11

4.1K 431 38
                                    

Candra Agni

*

Minggu pagi yang cerah.

"Nggak mau," tolak kakak ketus saat aku minta diantar ke toko buku. Pasti dia masih dendam atas pertengkaran kami kemarin: perkara aku yang ketiduran padahal belum mengangkat jemuran, dan kakak terpaksa mengerjakannya sepulang les.

Bagaimana lagi, aku kan juga capek.

"Kakak..." aku memelas.

"Pergi sendiri."

"Candra kan masih kecil."

Kakak memalingkan wajah dari laptop dengan muka jutek. "Kelas tujuh itu udah besar. Berangkat sendiri sana, naik angkot."

Moodku langsung berubah.

"Terserah wis," kuambil tas selempang kecil berisi dompet dan hp. "Pokoknya kalo Candra kenapa-napa, kakak orang pertama yang Candra salahin."

"Terserah."

Selalu begini.

Kakak selalu jutek padaku, adiknya. Tapi sikapnya berubah lembut kepada pacarnya. Cemburu? Sudah pasti!

Bukan, bukannya aku cemburu yang bagaimana. Tapi begini, aku kan adiknya dan sudah kenal dengannya sejak aku masih di kandungan mama. Bagaimana bisa dia lebih mementingkan mbak-mbak yang baru dikenalnya dibanding adik yang tinggal seatap? Beda cerita kalau dia bersikap adil. Mengajakku jalan-jalan dengan pacarnya, misalnya. Mungkin aku bisa terima dan tidak akan merasa cemburu.

Tapi ini? Jangankan diajak jalan-jalan, pacarnya saja bersikap sok dihadapanku. Seolah-olah dengan menjadi pacar kakak, aku harus tunduk juga padanya. Maaf saja, tapi papa bilang saudara itu selalu nomor satu, bahkan ketika sudah berumah tangga nantinya.

Mungkin juga pacarnya bersikap begitu karena kakak yang salah, kakak yang selalu jutek padaku. Papa juga pernah bilang, kalau kita sesama saudara saling tidak menghargai, maka orang lain pun akan susah menghargai kita.

Aku pun berpamitan pada mama.

"Lho, nggak sama kakak?" tanya mama, menyematkan jarum pentul di sambungan kain perca untuk proyek selimut patchworknya.

Aku mendengus, "Nggak perlu."

Lalu sengaja mengeraskan suara, "BUAT APA PUNYA SAUDARA TAPI NGGAK MAU NOLONG ADIKNYA? PACAR AJA YANG DIPENTINGIN."

"Jaga omonganmu, ya." Tahu-tahu kakak muncul.

"Candra sukanya bikin ribut ya," tegur mama. "Berapa kali mama bilang? Mama nggak suka kalo berisik di rumah. Raka juga salah."

"Salahin aja lagi," sahut kakak.

"Emang salah," balasku.

Kakak melotot, "Kamu ini kenapa sih? Semenjak masuk SMP hobinya nyari masalah. Kenapa? Ngerasa udah besar? Gayamu tok yang besar."

"Terserah," aku buru-buru keluar rumah.

Setibanya di tepi jalan raya, aku segera menaiki angkutan yang sepi. Nantinya angkutan ini akan mengantarku hingga Arjosari. Sampai disana, aku harus berganti naik angkut Landungsari yang rutenya melewati Matos.

Arka Candra [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now