Bab 11

47K 3.9K 214
                                    


Jika masa lalu
membuatmu sesakit ini
maka lupakanlah.
***


Adrian terdiam memandangi wajah Aya dari samping. Dalam diamnya ia kembali teringat dengan cerita yang Reya sampaikan siang tadi. Dipandanginya Aya dengan tatapan penuh iba. Wajah cantiknya layu, pucat, jelas sekali terlihat banyak beban yang ada di benaknya.

Melihat Aya yang seperti sekarang ingin sekali Adrian membangkitkan semangat hidup perempuan itu. Ingin sekali Adrian melihat senyum perempuan itu. Bagaimana jadinya jika suatu saat apa yang benar-benar Adrian inginkan terjadi? Mungkin arti kebahagiaan bagi Adrian menjadi lebih sederhana saat itu juga, yaitu dengan melihat perempuannya tersenyum dan mulai membuka diri dengan masa depan.

"Aku punya cerita, kamu mau denger nggak?" Adrian mendesah dalam hati karena tidak mendapat jawaban dari Aya. Lelaki itu lantas mengeluarkan sekotak rokok dari kantong celananya lalu mengambil sebatang untuk dinikmatinya. Adrian melewatkan beberapa kali hembusan sebelum melanjutkan ceritanya. Sepertinya apa yang Adrian lakukan menarik perhatian Aya. Perempuan itu menoleh ke arahnya dan melirik rokok yang diapit dua jari tangan Adrian.

"Kamu nyadar nggak sih kalau selama ini aku belum memperkenalkan diri aku sama kamu?" Adrian tersenyum saat menyadarinya. Hampir tiga minggu waktunya dihabiskan bersama Aya namun lelaki itu tidak sadar bahwa Aya mungkin saja tidak tau namanya, itu kemungkinan terburuk. Tapi siapa tahu melalui panggilan orang lain yang menyebut namanya, Aya jadi tahu siapa nama lelaki yang selama ini berusaha terus mendekatinya namun perempuan itu lebih memilih acuh.

"Namaku Adrian Winatama. Kamu bisa manggil aku Adrian, Yan, atau apa saja asal jangan memanggilku Arman. Itu jelas-jelas bukan aku." Meskipun Aya tidak memberikannya jawaban, namun Adrian sangat berharap perempuan itu dapat mendengarkannya.

"Aku punya sesuatu yang ingin aku bagi sama kamu. Tentang masa lalu yang membuatku berubah, dan tentang kehilangan yang mengajariku tegar dan tetap bertahan." Adrian meyakinkan dirinya sebelum kembali berucap. Apa yang akan ia ceritakan adalah sesuatu yang sangat ingin ia pendam dari orang-orang. Ia tidak ingin orang lain melihat sisi lemahnya di masa lalu, tapi ia ingin membaginya dengan Aya. Adrian ingin menceritakan bagaimana saat-saat terberat dalam hidupnya, dan bagaimana ketika ia melapangkan dada setelah kehilangan yang tragis.

"Aku lahir di keluarga yang berkecukupan. Papaku menduduki jabatan tinggi di sebuah perusahaan besar. Dan mama hanya seorang ibu rumah tangga yang banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan sosial bersama teman-temannya." Adrian mulai menceritakan kisahnya. Suasana hatinya jatuh lebih dalam walau hanya beberapa kalimat yang terucap dari bibirnya. Ia mulai terbawa suasana, dan kenangan masa lalunya terasa seperti kenangan kemarin sore yang baru telewat.

"Masa kecilku tidak pernah kekurangan apapun mengenai materi. Papa membelikanku apapun yang aku mau, dan aku senang karena bisa memiliki apa yang  tidak dimiliki anak-anak seusiaku di masa itu. Tapi ketika mulai menginjak ke jenjang sekolah, di sana aku baru sadar apa yang benar-benar tidak pernah aku miliki selama ini. Melihat teman-teman sebaya diantar oleh orang tuanya, saat itu juga aku menoleh ke belakang, bertanya dalam hati. Ke mana papa dan ke mana mama? Setiap hari Pak Suryo-lah yang mengantarku, beliau lelaki paruh baya yang dipekerjakan papaku sebagai supir.

Sempat suatu hari aku menghampiri ruang kerja papa dan memintanya untuk sesekali mengantar ke sekolah namun jawaban yang aku dapat "Papa besok berangkat pagi-pagi ke Palembang ada kerjaan." aku coba untuk mengerti saat itu juga dan memintanya di lain hari, namun jawaban yang papa berikan selalu penolakan dengan alasan yang intinya 'papa tidak pernah punya waktu untukku' .

Ku coba berbicara dengan mama dan mengatakan apa yang aku inginkan, aku bersyukur karena mama bisa mengerti dan untuk beberapa hari beliau sempat pergi mengantarkanku ke sekolah. Namun itu hanya beberapa hari karena setelahnya mama mulai sibuk dengan usaha barunya yang bergerak di bidang kuliner. Semenjak saat itu aku benar-benar kehilangan waktu dengan mama. Yang awalnya sesekali mama menghabiskan waktu bermain atau mengobrol denganku, saat itu tidak pernah lagi.

Bisa dikatakan aku tumbuh besar tanpa kasih sayang mereka. Tapi mereka selalu melibatkan uang untuk menggantikan posisi mereka demi kesenanganku. Aku dibebaskan membeli apapun yang aku inginkan melalui sebuah kartu yang papa berikan untukku.

Di saat remaja aku kehilangan arah, gejolak yang membara tidak bisa aku kendalikan tanpa ada bimbingan mereka saat itu. Kerap kali aku sengaja membuat masalah dengan temanku dan berakhir dengan panggilan orang tua untuk datang ke sekolah. Saat itu aku berharap mama atau papa akan datang sebagai bentuk perhatian terhadap putra mereka. Namun apa yang terjadi? Papa selalu mengutus anak buahnya untuk datang dengan alasan ada kerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan. Kubuat masalah tidak hanya sekali hanya untuk memancing perhatian dari mereka namun tidak pernah berhasil. Ku hambur-hamburkan uang dengan harapan papa akan menegurku dan itu artinya dia peduli terhadapku, namun kepedulian papa sepertinya tidak pernah ada, begitupun dengan mama.

Aku masih sangat ingat. Waktu itu aku kelas 3 SMP. Keadaan masih sama, papa selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan begitupun dengan mama. Saat itu ada sesuatu yang tidak aku sadari saat itu juga mengenai keberadaan mama. Awalnya aku pikir mama jarang terlihat di rumah bahkan sampai berhari-hari itu karena urusan pekerjaannya. Namun ternyata ada sesuatu yang ingin mama sembunyikan sampai jarang berada di rumah. Kenyataannya mama kerap kali pergi ke Singapura, menetap di sana 2-3 hari untuk proses pengobatannya. Mamaku sakit, beliau mengidap penyakit kanker otak dan aku baru tau ketika tingkat penyakitnya sudah tinggi. Mama mencoba menyembunyikannya dari aku dan papa namun akhirnya kami tau. Aku sempat berharap dengan keadaan seperti itu papa bisa lebih meluangkan waktunya untuk keluarga terutama mama, namun apa gunanya sebuah harapan? Itu benar-benar tidak pernah terjadi. Papa tetap sibuk dan tergila-gila dengan uang yang ia dapat dari pekerjaannya.

Sama sepertiku, mama juga turut kehilangan kehadiran papa dalam keluarga. Dan ternyata itu membuat mama berpikir ketidakhadiran papa adalah alasan bahwa lelaki itu sudah tidak mencintainya lagi. Dengan keberadaanku ku coba untuk menggantikan posisi papa di kehidupan mama. Waktu bersenang-senang dengan teman-teman kukorbankan untuk merawat mama. Aku yang selalu menemani beliau, menggenggam tangannya saat terlelap.

Namun ketidakhadiran papa menghancurkan semuanya. Tiga tahun mama bertahan tepat satu minggu sebelum UN tiba, mama meninggal. Bukan karena penyakitnya, melainkan bunuh diri. Aku benci dengan keadaan saat itu juga. Mama adalah seluruh kehidupanku, namun beliau pergi dengan cara yang aku benci. Lebih tepatnya aku sangat benci alasan kematian mama, yaitu papa. Ketidakpedulian papa penyebabnya.

Karena kepergian mama, hidupku kacau. UN yang tinggal di depan mata tidak aku pedulikan. Besarnya rasa kecewa terhadap papa tidak bisa aku sembunyikan. Terang-terangan aku ungkapkan semua yang ada di kepala, berharap sedikit saja papa bisa mengerti bahwa keadaan tidak akan seperti itu andai saja papa mau meluangkan sedikit waktu untuk keluarga.

Berbulan-bulan kulewati hari dengan bayangan mama. Rasanya tidak sanggup menerima kenyataan bahwa mama sudah pergi untuk selama-lamanya. Tapi dukungan teman-teman sangat besar saat itu, mereka berperan banyak dalam perkembangan mental aku dalam menerima keadaan.

Bukan hal yang mudah untuk melupakan dan bangkit saat itu juga. Perkara hati yang tidak ikhlas adalah sesuatu yang paling sulit untuk diatasi. Namun, aku terus berpikir 'sampai kapan aku terus seperti ini? Ku pikir jika mama ada di sisiku saat ini, beliau tidak akan suka melihat keadaanku sekarang.'

 Bisa dibilang aku terlalu banyak membuang-buang waktuku untuk menyesali apa yang terjadi sampai akhirnya aku tersadar, bahwa ada hari-hari yang harus aku hidupi dengan mimpi-mimpi yang lain setelah kehilangan orang tersayang. Perlahan aku mulai bisa menerima keadaan dan mengikhlaskan kepergian mama. Rasanya jauh lebih mudah ketika saat itu. Keadaan mengajarkanku bahwa mengikhlaskan memberikan kedamaian. Karena ketidak-ikhlasan memberikan tekanan." Adrian mengakhiri kata-katanya lantas mengambil kedua tangan Aya untuk digenggamnya. 

"Jika masa lalu membuatmu sesakit ini maka lupakanlah. Ikhlaskan apa yang terpaksa harus terjadi di luar apa yang sangat kamu inginkan. Seperti yang aku bilang, kamu punya hari-hari yang harus kamu hidupi dengan mimpi-mimpi yang lain." Adrian berharap apa yang dikatakannya bisa menjadi motivasi untuk Aya kedepan. Mengenai Aya yang sama sekali tidak merespon kata-katanya, Adrian tidak mempermasalahkan itu. Adrian hanya berharap dalam diamnya saat mendengar, Aya bisa mencerna apa yang ia katakan. Meskipun sulit dipastikan dalam keadaan mental seperti itu Aya bisa mencerna dengan baik apa yang orang lain katakan untuknya. 

"Kamu hidup bukan hanya untuk dia, melainkan untuk keluargamu, kamu, dan terutama aku. Bekerja keraslah untuk mengatasinya, Aya."    

Everlasting LoveWhere stories live. Discover now