Bab 14

46K 4.3K 355
                                    

Yang awalnya baik-baik saja dan terlihat lebih baik namun hancur seketika begitu kemunculan perempuan itu. Kemarahan Adrian tidak bisa terdefinisikan ditambah melihat histerisnya Aya karena ketakutan, hal itu menambah kebenciannya dengan wanita tadi.

Meskipun wanita itu sudah tidak terlihat lagi karena telah di seret pergi namun kondisi Aya masih sulit untuk di kontrol. Adrian kualahan menghadapinya karena itu pertama kalinya ia menangani fase kambuh Aya seorang diri. Aya meracau tidak jelas, sesekali berteriak dalam dekapannya. Tubuh perempuan itu gemetar hebat, benar-benar ketakutan.

Berulang kali Adrian berusaha menenangkannya dengan kata-kata namun sepertinya itu tidak berhasil. Adrian berpikir untuk mengantar Aya pulang namun khawatir di perjalanan kondisi Aya lebih menjadi-jadi.

"Kasi minum dulu mas," Lastri memberikan segelas air minum kepada Adrian untuk diberikan pada Aya. Namun Aya menolak apa yang Adrian berikan.

Saat itu Adrian hanya bisa memeluk memberikan ketenangan untuk Aya. Meski tidak efektif namun setidaknya lama kelamaan hal itu merespon kestabilan Aya. Perlahan-lahan perempuan itu melemah tidak lagi histeris seperti tadi walau masih terdengar isak tangis. Dengan hanya melihat Aya seperti itu Adrian seolah merasakan apa yang Aya rasakan. Ketakutan itu Adrian turut merasakannya. Di hari-harinya ketakutan selalu meliputi sekitarnya dan itu sangat tidak nyaman. Bagaimana Aya bisa terus-terusan hidup seperti itu?

"Arman ..." Lagi-lagi Adrian mendengar nama itu keluar dari mulut Aya ketika perempuan itu ada di dalam pelukannya. Saat itu juga Adrian menutup matanya rapat-rapat, mengigit bibir bagian dalamnya mencoba menahan sakit. Mereka sama-sama hancur di saat yang bersamaan.

***

Adrian duduk di depan sofa tempat Aya berbaring. Perempuan itu terlelap dalam pelukan Adrian seiring dengan isak tangisnya sesaat yang lalu. Karena perhatiaannya, Adrian langsung memberikan posisi nyaman di sofa untuk Aya mengistirahatkan pikirannya. Bisa dibilang saat itu Adrian sedang menjaga tidur Aya. Ia takut meninggalkan Aya meskipun sebentar. Ia khawatir saat ia pergi Aya kembali kambuh.

Sambil menikmati rokok di tangannya, Adrian puas memandangi wajah perempuan itu. Entah sudah berapa jam ia berada dalam posisi yang sama menunggui Aya. Terasa lebih baik untuk Adrian melihat perempuan itu terlelap karena memberikan kesan damai di wajah cantiknya. Berbeda saat perempuan itu dalam keadaan sadar, wajah cantiknya pudar dengan gambaran kesedihan yang sangat jelas.

"Dia yang namanya Aya?" tanya Ganindra yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Adrian. Lelaki itu turut memandangi wajah Aya yang terbaring di sofa.

Adrian sedikit terkejut dengan kehadiran Ganindra yang tiba-tiba, maka dari itu ia memilih tidak memberikan jawaban untuk lelaki itu.

"Pantes lo langsung jatuh cinta," gumam Ganindra diam-diam mengagumi paras Aya di dalam hatinya.

"Kenapa? Lo jatuh cinta juga sama dia?" Adrian langsung menoleh menghadiahi tatapan tajam untuk Ganindra.

"Nggak lah. Ya walaupun gue nggak bisa bohong mengenai pesona dia meskipun baru pertama kali liat," Ganindra menampik tuduhan Adrian dan menambahkannya dengan penjelasan.

"Jadi, gue nggak salah jatuh cinta sama dia?" tanya Adrian.

"Nggak ada yang namanya salah jatuh cinta. Emang orang bisa ngontrol sama siapa dia jatuh cinta? Cuma salahnya lo, kenapa ngebiarin rasa itu terus menggebu-gebu. Jatuh cinta juga ada syaratnya, mencintai bukan harus memiliki. Sementara lo memaksakan segala hal untuk ngemilikin dia, sementara semua orang tau kalau itu sia-sia," ujar Ganindra yang berhasil membuat Adrian merasa terdorong jatuh ke dalam jurang.

"Gue bisa buktiin kalau apa yang gue lakuin nggak sia-sia, cuma waktunya aja yang belum berhasil. Gue beli kata-kata lo melalui usaha gue ngebantu dia sembuh," tutur Adrian cakap. Apa yang dikatakannya bagaikan sebuah janji. Bahkan Ganindra yang mendengarnya dibuat tertegun tidak percaya dengan kepercayaan diri Adrian yang sangat yakin terhadap Aya.

Kata-kata Adrian tadi membuat situasi canggung di antara mereka. Ganindra merasa tidak enak karena berusaha menjatuhkan Adrian dengan kata-katanya.
"Oh ya tadi Antonie nelepon ke kantor," ucap Ganindra mengubah topik pembicaraan. "Dia bilang satu minggu dari sekarang nenek lo berangkat ke Indonesia," Ganindra melanjutkan kalimatnya.

Adrian tercengang seketika. Ia tidak mempermasalahkan mengenai kedatangan neneknya hanya saja situasinya tidak tepat.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Adrian terbangun karena dering ponsel yang tidak berhenti-henti sejak tiga menit yang lalu karena Adrian terus mengabaikannya demi menuntaskan rasa kantuk. Namun akhirnya Adrian kalah dengan kebisingan yang tercipta. Dengan sisa kesadaran yang ia kumpulkan, Adrian meraih ponsel yang ia letakkan di nakas. Begitu melihat nama Raka tertera di layar ponselnya Adrian langsung bangkit dari posisinya.

"Kenapa Ka?"

"Aya di sana?" tanya pria di seberang sana. Adrian mengkerutkan keningnya, bingung.

"Nggak. Kenapa emang?" Kenapa Raka menanyakan keberadaan Aya pagi-pagi padanya. Adrian sudah mengantar perempuan itu pulang kemarin sore, bahkan Raka ada di rumah saat itu melihatnya.

"Aya hilang," ucap Raka.

"Serius jangan bercanda," bantah Adrian tidak percaya.

"Gue serius, brengsek." Terdengar suara Raka membentak karena panik di seberang sana.

"Sorry gue lagi panik. Aya tadi malam kambuh, dan pagi-pagi orang rumah panik karena Aya menghilang. Semua orang udah nyari ke seluruh tempat di rumah, tapi nggak ketemu."

Adrian langsung teringat dengan kejadian kemarin. Mengingat itu membuatnya merasa bersalah. Psikis Aya tidak akan terguncang kalau saja ia tidak mengajak perempuan itu mampir ke rumah. Terlebih, semuanya dikarenakan kehadiran wanita itu. Adrian sangat yakin itu penyebabnya.

"Gue ke sana sekarang," Adrian bangkit dari tempat tidur bergegas.

"Percuma. Gue udah bilang dia nggak ada di sini. Bantu nyari di luar rumah!" ucap Raka memberikan Adrian intruksi.

Begitu mendengarnya pikiran Adrian langsung tertuju pada Arman. Entah kenapa Adrian merasa hilangnya Aya terkait dengan lelaki itu.

"Kirimin gue alamat pemakamannya Arman, Aya mungkin di sana." Adrian langsung memutus panggilannya sepihak. Ia melempar ponselnya ke ranjang karena geram. Lelaki itu meremas rambutnya dengan kedua tangan, sebelum keluar dari kamarnya.

***

Everlasting Loveحيث تعيش القصص. اكتشف الآن