Chapter 5

5.5K 312 5
                                    

Avery's POV

"Hey! Apa kau gila?!" Pekikku pada Damian setelah kami berjalan dan menghilang dari Aaron.

"Sorry, tapi aku baru saja menyelamatkan hidupmu dari si brengsek itu. Dan kau baru memanggilku apa? Gila? Ugh, seharusnya kau berterimakasih sambil memeluk dan menciumku berulang kali karena kalau aku tidak menyelamatkanmu kau mungkin sudah berakhir diperkosa oleh orang itu atau entahlah," jelas Damian panjang lebar yang membuatku ingin mencekiknya tapi kuurungkan niatku dan memutuskan untuk membalas, "Kau tidak boleh bilang aku akan diperkosa olehnya, kau kelewatan, Damian."

Teguranku hanya ditanggapi oleh Damian dengan menaikkan sebelah alisnya.

"Tapi ia memang pernah memperkosa orang," ujarnya sungguh-sungguh.

"Bohong,"

"Dia itu dulu temanku, Avery." Cara Damian menyebutkan namaku membuatku merinding. Sumpah.

"Kami dulu sering bermain bersama sampai pada akhirnya, pacarnya memutuskan hubungan mereka karena pacarnya tidak ingin melakukan hubungan seks sebelum nikah namun si brengsek itu memaksanya dan begitulah." Jelas Damian lagi. Mulutku sudah menganga mendengarkan penjelasan Damian.

"Diam-diam menghanyutkan, eh? Kau tahu, lebih baik tampak sepertiku kan? Jahat di luar baik di dalam?" Damian memainkan alisnya kepadaku dengan senyuman miring andalannya yang benar-benar hot. Sejujurnya, pernyataan Damian barusan memang benar tapi tentu saja aku tidak akan mengakuinya karena gengsiku masih terlalu tinggi.

Aku juga hampir lupa kalau Damian ini adalah orang yang menjengkelkan di seluruh dunia karena ia sudah menjahiliku beberapa kali. Alih-alih mengingatnya, aku sudah melupakan semua itu. Bisa kau bilang aku tipe orang pemaaf yang langsung memaafkan orang dalam beberapa jam. Bukannya sombong tapi aku beneran tidak bisa marah lama-lama dengan orang. Sudahlah, walau aku tidak marah lagi pada Damian. Demi putri duyung dan segala isi di laut, aku tidak akan pernah mengakuinya langsung di depan Damian. Bisa-bisa kepalanya membesar hingga helm tidak muat di kepalanya. Aku memutar bola mataku malas menanggapi pernyataan aneh nan benar milik Damian barusan.

• • •

Aku berjalan di koridor sekolah menuju kelas, kali ini aku tidak sekelas dengan temanku. Rata-rata bidang spesialis aku, Lois dan Margo sangat berbeda jauh. Aku lebih menyukai seni, Lois lebih suka psikolog dan filosofi, Margo lebih menyukai tentang alam semesta seperti meteorologi, geografi, dan lain-lain. Jadi, aku mengerti kita mungkin hanya akan bertemu di kelas wajib. Tiba-tiba kurasakan pundakku menjadi lebih berat karena tangan seseorang berada di pundakku. Damian. Aku menggeram kesal. "Ngapain lagi kau disini?" aku menatapnya tajam dan tanpa kusadari suaraku lumayan keras.

"Aku kan pacarmu, sayang." fitnah Damian. Ia memberikanku tatapan cepat-berakting-berpura-pura-pacaran-denganku dengan sedikit pelototan tapi detik selanjutnya sudah berubah menjadi senyuman manis. Aku membiarkan tangan Damian di pundakku dan aku berjalan ke kelas Art.

Sebelum aku mencapai kelas Art, aku melewati lapangan dan memerhatikan anak cheerleader sedang latihan. Kufokuskan mataku pada seorang yang sedang diangkat. Sydney. Iya, dia orang yang kapan hari menyumpahiku dan memerintahku untuk menjauhi Damian. Menyumpahiku untuk menjauhi Damian? Well, that actually doesn't work for me. Yah jujur, Sydney terlihat keren kalau seperti ini, wajahnya cantik, berambut blonde dengan mata berwarna hijau. Tidak ada laki-laki yang bisa menolak, namun perilaku dan sifatnya sangat bertolak belakang dengan penampilannya.

Ketika aku melihat Sydney berjalan ke arahku, aku hanya diam menatapnya. Damian yang disampingku juga diam dan dari ekor mataku aku dapat melihat ia juga sedang menatap Sydney dengan wajah flat.

Infuriating Smith Where stories live. Discover now