Bab 9

45.3K 4K 114
                                    

Seandainya ada cara instan untuk melupakan tanpa rasa sakit, akan aku tukar semua yang kupunya untuk itu.

♡♡♡

Hidupmu takkan pernah tenang jika belum berdamai dengan masa lalu-kenyataan itu memang benar. Ada satu orang yang menolak untuk berdamai dengan masa lalunya dan memilih untuk melawan kenyataan apa yang sudah terjadi. Bukan melalui sebuah pergerakan, melainkan dalam diam. Ia berperang dengan imajinasi yang diciptakan pikirannya sendiri dan itu membuatnya terkunci dan sulit untuk keluar. Yaitu Aya ...

Dalam tidurnya keringat dingin terus bercucuran membasahi kulit di sekitar wajahnya. Bibirnya bergetar seolah ingin mengucapkan sesuatu dalam keadaan terlelap. Pergerakan tubuhnya mulai gelisah, sepertinya gangguan itu mulai menyertainya dalam mimpi. Perempuan itu butuh seseorang untuk membangunkannya agar terhindar dari ketakutan yang selalu ingin dihindarinya. Tidak ada siapapun di sana, hanya Aya.

"Bukan ..."

"Bukan aku ..."

"Bukan aku yang membunuh Arman."

"Bukan."

Aya meracau, dan setiap waktu yang terlewat ia semakin histeris. Ia masih terjebak dalam ketakutan di alam bawah sadarnya. Air mata dan keringat bercampur aduk memanaskan suasana. Perempuan itu tersiksa tanpa sadar.

Perempuan itu tersadar dengan tiba-tiba. Ia langsung menarik kakinya, menekuk lutut di depan dada lalu memeluknya, ketakutan. Gerakan kepalanya gusar. Seluruh tubuhnya gemetar. Pandangannya was-was menyelidik ke seluruh ruangan.

Ia meremas jemari-jemari tangannya mencoba menenangkan diri sendiri namun usahanya tidak berarti apa-apa. Ketakutan masih mengendalikannya. Sesekali ia terlihat merapatkan pelukan pada kedua kakinya. Sorot matanya tajam menusuk salah satu sudut. Alusinasi kembali mempermainkannya, ia melihat seorang perempuan menatap ke arahnya penuh dengan kebencian.

"Pergi!"

"Jangan ganggu aku." Aya mengibaskan tangannya meminta perempuan itu pergi.

Dipengelihatannya memang tidak ia temukan lagi perempuan itu namun Aya masih mendengar suaranya.
Aya menutup indra pendengarannya dengan kedua tangan. Kepalanya menununduk menyembunyikan diri, ia terisak dalam tangis. Lagi-lagi kejadian yang sama, yang hampir setiap hari mengulang ketakutannya. Aya hampir tidak memiliki jeda untuk melawan apa yang ia takuti dan itu membuatnya semakin tertekan dengan alusinasi yang diciptakan pikirannya sendiri.

***

Mobil yang dikendarai Adrian melaju membelah jalanan yang cukup lenggang siang itu. Ia sedang dalam perjalanan menuju rumah untuk makan siang sekaligus mengambil berkas-berkas yang ia lupakan saat berangkat kerja tadi pagi.

Laju mobil yang sedang, memungkinkan Adrian sedikit santai menikmati kawasan-kawasan yang ia lewati. Adrian tiba-tiba menghentikan mobilnya lalu mundur menghampiri halte yang baru saja dilewatinya. Lelaki itu menurunkan kaca mobil untuk memperjelas orang yang sedang duduk sambil sibuk memainkan ponsel di tangannya.

"Reya?" panggilnya, membuat si empunya nama langsung mengangkat kepala melihat ke arahnya. Reya langsung berdiri menghampiri mobil Adrian.

"Lagi nunggu bus?" tanya Adrian dari dalam mobil.

"Iya, tadi ada urusan di kantor pajak dan aku males bawa mobil."

Everlasting LoveWhere stories live. Discover now