20,5

1K 136 17
                                    

Arka Dhananjaya

"Kata siapa dia dipihakmu?"

Hatiku serasa dipukul meskipun mendengar kalimat itu samar-samar.

Aku mengacak rambutku dan menoleh sedikit ke bangku kantin tempat Candra duduk. Setidaknya, meski berada di pojokan kantin, aku masih bisa melihatnya.

Ratna memicingkan mata pada Safira dengan tatapan menyelidik, sedangkan Candra mengerjapkan matanya beberapa kali. Aku jadi teringat ekspresinya ketika pagi tadi kuabaikan dengan sengaja.

Nggak gitu, batinku bersuara. Aku nggak memihak siapa pun.

Safira membungkuk dan tersenyum tepat didepan wajah Candra. Dia berbisik, namun dari gerakan bibirnya yang perlahan itu kukira dia berkata: "Sadar sama posisi kamu, ya, tolong."

Candra tersenyum miring dan tertawa terbahak. Ludahnya pasti dimuncratkan dengan sengaja. Namun lalu, air mukanya berubah cepat. Cewek itu memasang ekspresi merendahkan. Dengan suara lantang, dia berkata, "Safira, kamu yang harusnya sadar. Kamu itu cuma butiran upil buat aku. Kecil, nggak ada apa-apanya. Tapi kalo nggak segera dibersihin, bakalan sangat mengganggu."

Perumpamaan yang keren.

Mereka telah menyita perhatian seisi kantin. Beberapa anak berbisik menduga-duga apa yang sedang terjadi.

"Tengkar gara-gara Arka nih?"

"Arek loro kuwi lapo toh?"

"Perumpamaannya kok upil..."

"Jorok. Sumpah, jorok."

"Apaan nih? Masa Arka penyebabnya? Kok sebut-sebut Mas Braja juga ya?"

"Emang Candra Agni tipe orang yang suka tengkar gara-gara masalah cowok? Nggak mungkin."

Tap. Suara hentakan kaki terdengar pelan disebelahku.

Aku menoleh dan menemukan mantan Ketua OSIS menyeruput teh botolnya dengan tenang. Matanya tertuju ke pusat perhatian kantin. Kemudian dia duduk di sebelahku tanpa permisi, meletakkan botol teh, dan berdeham. "Asik ya nonton dari sini."

Senyum tipis terulas di wajahku. "Iya."

Lalu hening.

Merasa perlu, aku membuka percakapan. Toh tidak ada salahnya mengobrol dengan Braja. "Aku bersyukur kamu di pihak Candra," ujarku.

Braja berdecak. "Dasar lembek," desisnya.

"Terserah," balasku. "Aku cuma mau bilang makasih aja."

"If I were you, kata makasih itu nggak bakal ada. Aku bakal berusaha buat menggantikan posisi siapapun yang ada buat dia. Maksudnya, yang boleh jagain dia cuma aku. Nggak ada yang lain."

Kata-kata Braja memang ada benarnya. Atau malah benar sepenuhnya. Harusnya itu yang kulakukan.

Mataku beralih lagi pada pusat perhatian. Safira dan teman-temannya telah meninggalkan Candra. Kini cewek itu tengah melahap jajan dengan ganas, menghentak-hentakkan kakinya dengan cepat, bibirnya manyun, dan kurasa ia mengeluarkan beragam kata kasar.

"Dasar, bongkahan-upil-tak-ber-peri-ke-jajan-an," katanya patah-patah. "Menyita waktuku di istirahat yang singkat ini. Sungguh ter-la-lu!"

Sebaliknya, Ratna duduk dengan wajah datar. Tatapannya tak lepas sedikitpun dari punggung Safira yang melangkah ke sisi lain kantin. Aku juga memalingkan wajahku. Ikut mengamati Safira.

Dia ada hubungannya dengan semua ini atau hanya alat untuk 'menyulut' Candra Agni?

*

Perpustakaan ramai—tetapi hatiku sepi. Meja-meja dan bilik belajar sudah penuh terisi murid dari berbagai angkatan. Mengingat sebentar lagi ujian, aku memutuskan untuk meminjam beberapa buku sepulang sekolah. Untungnya aku sempat meminta referensi buku dari Bu Dewi, jadi bisa segera kupinjam dan pulang sebelum mendung.

Arka Candra [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now