Bab 5

48.5K 4.8K 187
                                    

Adrian keluar dari HRV putih dengan setangkai bunga matahari di tangannya. Ia sampai di rumah Raka ketika hari menjalang malam, itu karena sekian menit waktunya terbuang sia-sia selama perjalanan.

"Adrian ya?" Seorang wanita 50 tahunan yang ia kenal sebagai mamanya Raka berjalan menghampirinya.

"Iya tante." Sopan, Adrian langsung menjabat tangan wanita bernama Marina tersebut.

"Raka masih keluar, tadi orang kantor nelpon dadakan." Mendengar bahwa Raka tidak di rumah membuat Adrian sangat gembira. Itu berarti dirinya tidak perlu repot-repot mengarang alasan mengenai kedatangannya yang tiba-tiba dan jarang sekali terjadi selama pertemanan mereka.

"Oh ya nggak apa, saya tunggu di sini aja."

Setelah sedikit berbasa basi menyambut tamunya, Marina lalu menggiring Adrian berjalan menuju kursi di teras rumahnya.

"Tante Aya-nya mana?"

Air muka Marina langsung berubah. "Aya?"

"Boleh saya ketemu dengan dia?" tanya Adrian sopan.

"Kamu kenal Aya?" Tampak pandangan mata Marina menyelidik ke dalam pupil Adrian.

"Saya yang bantu Raka nganter Aya ke rumah sakit kemarin malam."

"Jadi yang diceritakan sama Raka itu kamu? Ya ya tante ingat." Wanita itu melemparkan senyumnya pada Adrian. "Aya di paviliun. Semenjak keluar dari RSJ dia selalu di sana."

"Boleh saya ketemu dengan dia?" tanya Adrian kembali meminta izin.

Marina terlihat ragu memberikan izin. Karena ia tidak mengenal Adrian, lagipula itu adalah pertemuan pertama mereka yang semakin membuat Adrian ragu. Namun ketika menyelidik ke dalam mata lelaki itu Marina tidak menemukan apapun yang pantas untuk dikhawatirkan. Tanpa sengaja Marina melirik bunga matahari yang ada di tangan Adrian namun enggan untuk bertanya lebih lanjut.

"Silakan. Kamu tahu paviliunnya kan? Sudah ada Sintha yang jaga Aya di sana."

Adrian tersenyum sembringah mendapatkan izin bertemu dengan perempuan itu. "Tante masuk dulu ya, mempersiapkan makan malam."

Adrian mengangguk sopan mempersilakan. Tak lama setelah Marina menghilang Adrian langsung melangkahkan kakinya menuju paviliun yang letaknya berada di sebelah selatan bangunan utama.

Samar-samar dari luar ruangan, Adrian mendengar suara perempuan di dalam sana sedang membujuk Aya makan namun sepertinya perempuan itu kesulitan untuk membujuknya.

Baru saja Adrian hendak mengetuk pintu di depannya tapi pintu itu tiba-tiba terbuka dari dalam. "Astaga, bikin kaget aja." Suara spontan karena terkejut perempuan itu membuat Adrian mundur dari tempatnya. Mungkin dia yang namanya Sintha, perempuan yang ditemuinya beberapa hari yang lalu.

"Saya mau ketemu dengan Aya," kata Adrian memecah ketegangan di antara mereka.

"Sudah izin dengan ibu, belum?" Lagi-lagi Adrian kembali mendapat tatapan menyelidik. Adrian kurang suka sebenarnya, hal itu seolah-olah Adrian terlihat sedang merencanakan sesuatu yang jahat sampai mendapat tatapan khusus untuk mendapatkan jawabannya.

"Sudah." Adrian langsung masuk ke dalam ruangan itu begitu saja. Ia melihat Aya sedang berbaring membelakanginya menghadap jendela. Rambut hitam panjang Aya yang tergerai seolah menarik Adrian untuk mendekat. Namun sebelum itu Adrian memastikan sesuatu terlebih dulu.

"Saya perlu ruang untuk berbicara dengan Aya hanya berdua." Adrian mengatakan itu karena Sintha turut mengikutinya masuk, perempuan itu terkesan membututinya.

Mendengar perkataan Adrian rupanya tidak langsung membuat Sintha mengerti maksud lelaki itu yang memintanya untuk segera keluar. Perempuan itu masih di tempatnya mengawasi gerak-gerik Adrian.

"Kalau kamu khawatir kamu boleh memperhatikan saya dari depan kamar, tanpa menutup pintunya pun tidak masalah."

