Bab 1- Sinar Bulan Yang Pudar

98.3K 6.9K 216
                                    

PERHATIAN !!!

Cerita ini terdapat banyak kesalahan penempatan kata, jika ingin tetap membaca mohon untuk memaklumi kesalahan yang ada. Selamat membaca ...

***

Berulang kali dengan hembusan napas yang cukup berat asap rokok itu keluar dari rongga bibir Adrian. Lelaki itu sedang menikmati kesendiriannya hanya bertemankan beberapa batang rokok di sudut tergelap terselenggaranya outdoor wedding reception Azka & Reya. Acara utama sudah digelar beberapa saat yang lalu, dan ketika kesempatan itu ada Adrian memilih untuk melangkah mundur secara perlahan dengan harapan tidak seorangpun menyadari pergerakannya.

Sinar bulan yang terpudarkan oleh awan seolah menenggelamkan kehadiran Adrian di tengah-tengah pepohonan rindang yang ada di tempatnya saat itu. Tepat di depan paviliun milik keluarga Bramadi (Keluarga Azka) di sanalah ia berdiri menatap sendu sang bulan yang terpudar sinarnya oleh sang awan. Samar-samar dengan posisi yang cukup jauh dari tempat pesta digelar Adrian mendengar riuh sorakan penuh tawa tersirat seperti sedang menertawakan isi hatinya saat ini.

Waktu yang ia lewati telah lama berlalu sejak perpisahannya dengan Reya. Namun Adrian sangat bodoh untuk melupakan wanita itu. Bahkan sampai saat ini. Dengan keberanian diri yang hendak ia uji, Adrian datang ke pesta pernikahan wanita itu dengan membawa cinta masa lalu yang masih melekat di hatinya. Adrian yang mencintai Reya dan sempurna karena Reya pun merasakan hal yang sama. Namun itu dulu. Kini cinta itu hanya milik Adrian, tidak lagi milik mereka berdua karena kehadiran lelaki lain meruntuhkan perasaan yang Reya punya dan berakhir membawa Reya pergi dari sisinya.

Dalam-dalam Adrian kembali menyesap bagian termanis rokok yang ia pegang lalu menghembuskannya. Sebagai dampaknya, lelaki itu mendapat ketenangan semu yang sejenak menghilangkan beban di pikirannya.

"Sejak kapan lo ngerokok?" Adrian langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata Raka. Kakak ipar mantan kekasihya.

Adrian tidak menanggapi, ia justru membuang wajahnya ke arah lain.

"Bagi dong ..."

"Apa?" Adrian masih menanyakannya meskipun ia tahu yang diminta Raka adalah rokok.

"Rokok," Raka menggunakan dagunya untuk menunjuk rokok yang Adrian pegang.

Tanpa mempertimbangkan permintaan Raka, Adrian langsung memberikan kotak rokok yang ada di kantongnya lalu melemparkannya kepada Raka tidak lupa dengan korek gas yang ia punya. Sejenak tidak ada yang bersuara di antara mereka. Masing-masing sibuk menikmati rokok mereka.

"Gue pikir lo udah pulang." Raka mendahului bersuara. Adrian tidak menjawab karena merasa tidak perlu memberi tanggapan.

"Awalnya gue pikir lo nggak bakalan datang," Raka kembali bersuara, berusaha untuk membuka pembicaraan dengan Adrian, teman bisnis yang cukup lama dikenalnya. Lagi-lagi Adrian tidak menanggapinya.

Merasa bosan, Adrian membuang puntung rokoknya ke tanah lalu menekannya dengan ujung sepatu.
"Ini wedding party pertama gue sejak balik ke negara ini," ucap Adrian memberikan pernyataan. Dan sialnya ini wedding party orang yang gue cintai. Adrian melanjutkannya dalam hati.

Raka menepuk pundak Adrian prihatin. "Tuhan punya orang lain yang jauh lebih baik dari adik ipar gue untuk lo." Adrian tertawa mendengarnya. Kata-kata itu sudah pernah Adrian dengar berulang kali dan sepertinya Raka bukanlah yang terakhir.

"Yang sendiri di sini bukan hanya lo. Tenang brother, ada gue di sini yang juga sama kayak lo."

Adrian langsung mencibir apa yang Raka katakan. Sedikitpun Adrian tidak pernah mempermasalahkan tentang kesendiriannya. Namun terkadang ia masih sering menanyakan permasalahannya kepada Tuhan, kenapa wanita yang sangat ia cintai ditakdirkan untuk lelaki lain, kenapa bukan dirinya. Adrian benar-benar lelah sekaligus tersiksa. Terkadang dalam hidup, apa yang tidak diinginkan memang harus terjadi. Seperti kehilangan Reya misalnya.

