Bab 18

59.4K 5.3K 660
                                    

Begitu keluar dari ruangan dokter Luna, Aya langsung disambut oleh Adrian. Lelaki itu langsung berdiri dan menghampirinya. "Gimana?" tanya lelaki itu.

"Apanya?" Aya berbalik bertanya yang berhasil membuat Adrian mengkerutkan dahinya.

"Gimana tadi sesi konsultasinya?" Adrian memperjelas pertanyaannya.

"Kepo," Aya menanggapinya sedikit sinis, Adrian menganga tidak percaya dibuatnya. Ia tidak menyangka sekarang Aya sudah bisa seperti itu.

"Gini ya kamu sekarang?" Adrian terheran-heran.

"Ayo pulang ..." Aya berjalan mendahului kemudian diikuti oleh Sinta, sementara Adrian masih di tempat belum bisa menyangka dengan perubahan sikap Aya. Namun tidak lama kemudian Adrian segera menyusul langkah Aya yang berjalan menuju arah mobil mereka.

Adrian sudah siap menghidupkan mesin mobil kemudian melaju pergi ketika tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan masuk dari Ganindra. Lelaki itu menghubunginya untuk menyampaikan bahwa segala keperluan Adrian selama pergi sudah disiapkan tinggal berangkat saja.

"Masnya mau pergi ya?" Sinta yang tadi sempat mendengar pembicaraan Adrian di telepon penasaran ke mana akan perginya lelaki itu.

"Iya, kenapa? Kepo kamu." Aya yang merasa tersindir akan tanggapan itu langsung menghadiahi Adrian dengan tatapan dingin.

"Ya siapa tau gitu saya bisa nitip oleh-oleh. Emang mau pergi ke mana masnya?" Sinta terus melontarkan pertanyaan berbasa-basi dengan Adrian.

"Palembang," jawab Adrian sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Begitu mendengar jawaban tersebut Sinta langsung menepuk jok kemudi Adrian dari belakang dengan antusias. Menyadari pergerakan yang tiba-tiba itu jelas saja Adrian terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya.

"Itu kampung halaman saya," Sinta berseru riang sebelum Adrian sempat protes karena perlakuannya tadi. "Udah lama saya nggak pulang, rindu sekali dengan ibu dan bapak," lanjutnya sambil menatap langit-langit mobil mengingat suasana kampung halamannya di Palembang.

Tiba-tiba terlintas dalam pikiran Adrian untuk mengajak perempuan itu pergi bersamanya. Ia pikir itu bukan ide yang buruk. "Gimana kalau kamu ikut pergi sama aku?"

"Yang bener saya boleh ikut?" Sinta langsung gembira mendengarnya karena kemungkinan ia akan dapat transport gratis pulang ke Palembang.

"Bukan kamu. Saya menawarkan untuk Aya," jelas Adrian yang langsung menjatuhkan pundi-pundi harapan Sinta. Sinta yang merasa dipermainkan kembali memukul jok kemudi yang diduduki Adrian, kali ini cukup keras namun Adrian tidak mempedulikannya. Pandangannya langsung terfokus pada Aya.

"Gimana? Kamu mau ikut pergi sama aku?" Aya diam tidak merespon pertanyaan tersebut. Hatinya meragu. Ia tidak pernah pergi sejauh itu meninggalkan rumahnya. Meskipun ia bisa mempercayai dan memastikan Adrian pasti akan melindunginya namun ia tetap ragu.

Alih-alih ingin mendapat persetujuan dari Aya, Adrian memanfaatkan kehadiran Sinta kali itu. "Kalau Aya mau ikut, kamu Sinta juga boleh ikut. Gratis ..." ujar Adrian yang langsung disambut riang oleh Sinta yang duduk di belakang.

Dengan gerakan cepat perempuan itu mencondongkan badannya ke depan dan menoleh ke arah Aya, "Mau ya Mba. Biar saya bisa sekalian mampir pulang ke rumah. Sudah 8 bulan saya nggak pernah pulang karena terhalang biaya. Kalau mba Aya ikut kan saya nggak perlu pusing ngurus biayanya karena udah dibayarin mas Adrian. Mau ya mba, itung-itung jalan-jalan nggak bosen apa di Jakarta terus?" Sinta mengeluarkan kemampuan merayunya, ia berharap akan berhasil dengan Aya meskipun kemungkinannya kecil.