Perempuan itu melangkah mundur perlahan mulai menuruti apa yang Adrian katakan. Adrian mendesah lega. Setidaknya dengan begitu privasinya dengan Aya lebih luas.

"Hey ..." sapanya, namun perempuan itu terlihat tidak sedikitpun tertarik dengan keberadaan Adrian yang kini ada di dekatnya, bahkan melirik Adrian pun enggan.

"Masih ingat sama aku?" Adrian terus mencoba mengambil perhatian Aya yang sejak tadi hanya memandang keluar jendela dari tempat tidurnya.

Tidak ingin putus asa begitu saja, Adrian mengulurkan setangkai bunga matahari yang tadi ia beli di jalan pada Aya. Perlahan arah mata perempuan itu menangkap bunga tersebut sebagai objek pandangnya. "Buat kamu," kata Adrian.

Tangan perempuan itu terangkat, ia ingin meraih bunga itu namun ragu. Cekatan, Adrian meraih tangan Aya dan memberikan bunga itu langsung padanya.

"Suka sama bunganya?" Aya diam, tidak ada tanda-tanda perempuan itu akan menjawab pertanyaan Adrian. Apa pertanyaan yang harus Adrian lontarkan agar Aya menjawab pertanyaannya? Hal itu sama saja menguji kesabaran Adrian.

"Tau kenapa aku pilih bunga itu untuk kamu?" Adrian mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Aya, ia berpikir dengan seperti itu Aya akan melirik ke arahnya walau sebentar. Tapi kenyataannya perempuan itu sama sekali tidak melakukannya.

"Kamu mau tau alasannya nggak?" Adrian bertanya hampir putus asa, namun saat itu juga Aya menatapnya. Mata mereka bertemu.

Matamu memiliki arti lebih dari kata-kata lain. Gumam Adrian di dalam hatinya. Ia terlena dengan tatapan perempuan di depannya.

"Alasannya karena matahari adalah harapanku setiap hari. Melihat matahari menembus celah jendela kamarku setiap paginya itu artinya aku masih punya harapan untuk kehidupan ini. Matahari itu sama seperti kamu. Melihat kamu seolah ada harapan baru di hidup aku. Makanya aku pilih bunga matahari untuk kamu, karena bagi aku matahari itu kamu." Adrian terkesima mendengar kata-katanya sendiri. Sejak kapan ia pintar merangkai kata-kata seperti tadi?

Ia tidak membual melalui kata-katanya. Penjelasannya tadi adalah perwakilan dari perasaannya. Perasaan yang mungkin orang lain tertawakan karena tumbuh terlalu cepat. Karena jangan pernah menyalahkan satu hal, bukankah perasaan suka itu tidak bisa dikontrol?

"Aku nggak tahu cerita sebenarnya mengenai masa lalu kamu yang membuatmu seperti ini. Tapi kalau cerita orang lain benar semua itu karena kehilangan, maka kita berdua sama. Kita pernah sama-sama kehilangan dan masih terjebak dalam masa lalu. Jujur, aku tidak mau terus seperti ini, rasanya melelahkan. Kalau kamu setuju ayo sama-sama melewati ini."

Adrian tidak pernah benar-benar yakin dengan pemikirannya mengenai perasaan yang ia rasakan. Namun ketika melihat mata perempuan itu semuanya menjadi jelas. Ia tidak bisa mengalihkan perempuan itu.

"Mau jadi kekasihku?"

Lama Adrian menunggu namun tetap tidak ada jawaban dari Aya sampai ia memberanikan diri mengambil kesimpulan.

"Banyak orang yang bilang kalau diam berarti ya." Senyum di wajah Adrian merekah karena melihat tidak ada tanda-tanda penolakan di wajah Aya. Orang-orang yang melihatnya mungkin akan mencaci maki kekonyolannya saat itu namun Adrian tidak pernah mempermasalahkannya. Itu sudah menjadi keputusannya dan selama 24 tahun hidup Adrian tidak pernah menyesali keputusan yang ia buat.

"Jadi sekarang kita adalah sepasang kekasih."

Adrian meraih tubuh Aya untuk dipeluknya. Ia bahagia. Mungkin itu cukup untuk mendeskripsikannya. Lama Adrian mendekap tubuh Aya karena merasa nyaman dengan posisi mereka saat itu.

"Arman ..." saat itu juga Aya membalas pelukannya. Adrian merasa bahagia dan terluka secara bersamaan. Ia terluka karena sejak awal Aya menganggap dirinya adalah Arman bukan Adrian.

                                    ~~~

Everlasting LoveWhere stories live. Discover now