahnya terlihat gambar sang mama yang tengah memeluknya sambil tersenyum bahagia.

Anak itu kembali melihat alat-alat sekolah kemudian kembali lagi menatap fotonya bersama mama. Rencana yang selalu dibicarakannya dengan mama seperti mamanya menyiapkan sarapan dan membuatkan bekal untuknya, memakaikan seragam merah-putih untuknya, mempersiapkan buku-buku pelajarannya, serta mengantarkannya ke sekolah langsung pupus begitu saja. Harapan yang didambakannya musnah seketika. Karena saat ini sang mama sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Tidak ada lagi orang yang selama ini selalu memanjakannya, menyuapinya makan, memandikannya, menceritakan dongeng setiap malam, dan menyelimutinya serta mengecup keningnya sebelum tidur. Tidak akan ada lagi kehangatan seperti itu mulai hari ini.

Anak itu kembali menangis kini dengan terisak-isak. Suara tangis yang tadi sempat mereda, kini kembali terdengar. Lama anak itu menangis sampai akhirnya ia kelelahan dan jatuh tertidur dengan sebuah foto yang dipeluknya.

Setelah waktu berlalu yang ia sendiri tidak sadari, akhirnya anak itu kembali terbangun. Ia melihat rumahnya mulai terang dan terdengar suara orang yang cukup banyak di sekitarnya. Nampaknya orang-orang itu keluarga, kerabat, dan para tetangga yang datang melayat sekaligus mengucapkan bela sungkawa.

Dengan tubuh sedikit lemas, anak itu bangkit dan berjalan menuju dapur.

"Papa mana?" tanyanya pada Bi Munah, pembantu yang sudah bekerja di rumahnya bahkan sebelum ia lahir.

"Eh, udah bangun," sapa Bi Munah, ramah, sambil menyeka hidung anak itu yang kotor. "Papanya lagi di belakang."

Anak itu segera berlari ke belakang rumahnya. Saat ini ia perlu seseorang untuk mengurangi kesedihannya. Walaupun ia tidak begitu dekat dengan papa karena papa selalu sibuk dengan pekerjaannya, tapi ia menyayangi papanya. Ia perlu papa untuk menguatkan hatinya. Begitu ia sampai di belakang rumah, ia langsung terbelalak. Ia melihat papanya tengah berpelukan dengan seorang wanita. Papanya jatuh terduduk di bangku panjang sambil menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu. Wanita itu membalas sambil mengusap lembut pundak papanya.

"PAPA!" teriak anak itu dengan marah.

Terlihat sang papa dan wanita itu kaget. Keduanya langsung berbalik ke arah anak itu.

Bulan untuk Bintang (Morning) ✔️Where stories live. Discover now