Chapter 6

4.8K 294 1
                                    

Avery's POV

"Aku tidak pergi." Aku menyilangkan tangan di dadaku.

"Harus." keras Damian.

Aku baru saja selesai mengeringkan rambutku kemudian Damian mengetuk pintu rumahku. Ya Tuhan, anak ini mengerikan. Dari mana ia tahu rumahku?!

Mama dan Papa pergi ke acara pernikahan temannya sehingga aku sendirian di rumah. Damian tetap memaksaku untuk pergi bahkan mengancamku ia akan menarikku ke mobil sekarang saat aku sedang mengenakan celana pendek dan sweater rumah. Setelah aku cukup mengomelinya sebagai penguntit gila atau semacamnya aku berkata,

"Aku tidak akan pergi!" Detik selanjutnya, aku berencana untuk membanting pintu di depan mukanya namun tidak jadi lantaran Damian sudah masuk ke dalam rumahku.

"Ayo ke kamarmu," Damian menggamit tanganku dan aku dengan cepat menarik tanganku kembali.

"Aku bisa gantikan bajumu jika itu yang kau mau." Damian mengedipkan sebelah matanya dan memberikan tatapan nakal. Aku sedari tadi menatapnya datar. Tidak, tidak ada rasa apa-apa. Tidak ada deg-degan atau apa. Aku tidak menyukainya ternyata. Haleluya.

Aku menggeram kesal, "Fine. Aku ganti baju. Tetap di situ dan jangan berani-berani melangkahkan kakimu kemanapun." ucapku seraya menatapnya tajam.

"Atau?" ia menaikkan sebelah alisnya dan memberikanku senyuman miring yang sangat kubenci.

"Argh! Diam di situ." aku berteriak frustrasi.

Aku melangkahkan kakiku lebar ke kamar. Aku mengganti pijamaku dengan crop tank top floral ungu dengan rok berwarna buah persik. Aku mengenakan kalungku yang mirip rantai emas. Haha. Maaf itu tidak lucu. Ku oleskan lip gloss ku dan selesai.

"Aw, my baby girl." suara Damian menyeruak masuk ke telingaku, mataku membulat sempurna karena ada beberapa pakaian dalamku yang kusampirkan di kursi.

"You do not enter a woman's room!" teriakku sambil berusaha menutup pintu kamarku.

"Looks like you're ready, c'mon," Damian menghiraukan pernyataanku dan menarik tanganku keluar. Iya aku tahu aku sudah selesai tapi ia menarikku seperti aku anak yang tidak mau pergi ke sekolah pada pagi hari.

"Stop, you're hurting me!" teriakku lagi. Kali ini dia berhenti dan ia menatapku... khawatir?

"No, I am joking." ucapku cepat. 1-0 jika ia terjatuh dalam jebakanku.

"It's I'm joking." There's no way Damian gives a damn about how I talk.

"I don't care, don't critcize how I talk." aku memberikannya tatapan sekali-lagi-kau-komen-aku-berjanji-akan-membunuhmu. Damian mengangkat bahunya acuh tak acuh dan meninggalkan seringainya yang sekali lagi kuberitahu, tidak suka.

Beberapa saat kemudian, aku sampai di rumah Damian yang, kira-kira jauhnya 15 menit dari rumahku. Terdapat 1 pohon yang lumayan besar di depan rumahnya. Rumah tingkat dua dan kelihatan cukup besar, mungkin ia memiliki adik atau kakak atau bahkan dia tinggal dengan (kemungkinan ini tidak masuk akal karena jika iya, ia tidak mungkin melaksanakan pesta gilanya disini) keluarga besar. Tapi, ia sebenarnya punya adik/kakak atau tidak sih? Argh! Aku ingin menjambak rambutku sekarang. Untuk apa aku penasaran dengan cowok seperti Damian?! Di waktu seperti ini aku berharap aku dilahirkan di keluarga yang dapat memberikanku karakter dingin dan cuek karena aku sama sekali tidak ingin penasaran dengan kehidupan Damian.

Infuriating Smith Where stories live. Discover now