Chapter 2

7.4K 382 6
                                    

Avery's POV

"Oke, sekarang kita mulai pemanasan! Kau yang memimpin anak baru," ucap Kevin menaikkan dagu ke arahku. Aku berjalan dan menempatkan diriku di tengah-tengah lingkaran. Ku mulai dari kepala hingga kaki. Tampaknya hidupku di Seattle tidak benar-benar buruk. Setelah pemanasan selesai, kami membuat baris dan menjaga jarak satu dengan yang lain. Tidak kusangka sekolah baruku memiliki studio dance. Terlalu keren.

Sejam kemudian, bajuku sudah basah, begitu juga dengan teman-temanku yang lain.

"Tadi itu hebat!" aku mendengar suara berat yang ternyata adalah milik Kevin aka pelatih hip hop di sekolah kami.

"Terima kasih!" jawabku dengan senyuman lebar.

"Aku berani taruh kalau kau sudah ikut hip hop sejak kecil. Benar?"

Aku membalas dengan kekehan kecil sebelum menjawab, "Ya, benar sekali," kemudian kami tertawa kecil. Umur Kevin terlihat seperti umur 25 ke bawah. Cukup tampan, tetapi masih lebih tampan si Damian.

DAMIAN?!

Aku benar-benar harus mengalihkan pikiranku dari Damian. Dasar cowok tidak tahu diri, punya wajah terlalu tampan sehingga membuat perempuan sepertiku berharap-harap. Sudah 4 hari aku tinggal di Seattle, tapi Damian tidak melakukan apa-apa. Jangan-jangan yang dikatakan Lois itu tidak benar, atau bisa kubilang kurang benar. Siapa tahu ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk sungguh-sungguh menghancurkanku?

• • •

*WE'RE LOOKING DOWN ON THE CLOUDS!!*

Lagu yang dulu ku sukai dan sekarang ku benci. Perlu kutambahkan, banget. Dasar lagu keparat! Karena setiap lagu itu terputar, artinya waktu tidurku telah selesai dan aku harus bersiap-siap ke sekolah. Bulu tanganku hingga bulu hidungku serasa ingin copot.

Aku berjalan ke kamar mandi dengan gontai. Setelah selesai semuanya aku membalut tubuhku dengan crop top hitam dan celana jeans panjang yang memperlihatkan sedikit perutku. Dengan cepat aku mengenakan sepatu nikeku dan mengambil topi serta ranselku.

"Ohayou, oka-san." kulihat mamaku sedang menyiapkan makanan pagi.

"Ohayou, Satsuki." jawabnya, aku mencium pipi mamaku dan mencomot sepotong roti yang sudah ada selai stroberinya. Bagi kalian yang belum tahu, nama Jepangku adalah Kihara Satsuki. Bukannya aku ingin sombong, tapi ibuku memiliki darah Indonesia-Jepang sedangkan ayahku Amerika Latin.

Setelah mengunyah dan menghabiskan makananku. Kami berbincang-bincang sebentar tentang sekolahku dan akupun berpamitan dengan mamaku, "Itekimasu!" (Aku pergi)

Mamaku membalas dengan senyuman hangat, "Iterasshai." (Hati-hati)

Seperti yang kulakukan selama 5 hari ini, aku ke sekolah dengan Lois, dan kali ini bertambah 1, Margo! Dia sangat lucu dan frontal sekali. Aku baru mengenalnya sehari tetapi kami bertingkah seperti sudah berteman sejak kecil.

"Very well! I'll see you in the canteen," ucap Margo seraya mengedipkan sebelah matanya padaku dan Lois dan berjalan.

"Semoga kau tidak apa-apa sekelas dengan Damian di kelas English." Lois menatapku prihatin. Aku memberikan tertawa yang terbaca seperti aku-tidak-takut-dengan-Damian.

"Bye!"

Aku berjalan ke kelas English dan mendapati Damian yang sedang duduk di kursinya langsung menatap lurus di mataku.

"Ave!" panggil Brenn. Orang ter-kutubuku sedunia. Just kidding, sesekolah.

"Ya, Brenn?" jawabku.

"K-kau mau duduk di se-sebelahku?" tanyanya terbata-bata. Oke, ini aneh tapi dia terlihat melas.

Aku mengerutkan dahiku tetapi akhirnya menyetujuinya.

Aku baru mendaratkan pantatku di atas kursi ketika suara seperti bunyi kentut terdengar di seluruh kelas dan dengan kecepatan kilat aku mengangkat tubuhku lagi. Mataku membulat sempurna dan semburat merah terlukis di pipiku. Seluruh kelas menjadi riuh akibat ada yang tertawa, yang meringis jijik, dan lain-lain. Aku melihat ke belakang dan mendapati Damian tertawa puas.

"That was completely not funny, Damian," geramku. Aku menatapnya dengan datar. Well, keisengannya tidak menyakitkan namun slightly evil.

"That was amazing!" Damian masih tertawa lepas. Aku semakin lama semakin bisa mendapat hipertensi jika berada disini. Aku duduk di depan, untuk pertama kalinya, tentu saja tidak pertama kalinya dalam hidupku. Sambil menahan marahku yang ingin meledak-ledak, aku mengikuti pelajaran si botak tengah (karena ia tidak memiliki rambut di bagian tengah).

Pelajaran ke 4 sudah selesai, artinya istirahat dimulai. Aku berjalan menuju meja dimana Lois dan Margo sudah duduk. Kami mengambil makan dan akupun menceritakan bagaimana Damian telah membuatku darah tinggi di kelas. Tidak hanya darah tinggi, reputasiku benar-benar hancur, ia bahkan tidak menghargai aku. Oh! Juga, Brenn dipaksa oleh Damian untuk memintaku duduk di sebelah Brenn. Aku tidak bisa mendeskripsikan pakai kata-kata betapa kurang ajarnya Damian.

"I told you," jawab Lois seperti menang dari sebuah debat setelah aku menyelesaikan ceritaku.

"He's an asshole, literally." Margo memutarkan bola matanya malas.

"Hey, Ave," aku merasakan orang menepuk bahuku, secara otomatis aku membalikkan tubuhku untuk melihat wajah orang tersebut dan itu adalah Damian.

"For God's sake what do you want?!" pekikku padanya karena aku benar-benar marah.

"Aku hanya ingin meminta maaf." lirihnya. Aku dapat mendengar hembusan napas Lois seperti kaget. Ku simpulkan dengan cepat, Damian tidak pernah meminta maaf setelah mengerjai orang. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Dengan bangga lantaran aku berpikir ia hanya melakukan ini padaku aku menerima uluran tangannya dan tepat saat telapak tangan kami bersentuhan, aku merasakan sesuatu yang licin seperti gel.

Well done, Damian keparat.

Infuriating Smith Where stories live. Discover now