"Diam berarti iya? Iya kan? Ya udah iya berarti mas. Mba Aya mau ..." seru Sinta lantang. Adrian tersenyum, setuju dengan ucapan Sinta, diam artinya 'iya'. Kesimpulan jawaban tesebut didukung juga dengan ekspresi wajah Aya yang tampak tidak ingin menolak. Itu artinya perempuan itu tidak keberatan dengan ajakannya.

"Oke, sekarang tinggal minta izin mama papa kamu," ucap Adrian bergegas menghidupkan mesin mobilnya.

"Jangan lupa izinnya mas Raka juga ha ha ha ..." Sinta menyambung kata-kata Adrian yang mengingatkan lelaki itu dengan mimpi buruk, yaitu Raka. Mudah mungkin bagi Adrian meminta izin dari Marina ataupun Bramadi, mama papa Aya. Namun tidak mudah baginya meminta izin Raka. Meskipun ia tahu akhirnya ia pasti berhasil mendapat izin namun proses menjabarkan penjelasan kepada Raka membuatnya pusing merangkai kata-kata.

***

Keesokan harinya pagi-pagi buta Aya dan Sinta sudah siap dengan koper dan tas mereka. Mereka berdua tampak sedang menunggu jemputan Adrian yang akan membawa mereka pergi bersama-sama. Semalam setelah perbincangan yang cukup panjang Adrian akhirnya berhasil mengantongi izin kedua orang tua Aya, sepaket dengan izin yang ia dapat dari Raka. Meskipun awalnya Raka menolak mentah-mentah izin yang Adrian minta tersebut dengan alasan jarak yang terlalu jauh dan adanya kemungkinan Aya kambuh di tempat asing tersebut akan membuat situasi semakin parah.

"Mba Aya nggak usah takut, kan perginya sama Mas Adrian. Dia itu penjaga terbaik yang harus mba Aya tau," ujar Sinta sambil merapikan posisi sweter putih yang dikenakan Aya.

Tidak lama kemudian sosok lelaki yang mereka tunggu-tunggu akhirnya datang bersamaan dengan keluarnya Raka dari dalam rumah. "Itu itu mas Adrian datang," Sinta yang antusias langsung berdiri dari posisi duduknya.

"Sudah siap?" tanya Adrian begitu menghampiri mereka.

"Jaga adik gue baik-baik." Raka berbicara dengan nada dingin sambil menepuk lengan Adrian yang keras.

"Siap bos." Adrian balas menepuk lengan kanan Raka.

"Lho Indra ikut juga?" tanya Raka seraya memperhatikan Ganindra yang baru turun dari mobil dan sedang berjalan menghampiri mereka.

"Jelaslah, gue nggak bisa kerja kalau tanpa dia." Memang itu kenyataannya. Selama ini Adrian tidak bisa melakukan apa-apa dengan benar jika tanpa bantuan Ganindra. Sahabatnya yang satu memang sangat bisa diandalkan.

"Oh ya Aya kenalin ini teman aku namanya Ganindra," ucap Adrian memperkenalkan.

Ganindra mengulurkan tangannya hendak bersalaman memperkenalkan diri, "Hallo, saya Ganindra," namun kenyataan yang ia dapat Aya tidak membalas uluran tangannya. Perempuan itu hanya meliriknya sebentar kemudian membuang pandangannya ke arah lain.

Sinta yang mengerti dengan situasi dingin yang diciptakan Aya langsung mengambil ancang-ancang menghangatkan situasi kembali. Dengan lancang ia membalas uluran tangan Ganindra lalu menjabatnya. "Saya Sinta," katanya sambil memamerkan cengiran khas miliknya.

"Nggak usah genit, dia udah punya pacar." Kali ini Raka mengingatkan Sinta dengan tegas meskipun niatnya hanya bercanda.

"Ya tau mas, kan cuma kenalan," Sinta membela dirinya sendiri.

"Kalau gitu ayo berangkat." Adrian langsung meraih koper yang ia yakini itu adalah milik Aya lalu menariknya menuju mobil.

Di pagi-pagi buta itu mereka memulai perjalanannya. "Kamu duduk di depan sama Indra, biar saya yang duduk di belakang sama Aya," kata Adrian seraya mendorong pelan tubuh Sinta ke depan yang sebelumnya hendak membuka pintu belakang mobil.

Adrian mengulum senyumnya, senang. Untuk pertama kalinya ia berpergian bersama Aya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 29, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Everlasting LoveWhere stories live. Discover now