7

4.7K 472 29
                                    

Candra Agni

*

Minggu adalah hari dimana kalian bisa bangun siang, tidak mandi, ongkang-angking kaki di sofa sambil makan dan ngupil sepuasnya.

Setidaknya untuk sebagian besar populasi manusia di bumi, Minggu adalah segalanya.

Sementara populasi sisanya, punya pekerjaan yang harus dilakukan di Hari Minggu.

Sayangnya, aku masuk ke dalam kategori yang terakhir ini.

Yep, saat latihan kick boxing dua hari lalu, Okila menawariku part time di swalayan ayahnya untuk menggantikan pegawai yang mengundurkan diri karena menikah. Aku sih yes, begitu tahu kalau gajinya lumayan biarpun hanya kerja di akhir pekan.

Lalu, ayah Okila juga mengajakku untuk bantu-bantu di butik milik istrinya. Tergiur dengan uang yang bakalan kuterima setelah sebulan bekerja, maka aku menyanggupinya.

Uang mengalahkan segalanya.

Ngomong-ngomong, pagi ini mama sempat menanyaiku kabar dari kakak. Karena belum dapat balasan dari teman kostnya, aku hanya menjawab, "Katanya dia sibuk belajar, Ma. Banyak tugas."

Demi Tuhan, aku sama sekali tidak ada keinginan berbohong. Tapi keadaannya tidak memungkinkan.

Apalagi setelah dua hari tidak bertemu Arka, aku jadi tidak punya kesempatan bertanya tentang kakaknya yang pasien panti rehabilitasi. Aku akui yang kemarin-kemarin ini murni salahku. Aku cuma kesal karena Arka memaksa. Padahal waktu ngobrol di kantin, aku ingin bilang kalau aku akan cerita padanya setelah dia bisa membuatku percaya.

Maksudku, kan semua perlu waktu. Aku bukan Arka yang bisa langsung curhat sana-sini.

Eh, tapi apa dia tipe orang yang suka curhat sana-sini? Atau dia cuma cerita soal itu padaku?

Lupakan. Pokoknya dia harus sabar kalau ingin tau alasanku mencari informasi tentang mahasiswa yang menghilang. Tidak semudah itu, karena aku ini Candra Agni.

Hahaha.

Yah, walaupun sebenarnya akan sangat berguna kalau aku dan dia berbagi informasi.

"Candra, tolong tata teh botolan itu di raknya ya," suara ayah Okila yang berada di gudang menyadarkanku dari lamunan.

"Iya, om."

"Sama jajan yang di kardus deket kulkas."

"Iya, om."

"Sama yang di rak tengah."

"Iya, om."

"Sama yang-"

"Om, satu-satu, please," protesku sambil membuka kardus, disusul tawa cekikikan dari gudang. Kadang Om Yudha lebih cerewet dari Tante Vira. Aku tahu betul itu karena kenal Okila sejak SD. Pun perkenalan kami berawal dari perkelahian pertamaku di kelas dua.

Saat itu Okila hanya bocah kecil yang cengeng. Sedangkan aku sudah berkali-kali masuk ruang kepala sekolah karena berkelahi dengan Galang, salah satu musuh bebuyutanku sejak TK.

Tapi lihat sekarang, Okila lebih tinggi dan lebih kuat daripada aku. Kalau begini, rasanya waktu berlalu dengan cepat.

Okila yang muncul dari deretan rak, tertawa sambil berjalan ke arahku, "Jomblo mah gitu kalo disuruh."

Arka Candra [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now