Bab 7

47.8K 4.1K 177
                                    

Seluruh penghuni rumah terbangun karena kekacauan yang diciptakan Aya. Menurut pengakuan Sintha yang tidur satu ruangan dengan Aya mengatakan Aya mulai meracau ketika tiba-tiba terbangun dari tidurnya.

Semenjak Aya keluar dari rumah sakit jiwa kejadian kali ini bukanlah pertama kali terjadi. Berulang kali Aya berhasil membuat semua penghuni rumah terbangun tengah malam seperti sekarang karena mengkhawatirkannya. Lima belas menit sudah berlalu namun perempuan itu masih meracau, berteriak, dan menyakiti dirinya dengan menarik-narik rambutnya.
Marina yang sedari tadi mencoba menenangkan situasi, usahanya sia-sia.

"Pergi!" Kata-kata itu terus terulang dari mulutnya. Perempuan itu ketakutan di atas tempat tidurnya. Tidak ada yang mengerti apa yang membuat perempuan itu takut.

"Aku bukan pembunuh."

Raka yang mendengarnya merasa bosan, sudah berulang kali ia mendengar kalimat itu diucapkan adiknya.

"Arman mati bukan karena aku."

"Pergi ..." suaranya melemah berganti dengan isak tangis. Marina yang ada di dekatnya tidak kuasa melihat Aya seperti itu. Berulang kali tangannya terulur untuk mengelus rambut Aya mencoba menenangkannya.

"Sampai kapan kamu seperti ini nak?" Pertanyaan Marina tersirat putus asa. Rasa bersalah tidak lagi bisa dipungkirinya. Semuanya memang berawal dari kesalahannya sampai akhirnya Aya berakhir seperti ini. Marina menyesal. Apa itu tidak cukup untuk membuat Aya kembali normal seperti dulu?

"Ma, apa tidak sebaiknya Aya kembali dirawat di rumah sakit jiwa?" Ketika suasana sedikit lebih tenang dan Aya berhenti meracau, Raka mulai berbicara. Namun sepertinya apa yang ia katakan tidak akan mendapat respon baik dari Marina.

"Kalau kamu merasa susah melihat anak mama seperti ini, ya sudah jangan ikut campur. Biar mama yang rawat Aya." Marina menanggapinya dengan ketus.

"Udah, biar mama kamu nyaman dengan keputusannya." Bramadi menepuk pundak Raka menasehati. Sebenarnya Bramadi sependapat dengan apa yang Raka katakan, namun melihat istrinya yang kukuh ingin mempertahankan Aya tetap dirawat di rumah, ia seperti tidak bisa melakukan apapun. Bramadi ingin Aya kembali ke rumah sakit jiwa bukan karena ia keberatan dengan gangguan-gangguan yang Aya ciptakan ketika perempuan itu sedang dalam fase kambuh, melainkan karena Bramadi merasa tempat teraman untuk Aya tinggal adalah rumah sakit jiwa melihat bagaimana kondisinya saat ini.

"Apa kamu nggak kasian sama adik kamu? Dia bagian dari keluarga kita, tapi kita mengasingkannya ke tempat yang sangat dihindari banyak orang. Untuk sembuh dia butuh dukungan dan partisipasi kita, bukan justru menjauhkannya," ucap Marina.

Raka mengerti, sangat mengerti bahkan. Namun jika terus seperti ini, kondisi Aya tetap tidak ada kemajuan justru semakin menjadi-jadi dan dapat membayakan dirinya sendiri solusi terbaik hanyalah membawa Aya kembali ke rumah sakit jiwa.

"Kita jalani dulu terapi yang sudah dokter sediakan untuk Aya. Sampai dua bulan kedepan jika kondisinya masih sama, Aya harus kembali dirawat di rumah sakit jiwa." Bramadi memutuskan, sebelum benar-benar pergi dari ruangan tersebut.

~~~

Adrian sedang bersantai ditemani sekotak rokok di halaman belakang rumahnya ketika Ganindra datang bersama seorang wanita yang belum pernah Adrian lihat sebelumnya.

"Yan ..." Adrian langsung menoleh.

"Kenalin, namanya Luna. Dia psikolog yang siap bantu lo," ujar Ganindra.

"Dia yang terbaik?" tanya Adrian mengingat sebelumnya ia meminta Ganindra mencarikannya seseorang yang terbaik di bidang kejiwaan.

Everlasting LoveTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon