2. Magic is not here yet

99.7K 7.2K 235
                                    

2.

There are only two ways to live your life. One is as though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle.

--

Albert Einstein

***

Aku menatap keluar jendela mobil yang baru terparkir. Hujan gerimis membasahi lapangan parkir sekolah. Aku tidak suka hujan, tidak mengekspektasi akan hujan hari ini, dan tidak membawa payung sama sekali. Kombinasi yang hebat sekali pagi-pagi begini. Sekarang aku harus memutar otak bagaimana caranya bisa lolos tanpa basah masuk ke dalam gedung sekolah.

Fisikaku tidak bagus sama sekali, jangan tanya lagi matematika. Jadilah aku tidak bisa membayangkan dengan tepat berapa sebenarnya jarak dari lapangan parkir menuju bangunan sekolah. Well, seharusnya sih tidak lebih dari lima meter ... atau lebih? Aduh! Kemampuan bangun ruangku tidak berkembang sama sekali sejak pertama aku mengetesnya melalui tes IQ saat SMP.

Beberapa orang lalu lalang dari pagar utama sekolah di depan sana. Ada yang memakai jas hujan, ada juga yang berjalan santai dengan payung. Hujannya tidak terlalu lebat sih. Sepertinya ditembus dengan berlari palingan hanya akan membuat bercak tetesan air hujan di baju yang tidak seberapa.

Aku membulatkan tekad. Kukeluar dulu laptopku dari dalam tas dan menaruhnya di dalam mobil supaya aman dari air hujan, kemudian beberapa buku yang belum disampul plastik juga kutinggal di dalam mobil supaya tidak basah kena hujan, baru kemudian aku membuka pintu mobil.

HIAT 1 ... 2... 3... cepat aku berlari tidak memerdulikan sepatuku yang akhirnya basah terkena genangan air, rok abu-abu panjangku yang kalau aku tidak terus berlari pasti nanti akan terkena genangan air hujan juga, serta kemeja putihku yang sudah kena tetesan hujan. AH! Pagi yang terlalu buruk.

Tapi tidak juga.

Ada payung yang melindungiku dari air hujan. Aku menengadah melihat jelas sebentuk payung lipat biru yang sebetulnya tidak untuk dua orang tengah memayungi kepalaku. Baru sambil masih berlari aku melihat ke arah sampingku, agak menjorok ke belakang. Ada sosok laki-laki yang berlari bersamaku, tangan kirinya memegang payung untuk kami berdua. Sumpah nggak bohong, ini jelas tangan laki-laki meskipun aku belum melihat wajahnya.

Oh ya! Aku langsung melihat ke bawah dan memastikan sesuatu. Sosok ini memang sosok laki-laki karena dia jelas-jelas memakai celana seragam abu-abu. DAFAK! Dia jelas bukan utas karena sepatunya sudah sepatu Nike yang jelas sporty banget dan belum boleh dikenakan anak-anak kelas sepuluh.

Kami akhirnya sampai juga di gedung selatan sekolah, tempat seluruh ruang kelas dan ruang guru berada. Sesosok laki-laki itu akhirnya bisa kulihat dengan jelas dan kalau bisa aku langsung mau tenggelam aja sekarang bersama air yang mengalir lewat saluran air sekolah.

Aku masih tidak percaya dengan pemandangan di depanku. Ini sampai aku mau bilang terimakasih aja jadi membisu loh. Bibirku seketika kelu. Lebih karena takut dan bingung sih. Duh! Ya iyalah lu bakal takut, Nadh! Rutukku pada diri sendiri. Ini yang di depan mataku sekarang adalah pentolan gengnya sekolah, agitnya para agit angakatan ini, anak kelas duabelas paling ditakutin. Anjir, mimpi apa gua semalem sampai bisa dapat kombinasi plus plus plus yang menyedihkan banget macam ini.

"Emmm .... Mmmm....Maaa... makasih, Kak ..." aku akhirnya berani berucap juga. Sialan. Ketahuan deh aku takut banget ngeliat dia.

"Hmmm..." si kakak angkatan ini cuma menggumam nggak jelas dan masih sibuk sama payungnya yang kayaknya susah banget ditutup itu. Ih, sebodo amat deh sebelum dia sadar mending aku pergi sekarang.

"Saya permisi kak ..." dan dengan itu aku langsung ngibrit lari ke kelas yang nggak jauh-jauh amat dari lorong masuk gedung.

***

Aku tidak menceritakan kejadian tadi pagi dengan Mira karena satu-satunya hal yang bisa membuatku bertahan hidup sekarang adalah dengan memastikan tidak ada seorangpun yang tahu kalau Nadhira Amira tadi pagi lari sepayung berdua dengan pentolannya sekolah. GILA! Bisa langsung disensiin sama satu sekolah kali aku.

"Nadh, udah ambil hasil ulangan sejarah minggu kemarin?" Mira sedang berjalan bersamaku menuju kantin dan menanyakan hasil ulangan sepertinya karena kami melewati ruang guru di seberang lorong sehingga bisa sekalian mampir kalau aku belum mengambilnya.

Aku menganggukkan kepala, "Udah ambil kok, Mir. Lu?"

Mira menggelengkan kepalanya, "Belom nih. Temenin ambil dulu, dong.."

"Yuk.." aku berbelok arah bersama dengan Mira.

Ruang guru adanya di lorong seberang, berhadapan dengan lorong kami berjalan sekarang dan diapit satu taman kecil yang merupakan pemandangan paling enak dilihat di sekolahku. Taman ini bisa dilihat dari kelas manapun di lantai berapapun karena bentuk bangunan ini yang segi empat dan bolong di tengah. Bangunan-bangunan di lantai atas bisa melihatnya dari balkon di depan kelas masing-masing sementara bangunan di lantai bawah bisa langsung melihatnya dari lorong atau jendela kelas.

Kami harus menyeberangi taman kecil ini kalau tidak ingin mengambil jalan memutar di ujung lorong sana. Lumayan jauh juga, mending langsung motong jalan lewat taman.

Dan ... ternyata kesialanku hari ini belum berakhir sama sekali.

Baru saja aku dan Mira akan melangkahkan kaki menyeberangi taman, ada suara keras memanggil namaku, "NAAAAADH!" itu kan suaranya ... belum selesai aku memproses teriakan tadi, teriakan itu terdengar lagi, "AWASSS!"

GREAT!

Kalau saja teriakan tadi terlambat sedikit. Kalau saja aku dan Mira nggak refleks menjauhkan tubuh kami dari konblok pembatas lorong dan taman. Kalau saja bukan karena orang itu ... aku dan Mira pasti bisa mati.

Gila aja! Ada lima tong sampah jatuh ke bawah dari balkon atas berikut dengan sampah-sampahnya. Disusul kemudian dengan sapu-sapu serta pengki yang sebenarnya inventaris kebersihan kelas. Tak lama setelah itu sudah muncul suara gaduh dari lantai tiga bangunan ini. Gaduh banget yang isinya sumpah serapah, gabungan suara bas dan bariton, sampai teriakan-teriakan binatang.

"WOOOOI SINI LO KALO BERANI !"

"HAJAR BROOOO! HAJAR !!!!"

Aku menggigil mendengarnya. Harusnya aku mengekspektasi hal ini. Harusnya aku tahu hal ini akan terjadi di setiap awal tahun ajaran baru. Aku tersadar lagi ketika suara itu berteriak lagi dan kali ini lebih dekat denganku, "Kalau jalan itu pakai mata..!"

Suara Dimas. IYA DIMAS! Setelah setahun ini akhirya Dimas bicara padaku dan kata-kata pertamanya adalah ini? JALAN PAKAI KAKI DIM, BUKAN PAKAI MATA! Rasanya aku mau meneriaki Dimas tapi tidak mampu.

"Mira! Nadh! Masuk kelas cepetan!" kali ini suara Bram memerintah dari ujung lorong yang lain. Mira menarikku masuk ke dalam kelas. Aku masih bisa mendengar Bram memerintahkan Dimas, Yovan dan Morgan, beberapa laki-laki di kelasku untuk segera mengikuti Bram ke lantai tiga.

BRAM GILA. SUMPAH GAK BOONG.

Bram baru saja mengajak teman-temannya, teman sekelasku untuk ikut berjibaku berantem nggak jelas di lantai tiga. Udah ditaruh di dengkul kayaknya otak Bram.

Ini sudah seperti siklus di sekolahku. Anak baru masuk, meminta haknya akan beberapa diskriminasi dari anak kelas sebelas yang harus mereka dapatkan lewat sebuah aksi kekerasan di dalam gedung sekolah. IYA! DI DALAM GEDUNG SEKOLAH. Namanya tubang – tubir angkatan. Tubir dari kata ribut dan angkatan berarti keributan antar angkatan?

SILLY, kan? BANGET!

Umur mereka udah belasan semua, udah ada yang punya KTP dan masih bertingkah kayak anak kecil! Bahkan Dimas juga ikut-ikutan! Dimas yang kalem, konyol tapi alim. Dimas ikut berperang di lantai tiga sana membela angkatannya. Sebentar lagi guru-guru pasti ambil tindakan dan nama anak-anak yang ikut tubang tidak akan lolos sama sekali.

GREAT DIMAS! Kamu yang perang di atas sana tapi malah aku yang senewen di bawah sini. Kenapa sih hobi kamu itu bikin hidup aku kayak roller coaster?

***


[SUDAH TERBIT] PetjahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang