Prolog

569 73 29
                                    

Pada mulanya, gadis itu hanyalah seonggok jantung yang berdetak. Walau sudah kehilangan tubuh, ia menolak untuk mati. Walau hanya tersisa sekeping darinya yang tidak musnah dilalap api, ia menolah untuk menyerah pergi. Seperti tabiat pemiliknya. Seperti inti kehidupannya yang mungkin saja sudah menyeberang ke sisi lain.

Ah, sisi lain. Seperti apakah sisi itu, aku bertanya-tanya. Aku tidak pernah pergi ke sana dan tidak punya bayangan akan sisi itu.

Mungkin karena itulah aku kembali lagi ke tempat ini. Karena itulah aku seolah ingin mati saja di sini daripada berlari ke tempat aman di luar sana dan menghargai pengorbanan Albert.

Mungkin ini bentuk keputus asaanku yang terdalam. Bentuk pemberontakan terakhirku pada keinginan teman yang mengingkanku hidup.

Atau murni, aku hanya penasaran.

Gadis itu tidak keluar. Tidak ikut bersamaku keluar lingkaran api yang membakar Jogjakarta menjadi debu. Kupikir dia mungkin tidak selamat. Tapi rupanya di sinilah dia.

Dan di sinilah aku, menjadi orang pertama yang beruntung menemukannya.

Atau cukup putus asa.

Aku berlutut. Di tengah api yang membara di sekeliling kami, aku menatap daging yang masih kemerahan dan berdenyut itu. Jaringan bar uterus terbentuk di sekelilingnya kendati api terus membakar seluruh sisa jasadnya. Menunjukkan kepada mataku yang telah lelah melihat kehidupan ini, sebuah bentuk perjuangan yang tidak akan pernah membosankan untuk dilihat.

Tanganku turun, menyingkirkan bara yang membakar kehidupan itu, membiarkan sedikit lagi pembuluh darahnya pulih. Usaha itu berhasil. Pembuluh darahnya menjalar dan membentuk jaringan baru. Seperti sebuah kehidupan yang terlahir baru.

Sekali lagi aku berdiri di persimpangan. Aku berdiri di antara dua pilihan yang mungkin akan mengubah nasib lebih dari satu orang.

Pilihan, sebuah konsep yang sampai saat ini belum kugenggam sepenuhnya. Baru-baru ini, aku mengerti betapa sebuah pilihan dapat sangat menyakitkan. Betapa bodohnya aku yang sangat terlambat menyadari dan mengambil tindakan.

Kini, instingku yang terluka menemukan jalan persimpangan yang sama. Sebuah pilihan besar yang tidak hanya tentang diriku, tapi juga tentang mereka. Tentang orang-orang yang ditinggalkan. Orang-orang yang terpaksa menerima janji yang tertangguhkan.

Ini bukan hanya tentang aku ataupun dia ataupun kami.

Ini tentang semua orang yang terkait. Mereka yang di satu titik di hidup mereka, bersimpangan jalan dengan kami.

Dan kebahagiaan yang terenggut.

Kurasa aku sudah tahu apa yang akan kupilih.

Jadi tanpa pikir panjang lagi, aku mengulangi tindakanku ke bara-bara lain yang jatuh. Mengabaikan sepenuhnya bara lain yang menimpa tubuhku. Kusingkirkan bebatuan dan puing yang menghalanginya. Membiarkan segenggam kecil nyawa yang berjuang itu untuk berkembang.

Pembuluh darah yang kecil itu berubah menjadi segumpal darah, berubah menjadi sekelumit tulang, dibungkus daging, dan hingga akhirnya berbalut kulit. Belum sempurna. Masih separuh tubuhnya belum terbentuk.

Tapi ini sudah menjawab tanyaku. Menjawab pertaruhan yang aku buat dengan mendiang Albert sebelum semua ini bermula.

"Kau mau bertaruh pada pilihan Ariyuda?" Pertanyaan Albert bergema dalam kepalaku. "Kau juga ingin anak itu memikul segalanya?"

"Karena orang-orang seperti kita sudah tidak peduli pada apa pun yang terjadi pada dunia ini, Albert."

Aku mendongak ke arah langit yang bergemuruh di atas kami. Api masih membara di sekelilingku, menyabet kulitku, membakar rambutku, dan menghanguskan tubuhku, menjadikanku abu berulang kali, membiarkan pemulihanku yang tiada henti ini mengambil alih dan menghidupkan lagi aku ke dalam bentuk utuh yang tak terhancurkan. Seperti ribuan tahun sebelum ini.

Blood and CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang