Lesson 29: Head versus Heart

165 11 3
                                    

-Dalamnya laut tak dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu. Itulah gambaran tentang bimbangnya hati kita, yang bertolak belakang antara ingin merajut kembali kisah kasih bersama atau melanjutkan hidup melalui lembaran cerita baru-


“Saya Samantha Veronica.”

“Saya Samuel Leonard, kami berdua mewakili alumni SMA Purnama mengucapkan salam perpisahan, ucapan terimakasih juga rasa sayang yang tulus kepada seluruh dewan guru, dan teman-teman …”

“Tanpa jasa kalian ibu bapak guru, kami tidak akan dapat lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Tanpa kehadiran teman-teman yang penuh keceriaan dan kebersamaan, maka masa SMA pasti terasa kelabu.”

“Sampai berjumpa lagi beberapa tahun kemudian, saat kita sudah sama-sama berhasil meraih mimpi. Semoga ikatan kita tak pernah terputus, dan kenangan kita selalu abadi …”

Pidato Samuel dan Samantha sebagai lulusan terbaik, disambut tepuk tangan dan alunan lagu Youth milik Troye Sivan yang mewakili berakhirnya masa-masa remaja mereka di SMA.

Keduanya berdiri di atas panggung bak pasangan pangeran dan putri dari kerajaan terpandang. Samuel terlihat tampan memakai jas berwarna silver dipadu kemeja putih, rambutnya ditata dengan sedikit pomade sehingga tampak elegan.

Samantha semakin cantik mengenakan dress merah muda, senada dengan jepit yang menyemat cantik di sanggul rambutnya juga warna lip gloss di bibir tipisnya.

Acara berlanjut ke pemberian award untuk guru dan siswa-siswi SMA Purnama, sekadar icebreaker saja agar terasa lebih ceria. Apalagi, banyak nominasi nyeleneh seperti ter-jomlo, terbawel, tergokil dan lain-lain.

Bu Dea mendapat award guru tersayang sebab beliau dikenal baik dan bersahabat, sementara Bu Anindya terkejut karena diberi award guru ter-killer. Tetapi, beliau malah tertawa dan terlihat bangga.

Samuel dan Samantha juga tak ketinggalan menerima nominasi pasangan ter-fenomenal. Mereka bahkan sampai speechless, pun kena bulan-bulanan satu angkatan yang mengharap keduanya bisa berpacaran lagi.

Walau keduanya ragu untuk saling bertegur sapa seperti dulu,  mereka mencoba menghilangkan rasa canggung dan gengsi.

Sebab saat ini, Samuel menganggap Samantha sebagai teman baik begitupula sebaliknya.

Tapi tidak ada yang bisa menepis, bahwa mereka tak ingin berpisah jarak.

Samuel memberi lambaian halus pada Samantha ketika pulang bersama orangtuanya, cewek itu membalas seraya tersenyum kecil lalu berucap dalam hati;

“Semestinya, kita enggak saling melukai satu sama lain.”


🏀🏀🏀🏀


Tiga hari setelah acara perpisahan SMA…

Samuel menikmati Chicken Muffin McD, Hash Brown serta Egg Muffin dan teh hangat sebelum pesawat menuju Melbourne siap untuk take off.

Ia tidak sempat sarapan, karena Raymond, Grace, Jason, Dylan dan Grandpa Kent bersikeras ingin mengantarnya lebih pagi.

Ia berhenti dan menyesap tehnya, tertegun dan tertawa kecil karena ayah, ibu, kembaran serta sang adik bungsu yang menatapnya berkaca-kaca.

“Papa sama Mama enggak makan sup-nya? Nanti kalau udah dingin, rasanya pasti enggak enak. Lo juga Jas, makan ayam pedasnya sekalian suapin bubur buat Dylan. Lama-lama Sam jadi salting, lagi makan dilihatin begini …"

“Paling tidak, sebelum ditinggal kamu ke Melbourne kita semua mau lihat Samuel Leonard sarapan dengan lahap sampai kenyang. Kamu disana harus jaga kesehatan, ya. Minum vitamin yang Papa bawakan, terus syal dari Mama jangan sampai lupa dipakai saat winter.”

Raymond berujar, mengecup dahi Samuel pelan dan membelai kepala putranya itu. Grace disebelahnya tidak berucap apapun, hanya menangis seraya berusaha tersenyum di hadapan Samuel.

Sambil berdecak, Samuel berkata lembut pada orangtuanya. Ia mengerti, betapa mereka sangat mencemaskan jika dirinya merasa kesulitan disana.

“Pa, Ma, Samuel bukan anak-anak lagi yang bakalan tersesat di Melbourne. Kampusnya memang jauh dari rumah Om Oliver, tapi kan Sam nanti tinggalnya di dorm. Jadi, mesti terbiasa mandiri dan beradaptasi."

Seketika, Jason dan Dylan memeluk Samuel bersamaan. Mereka tidak peduli jika dikatai lebay oleh pengunjung McD yang menatap  seolah bertanya mengapa ada adegan sinetron dadakan di sini.

“Kalau lo pergi, siapa yang bakal gue jailin pagi-pagi sama Dylan? Awas ya, kalau waktu liburan enggak pulang ke Jakarta. Gue palakin cokelat sebanyak-banyaknya, ntar …”

“Sammy kenapa pergi ke Melbourne? Enggak boleh! Who will buy me ice cream, then?
Papa and Mama never allowed me to have them before dinner, but you always help sneak one ice cream for me …[Siapa yang akan beliin aku es krim, nanti? Papa sama Mama enggak pernah bolehin aku makan es krim sebelum makan malam, tapi kamu selalu kasih buat aku diam-diam….]

“Take care, Samuel. Grandpa tunggu kamu di Jakarta, untuk menggantikan Papamu. Jika kamu tidak bisa pulang saat liburan, kami yang akan ke sana. Kuliah yang fokus, tidak usah pikirkan hal lain. Promise me, you’ll graduate as a cumlaude.”

Grandpa Kent yang sedari tadi memasang wajah datarnya, memberi pesan pada sang cucu tanpa disertai pelukan ataupun tepukan hangat di pundak. Samuel memaklumi hal itu, sebab mereka sempat bertikai hebat rencana kuliahnya yang nyaris batal.

Lulus dengan predikat cumlaude, tentu akan Samuel coba penuhi meski melewati proses yang panjang. Ia harus siap-siap ‘menelan’ buku medis tebal seharian, untuk menuntaskan keinginan sang kakek.

Di pesawat yang lima belas menit lagi segera take off, Samuel tidak sengaja satu pesawat dengan rombongan tim basket Rajawali Emas yang mendapat hadiah liburan di Melbourne setelah memenangkan turnamen nasional.

Ia jadi teringat White Eagles, serta hari terakhir mereka bermain basket di taman perumahan Anggrek. Cowok itu membiarkan Dean memimpin dalam permainan 3 on 3, bahkan men-traktir teman-temannya masing-masing satu cone gelato di Ibiza café karena tim-nya kalah.

Samuel sadar ada yang salah, bahwa hatinya masih tertuju pada satu impian; bermain basket di turnamen nasional.

Jersey, bola basket, sepatu, serta lapangan di halaman belakang rumah yang menjadi penyokong impiannya itu memang telah hilang, tapi tidak dengan panggilan jiwa Samuel yang melekat pada basket.

Saat roda pesawat siap bergerak, Samuel melihat gerombolan teman-temannya meneriakkan namanya dari luar jendela.

Dean, Kevin, Wildan, Bima dan Dewa memegang spanduk bertuliskan “So long, Captain” membuat ia menangis bahagia.

Merekalah, alasan terbesar Samuel untuk tidak melupakan basket dan White Eagles.

🏀🏀🏀🏀



Alarm pukul setengah tujuh pagi mengagetkan Samantha yang semula bermimpi menari balet di panggung megah, lalu lenyap dan membuatnya kembali pada kenyataan. Cewek itu berteriak panik, mengejutkan teman-temannya yang masih terlelap.

“Kalau tahu flight lo ke Paris pukul tujuh lewat lima belas, mestinya kita enggak adain slumber party di rumah Oma lo Ver.
Sori ya, lo jadi kelabakan deh …”

“Tuh kan, gue bilang juga apa? Enggak usah repotin Vero pakai nginep di rumah Oma Renata segala, Cil. Kasihan Vero, kalau dia ketinggalan pesawat berarti itu salah lo ya?”

Samantha tidak mengacuhkan Cecille dan Tiara yang berdebat, ia mulai mandi, kemudian mengenakan turtleneck warna putih dan jeans dengan terburu-buru.

Diikuti kedatangan sang Mama yang menyuapkan sarapan nasi goreng dan Opa Jacob yang membawakan kopernya ke mobil.

Belinda mengajak Cecille, Tiara dan Inka dan Sally ikut mengantar Samantha sebagai balasan sebab sudah diizinkan menginap semalam di rumah kakek neneknya.

Biar bagaimanapun, mereka yang memutuskan ide tanpa bertanya dulu pada Samantha.

Sepanjang perjalanan ditemani lagu One Last Time milik Ariana Grande yang berputar di radio, Samantha terngiang akan percakapan soal Paris dengan Belinda.

Buat gue, di Paris tanpa kalian kayaknya bakal terasa menakutkan. Gue paling sudah adaptasi sama lingkungan baru, selalu parno sama banyak hal, kadang over-thinking yang macam-macam. Apa nanti, cita-cita gue akan berjalan mulus di Paris? Siapa aja teman yang akan gue temui? Gue enggak siap, jauh dari kalian.”

“Vero, lo itu udah bisa adaptasi di lingkungan baru. Bahkan, tanpa ada kita berlima. Contohnya saat lo gabung di OSIS, ya kan? Lo kenal Laras, Adel dan Melissa.

Lo juga jadi Vero yang lebih pede dari sebelumnya. Gue rasa, lo pasti bakalan dapat teman yang lebih banyak di Paris, juga pengalaman tentang cita-cita lo. Yang terpenting, jangan besar kepala dan terus belajar.”

Samantha memeluk orang-orang tersayangnya satu per satu, kemudian melangkahkan kaki ke dalam boarding gate dengan satu helaan napas serta harapan.

Yaitu, melambungkan impiannya setinggi langit. Semoga, kota cinta di negeri Eropa akan terasa seperti rumah baginya.

SAMUEL AND SAMANTHA  : TROUBLE COUPLE SERIES 0.1 Where stories live. Discover now