5

5.1K 532 42
                                    

Candra Agni

*


Biarpun menyebalkan, aku sangat menyayangi teman-teman sekelasku. Seperti kejadian pagi tadi.

Sebenarnya aku berbohong. Semua artikel atas nama mereka telah kubuat berbeda isinya untuk tiap orang karena aku tahu Pak Gori sama sekali tidak pernah main-main dengan hukumannya sedangkan sebagian dari cowok di kelasku adalah perokok aktif. Aku benci rokok, tapi aku sayang mereka. Aku tahu mereka lemah dalam olahraga, jadi tetap saja aku menghindari mereka dari hukuman fisik meski tahu itu salah. Aku janji pada diriku sendiri, ini terakhir kali aku menolong tugas mereka.

"Bu Hana nggak masuk, rek. Anaknya sakit," kata Cimat sembari menutup pintu kelas.

Cimat yang berpenampakan tinggi kurus mendapatkan julukan unyu itu dari Asa. Padahal nama aslinya sangat keren: Alvinno Putra Tihasajaya. Darimana nama Cimat berasal, hanya Asa dan Tuhan yang tahu.

Bagi yang belum tahu, Asa adalah salah satu petarung kelasku yang tertangkap basah menghajar kakak kelas karena suatu alasan. Dengan badan tinggi besar dan wajah sangar, orang normal tidak akan berani macam-macam padanya. Padahal, sebenarnya Asa berkarakter penyayang dan lawak setengah mati.

Ngomong-ngomong, Bu Hana itu wali kelas 10 IPS 2. Beliau adalah orang yang tegar, sangat tegar. Karena setelah ditegur oleh belasan guru plus kepala sekolah, beliau masih bisa bilang, "Kalian itu ya, nuuuakal setengah mati. Saya capek denger teguran dari guru-guru lain. Tapi mau gimana? Saya wali kelas kalian. Dan saya tidak tahu kenapa, saya sayang dan yakin kalian sebenarnya anak-anak baik. Jadi anak-anak, ayo kita bersama-sama membuktikan kalau anak IPS 2 itu mampu! Bukan hanya jago berkelahi, kalian harus pintar akademis."

Dari lubuk hati yang paling dalam dan gelap, kami cinta Bu Hana.

"Semoga anaknya Bunda cepat sembuh biar Bunda bisa ngajar kita lagi. Tolong kami, Ya Tuhan," pimpin Dirgan, diikuti sahutan "Amin," dari penjuru kelas.

Ini yang aku suka. Berandalnya mereka seimbang dengan tulusnya mereka.

Sekian detik, aku teringat sesuatu. Aku menyikut bahu Ratna yang duduk di sebelahku. Entah apa yang dibicarakannya, dia mengabaikanku.

"Iyo heee... Kemarin aku ya nonton tv. Bisa nyala wih tvnya. Warna-warni lagi," kata Sekar kelewat riang, disusul tawa hihi-hihi.

"Aku pulang sama kakakku. Tak kasih tau ya, ban mobilnya lho bunder. Bunder seserrr," sahut Ratna semangat.

Idiot.

"Na," panggilku.

"Lha kamu belum tau seh, aku lho kemarin pas bernapas keluar anginnya dari hidung," keidiotan Sekar bertambah.

"Ingusku fleksibel malah," balas Ratna tak mau kalah idiot, "Melar... Kayak permen karet."

Astaga, gimana bisa aku berteman dengan cewek jorok dan mesum ini?

"Na!" hardikku, "Jijik deh kamu. Aku tinggal ke perpus."

Ratna melongo saat itu juga.

"Sejak kapan kamu tau kata perpus?" katanya dengan wajah horror. Kedua tangannya diletakkan di pipi. Dia cocok jadi model lukisan The Scream-nya Van Gogh dalam versi Candra Agni.

Arka Candra [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now