1. Intro

117K 7.9K 553
                                    



1.

First melted off the hope of youth,

Then fancy's rainbow fast withdrew;

And then experience told me truth

In mortal bosoms never grew.

--

Emily Brontë on I Am The Only Being Whose Doom

***

Kalian pasti bingung kenapa aku bisa begitu suka dengan Dimas sementara laki-laki itu begitu benci padaku. Sebetulnya ini lucu, tadinya aku juga setidak suka itu pada Dimas. Kami kenal sejak SMP. Dulu kami bersekolah di SMP yang berbeda dan selalu menjadi saingan di perlombaan. Nama Dimas Baron sangat terkenal di sekolahku, terutama karena dia selalu berhasil mengalahkan tim – tim lomba sekolahku.

Dimas adalah perwakilan rayon DKI Jakarta untuk olimpiade sains nasional tingkat SMP, mengalahkan salah satu unggulan sekolahku dulu – Melissa Chandra. Aku sendiri bukan penggemar sains dan lebih banyak mengikuti perlombaan yang hubungannya dengan seni dan sastra. Meski begitu tetap saja kekesalan pada Dimas Baron ikut mendarah daging padaku dulu karena teman-temanku juga tidak suka padanya.

"Dimas tuh banyak gaya, tahu ..." itu yang selalu disebut Melissa Chandra.

"Kesel gua kalo udah ada Dimas tuh pasti dia lagi dia lagi yang menang. Mana anaknya gak jelas sok pinter gitu," ini pendapat lain lagi yang suka dibuat Melissa kalau habis dikalahkan Dimas.

Bayangkan setahun lamanya mendengar keluhan tentang Dimas Baron sejak pindah dari MSD alias Moscow School District ke Jakarta dan sekaligus pujian mengenai betapa pintarnya Dimas! Yah, siapa yang tidak akan bereaksi seperti aku bereaksi setahun lalu.

Ya, setahun lalu aku bertindak super duper bodoh.

Ketika melihat papan mading berisikan pengumuman tes masuk SMA, aku menemukan namaku di sana, tepat di atas nama Dimas Baron. Tentu saja aku excited berat. Aku berteriak, "YES! Nilai gua di atasnya Dimas!"

Goblok banget kan? Yeah, I know. Mana habis itu ternyata ada sesosok perempuan cantik nan tinggi di belakangku yang tertawa kecil. That girl happened to be Dimas' sister. IYA! KAKAKNYA DIMAS! Mampus lah gua.

Kayaknya sih setelah itu Kak Ambar – nama kakak Dimas, menceritakan hal itu pada Dimas. Kak Ambar sendiri lulus di tahun aku masuk SMA dan dia menjadi lulusan terbaik tahun itu. Hebat kan? Memang. Sepertinya darah jenius sudah mengakar di keluarga mereka.

Dimas sendiri tidak pernah bersikap baik padaku sejak kami masuk SMA. Kami baru bertemu ketika akhirnya masuk ke kelas CIBI. Dia tidak pernah baik padaku, tidak pernah tersenyum padaku, dan tidak pernah bicara denganku. Dimas adalah Dimas yang jahat kalau bersamaku tapi menjadi Dimas penuh kelakar jika bersama yang lain.

Sakit kan?

Banget.

***

Cukup bicara tentang Dimas karena setelah mendistraksi pikiranku sejenak dari omelan Mira yang masih memarahiku karena nurut banget sama Bram, kami harus segera berhenti bicara. Bu Linda, guru matematika kami sudah memasuki ruang kelas. Sumpah demi apapun, aku benci banget sama siapapun yang membuat jadwal pelajaran kelas kami. Jahat banget habis upacara disuruh belajar matematika. Kan ngeselin abis.

"Hari ini kita lanjut bahan logaritma-nya ya. Besok dua jam pelajaran kita ulangan materi ini," Bu Linda baru masuk, menaruh bukunya di meja guru dan sudah nge-drop bom paling bikin gempar pagi ini.

[SUDAH TERBIT] PetjahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang