Lesson 6 : Doubt

497 20 3
                                    


-Mulut bisa berkata "tidak", walau hati lebih setuju mengucap "ya". Kadang kata-kata meluncur tanpa kendali, di saat hati merasakan ragu yang tak tersirat-


Samuel mencoret tanggal 10 di kalendernya, menandakan bahwa hari yang paling ia nantikan telah tiba. Turnamen basket antar SMA, yang tak hanya mengantungi harapan terbesar cowok penyuka warna oranye itu untuk memenangkan piala juara satu bagi White Eagles, pun juga hati kedua orangtuanya.

Berhasil mendapat nilai ulangan tertinggi di kelas, membuat Raymond dan Grace terbujuk untuk menonton pertandingannya tanpa harus mengandalkan Jason. Paling tidak, Samuel bahagia karena usahanya dihargai meski gagal mendapat ranking satu.

Dengan penuh semangat dan rona bahagia, cowok itu melahap sarapan paginya hingga habis. Meninggalkan keheranan di wajah Jason serta Papa dan Mamanya yang saling menatap sambil tersenyum.

Jason menegur kakak kembarnya, sambil menyerahkan segelas air putih.

"Sam, pelan-pelan dong makannya! Papa sama Mama enggak akan lupa buat nonton turnamen hari ini, kok. Sekarang kan Sabtu, jadwal praktek Papa libur dan Mama masuk kerjanya lebih siang. Mereka pasti masih sempat lihat lo main sampai selesai. Iya kan Pa, Ma?"

Raymond tertawa kecil, menepuk-nepuk kepala Samuel perlahan dan lembut. Sebuah sentuhan hangat dari sang ayah, yang sudah lama tak lagi dirasakan cowok berhidung mancung tersebut.

"Wajar, Samuel lagi senang karena sukses menuntaskan tantangan dari Papa dan Mama. Kamu doakan saja Jas, semoga kembaranmu ini betul-betul bisa jadi anak rajin sampai seterusnya. Papa sama Mama sudah gemas sekali dengan kelakukan nakalnya di sekolah, yang sering membuat kami pusing. Syukurlah, ternyata lama kelamaan Samuel mulai terlihat konsisten untuk instrospeksi diri."

"Tuh dengar Jas, gue begini saking bahagianya karena sukses buat Papa dan Mama bangga. Harusnya, gue bisa lebih puas kalau bisa ngalahin lo dan dapat ranking satu. Lomba cerdas cermat terlalu gampang sih, enggak seru karena tim gue udah pasti jadi pemenangnya."

Samuel tersenyum percaya diri, sedikit menyombongkan prestasinya seraya mencibir Jason dan menyuap sup krim jagungnya.

Jason memainkan alis matanya naik turun, menyeringai lebar meledek sang kakak sambil mencelupkan roti ke dalam sup.

"Ngalahin gue, atau Samantha? Gimana rasanya jadi rekan se-tim sama dia? Gue benar kan, Samantha itu lambang keberuntungan buat lo. Tanpa dia, lo enggak akan punya niat buat tekun belajar, jadi murid yang rajin apalagi menang lomba cerdas cermat."

Raymond mengernyit, berhenti menyuap sup miliknya seolah terkejut karena Samuel memiliki teman dekat perempuan di sekolah. Lantaran perangainya yang jutek dan cuek, putranya itu tidak pernah bisa bersikap ramah dengan lawan jenis.

"Samantha? Sepertinya, Papa baru dengar nama itu. Apa dia gebetan baru kamu, Samuel? It's so cute, nama kalian berpasangan; Samuel dan Samantha. Manisnya, anak muda masa kini. Betul kan, Ma?"

Grace yang menurunkan Samuel dengan kemiripan sikapnya, merespon seraya memberi penuturan tegas.

"Mama rasa, pergaulan anak muda sekarang sedikit beresiko. Jadi sebaiknya, Samuel tidak usah berpacaran dulu dan tekuni saja belajar serta bermain basket. Mama tidak mau peristiwa memalukan yang pernah menimpa Samuel dan pacarnya terulang kembali. Mama berharap, Samuel akan menemukan sosok perempuan yang memberi dia pengaruh positif, bukan menghasutnya untuk menjadi seorang pemberontak."

SAMUEL AND SAMANTHA  : TROUBLE COUPLE SERIES 0.1 Where stories live. Discover now