Chapter 17

3.9K 222 5
                                    

Avery's POV

1 minggu kemudian...

Aku sesekali menoleh ke arah barat dayaku, berharap bahwa lelaki itu secara ajaib muncul di mejanya. Tapi harapan hanyalah harapan. Apalagi harapanku yang sangat konyol. Aku menatap datar ke burgerku yang seharusnya mengundang gairahku untuk melahapnya. Namun napsu makanku hilang belakangan ini.

Entah apa yang dilakukan bajingan yang kusukai itu, satu detikpun dalam satu minggu ini belum juga ia menampakkan batang hidungnya. Aku benar-benar... merindukannya. Tolong jangan hakimi aku. Hehehe.

"Ave, kami tahu kok kau mencarinya," ujar Lois membuka suara membuyarkan lamunanku. Aku menatap mereka tanpa mengucapkan kata.

"Sayang, sudahlah, mungkin ia pindah sekolah karena bosan dengan wanita disini. Kau tahu kan dia suka bermain wanita selain keisengannya yang lebih parah dari iblis." tukas Margo berapi-api.

Sejak awal kelihatan bahwa Margo tidak suka dan tidak percaya dengan Damian, namun ia menghargaiku.

"Kukira ia berubah, Margo," celetuk Lois. Aku masih diam berkutat dengan pikiranku. Kukira setelah malam itu ia akan selalu denganku. Tapi aku salah, tidak ada kisah cinta seperti yang di novel-novel.

"Kau benar, Margo, seharusnya aku tidak usah memikirkan keparat gila itu," aku diam sebentar lalu melanjutkan, "oh ya, hari ini aku ada latihan dance, aku tidak bisa menemani kalian ke mall, maafkan aku." kataku seraya menatap mereka sendu.

Mereka tersenyum lebar dan memelukku, "Tidak apa-apa, Ave, kami menyayangimu," sahut Margo.

2 minggu kemudian...

Aku baru selesai ganti baju untuk bersiap latihan dance ketika Sydney dan para barbie palsunya menghampiriku.

Pause. Aku belum melihat Damian hingga hari ini dan apa menurutmu aku sudah terbiasa? Jawabanmu pasti salah karena yang benar aku masih merindukannya dengan sangat. Argh, kalau otakku bisa memerintahkan hatiku untuk berhenti menyukai seorang bajingan akan kulakukan. Masalahya adalah the heart wants what it wants, kan? Play.

"Kasihan sekali kau ditinggalkan oleh Damian-ku." Sydney tersenyum miring. Bahkan Damian memberitahu Sydney kalau ia pergi.

Aku tidak akan membiarkan diriku terlihat lemah di depan jalang satu ini. Um, maafkan aku karena berbicara kasar.

"Terus?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alisku.

"Ya... kau terlihat menyedihkan, bodoh! Pasti kau berharap bahwa Damian hanya milikmu seutuhnya. Hahaha! Kau memang wanita palin bodoh sedunia!" pekiknya.

"Apa kau sudah selesai? Karena sebenarnya waktuku sangat berharga dan celotehanmu itu tidak bermutu dan tidak ada isinya. Kurasa kau memang dilahirkan menjadi wanita tanpa logika. Jadi sekarang, aku permisi," aku tersenyum manis yang terkesan meledek mereka semua. Aku dapat melihat wajah Sydney yang memerah menahan marah dan membuat senyum di wajahku semakin mengembang.

1 minggu kemudian...

Kakiku melangkah keluar dari ruang guru setelah berbicara dengan Mr. Ferguson tentang tugas projek. Kulihat dari gerbang sekolah sebuah bis terparkir dan beberapa anak kelas 12 berhamburan keluar. Aku tak peduli apa yang mereka lakukan atau darimana mereka dan segera aku ke loker untuk mengambil buku.

Aku bersumpah waktu berjalan sangat lama dan ketika istirahat tiba, aku segera keluar dan mencari Lois atau Margo di kantin. Sebelum aku sampai di kantin, aku melihatnya.

Ya, Damian sedang berdiri menatapku nakal dan membuka tangannya lebar memberi tanda untukku untuk memeluknya. Aku menatapnya datar dan berjalan santai ke arahnya. Sebesar-besarnya aku merindukan bajingan ini, aku tidak akan lari dan langsung lompat lalu melilit tubuhku di tubuhnya seperti koala, gengsiku terlalu tinggi untuk melakukan itu. Setelah sampai di depannya aku menggumamkan,

Infuriating Smith Where stories live. Discover now