Suasana hening setia menyelimuti Adrian dan Raka sampai suara tak terduga itu terdengar nyaring memecah pendengaran mereka. Suara itu bersumber dari paviliun yang spontan membuat Adrian dan Raka menoleh ke arah paviliun.

Awalnya Adrian bersikap acuh karena beranggapan tidak akan ada masalah yang timbul dari suara itu bahkan ketika Raka berlari tergesa-gesa masuk ke dalam paviliun itu. Adrian menyempatkan diri melirik arloji yang melekat di tangan kanannya sekedar memastikan sudah berapa lama ia berada di tempat itu. Dua jam sudah berlalu dan hanya Raka yang mampu menemukannya berteman sepi.

Baru saja ketika Adrian hendak kembali ke tempat resepsi digelar tiba-tiba Adrian mendengar langkah kaki yang berjalan tergesa-gesa mendekatinya.

"Adrian, gue butuh pertolongan lo," suara itu milik Raka yang langsung membuat Adrian berbalik menghadapnya.

Dari raut wajahnya Raka terlihat sedang panik. Bukan. Lelaki itu ketakutan. Adrian bisa memastikan hal itu meskipun sinar temaram tak banyak memberikannya penerangan untuk membaca ekspresi lawan bicaranya.

"Apa?"

Raka menarik lengannya lalu sedikit mendorongnya ke depan. "Lo masuk ke dalam, bawa perempuan itu keluar lewat pintu belakang paviliun. Gue siapin mobil dan tunggu gue di tempat yang gue bilang," Raka mengucapkannya dengan tergesa-gesa lalu langsung berlari pergi tanpa meninggalkan alasan yang jelas siapa perempuan yang ia maksud kepada Adrian.

Ia tidak tahu siapa perempuan yang harus ia bawa keluar melalui pintu belakang. Tentu saja itu membuat Adrian ragu untuk menuruti apa yang Raka katakan. Namun melihat cara Raka meminta bantuan padanya sepertinya sesuatu yang buruk sedang terjadi. Tanpa pikir panjang, Adrian langsung berlari masuk ke dalam paviliun. Adrian masuk ke dalam ruangan pertama yang ia lihat dan itu benar-benar membuatnya kaget sampai berjalan mundur beberapa langkah.

Ada dua orang perempuan di dalam ruangan itu. Yang satu berdiri di sudut ruangan dengan tubuh yang bergetar hebat. Dan satunya lagi, bersimpuh darah tidak sadarkan diri. Darah itu bersumber dari pergelangan tangan yang tergores.

"Dia memotong urat nadinya dengan gunting itu," ucap perempuan yang berdiri di sudut ruangan, sambil menunjuk gunting hitam yang tergeletak di langai.

"Bukan saya yang membuatnya seperti ini. Sungguh Tuan bukan saya," perempuan itu berusaha meyakinkan Adrian bahwa bukan dirinya yang menciptakan kekacauan ini.

Adrian tidak peduli siapa yang bersalah di sini. Meskipun awalnya ia terkejut namun seakaan ada yang menyentaknya dan membuatnya tersadar ada nyawa seseorang yang harus diselamatkan. Secepat yang ia bisa Adrian merobek kain yang ia gapai dan membalutkannya erat-erat pada pergelangan perempuan itu. Adrian mencoba menghentikan darah yang keluar dengan membalutnya.

Adrian tidak tahu siapa perempuan yang sedang ia tolong. Ia tidak tahu apa hubungan perempuan itu dengan Raka dan kenapa dia bisa ada di tempat itu. Yang Adrian tahu hanyalah ia harus menolong perempuan itu dan mengikuti intruksi Raka yang menyuruhnya membawa perempuan itu keluar dari pintu belakang paviliun.

"Tunjukkan saya jalan menuju pintu belakang." Kalimat itu Adrian tujukan untuk perempuan yang masih berdiri di pojokan.

"Baik Tuan."

Perempuan itu mengambil langkah di depan Adrian, menuntun jalan membawa mereka keluar dari paviliun. Sigap begitu melihat ada pintu yang tertutup perempuan yang merupakan pelayan keluarga Bramadi itu langsung membuka pintunya.

Begitu mereka sampai di pintu pagar halaman belakang, Raka tiba dan langsung turun dari mobil membantu Adrian membukakan pintu belakang mobil.

"Sintha, katakan pada Ibu apa yang terjadi. Pastikan untuk memberitahunya di tempat yang sepi dan katakan bahwa semuanya baik-baik saja," pesan Raka kepada pelayan perempuan itu sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam kemudi mobil lalu melajukannya.

~~~

Everlasting LoveWhere stories live. Discover now