Bab 8

4.1K 490 74
                                    

KELAS XII IPA-1 kalang kabut. Hari ini ada tamu dari kepolisian yang datang. Kepala polisi yang menjabat bagian tertinggi, dipilih menjadi Pembina upacara.

Yang jadi masalah, hari ini giliran kelas mereka yang dapat giliran menjadi petugas upacara. Dan yang paling gawat, Bintang yang menjadi biang onar itu terpilih sebagai pemimpin upacara.

Kebayang, kan, apa jadinya kalau si biang onar itu jadi pemimpin upacara? Bisa-bisa upacara yang aslinya sakral itu berubah jadi acara pesta 17-an.

Wahyu berjalan mondar-mandir. Ia yang jadi ketua kelas tentu mempunyai tanggung jawab besar. Ia jadi merasa bodoh, pasalnya ia lupa kalau hari ini ada tamu penting. Jadi sewaktu memilih petugas upacara, ia menggunakan lotere untuk mengundi nama-nama yang akan menjadi petugas nantinya. Sudah terbayang di benaknya selama seminggu setiap pulang sekolah akan mendapat ceramah dari wali kelasnya Bu Ami yang super, duper, tuper, cerewet.

Wahyu melirik jam tangan. Dua puluh menit lagi upacara akan dimulai. Ia semakin panik. Ia ingin sekali menggantikan Bintang jadi pemimpin, tapi ia sendiri sudah kebagian peran penting sebagai pengibar bendera. Ia sudah meminta beberapa teman Paskibra tapi entah kenapa semuanya mendadak angkat tangan dengan alasan nggak siap dan takut salah. Kalau saja ini upacara biasa, mereka tidak akan keberatan. Tapi berhubung upacara kali ini tidak biasa, ditambah pemimpinnya kepala polisi lagi, tentunya kesalahan kecil menjadi perhitungan mereka. Parahnya lagi prinsip mereka yang awalnya Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali kini berubah menjadi Lebih baik menghindar daripada malu di depan polisi.

Dengan masih mondar-mandir, kini Wahyu menggigit jarinya sendiri tanda ia panik luar biasa. Saat masih asik mondar-mandir, tiba-tiba tatapannya terarah ke Rangga.

Dibanding Bintang, Rangga seratus kali lebih baik jika menjadi pemimpin upacara. Walaupun Rangga dan Bintang bisa dibilang sahabat se'iya', se'kata', dan se'hati', tapi Rangga orangnya cukup kalem. Ia juga tidak pernah menjadi biang keributan di kelas, paling cuma sekedar ketawa jika ngeliat ulah Bintang dan Jojo. Pelanggaran yang sering dilakukan Rangga juga cuma ngebolos. Dan soal ketegasan, nih anak nggak perlu diragukan lagi. Kalau ia sudah serius, maka ia bisa bertingkah tegas layaknya para tentara.

Wahyu menyeringai. "Cocok, nih."

Rangga yang dari tadi memperhatikan kepanikan Wahyu, sudah menyadari adanya gelagat dari cowok itu mendekatinya.

"Kenapa? Lo mau minta gue jadi pemimpin upacara?" tebak Rangga.

"Kok, tau?" tanya Wahyu.

Rangga tersenyum singkat. "Boleh aja sih. Tapi sebagai gantinya, Bintang nempatin posisi gue. Gimana?"

Wahyu yang tadi sempat lega, mendadak kembali panik. Ia baru ingat kalau Rangga jadi pengibar bendera sama sepertinya.

"Yah, jangan gitu, dong. Yang lain aja, ya? Jangan Bintang," bujuk Wahyu.

Rangga menggeleng. "Nggak bisa. Kalo lo mau gue yang mimpin, ya Bintang harus jadi pengibar bendera."

Wahyu tertegun. Bagian-bagian yang penting dalam upacara selain pemimpinnya, tentu saja adalah pengibar benderanya. Masalahnya, posisi Rangga di sini di bagian mengikat tali bendera. Wahyu membayangkan kalau Bintang yang ngikat, bisa-bisa posisi bendera yang asalnya merah-putih berubah jadi putih-merah. Apalagi si Bintang ini punya tampang andalan yaitu tampang INNOCENT salah atau benar wajahnya tetap aja datar, tidak peduli, dan pastinya, TANPA DOSA! Wahyu bergidik jika membayangkan hal itu akan terjadi. Bisa tamat riwayatnya di depan Bu Ami.

Bulan untuk Bintang (Morning) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang