EXTRA CHAPTER 1: SECOND CHANCE

299 10 17
                                    


-Aku menyayangi dia, tetapi ada orang lain yang jauh lebih pantas bersamanya- [Sebastian Renaldi]


-Aku selalu menyukaimu, sayangnya kamu tak pernah sadar. Aku lebih dulu ada di sisimu, sebelum dia datang merusak segalanya-
[Kartika Gaia Inaranti]


Gue Sebastian Renaldi, kalian boleh panggil gue Ian biar kita lebih akrab. Di SMA Purnama, gue punya banyak teman dekat. Ada Sonny, Robby, Ardiano dan yang selalu menempel sama gue dari kecil; Ina.

Gue dan Ina bersahabat, karena kita sekolah di TK juga SD yang sama. Saat SMP kita pisah, karena Ina dapat sekolah negeri sedangkan gue di sekolah swasta.

Tapi, kita tetap sering ketemu seperti biasa sepulang sekolah buat belajar bareng atau sekadar hangout.

Saking dekatnya, gue sama Ina sering disangka pacaran. Padahal, dia udah kayak saudara buat gue. Sayang, keluarga Ina enggak suka kalau kita bersahabat.

Kenapa? Karena, gue di cap sebagai anak haram, laknat, kotor dan lain-lain. Gue yang saat itu masih duduk di bangku kelas tiga SD, hanya bisa menangis dikatai seperti itu oleh suami istri berusia tiga puluh tahunan.

Gue pernah tanya ke Mama, apa sebab orang-orang selalu menghina gue setiap saat. Begitu juga, anak-anak di sekitar kompleks yang memusuhi gue.

Mama bilang; “Ian enggak salah apa-apa, Nak. Jangan dengarkan ucapan mereka, anggap saja angin lalu. Biar Tuhan yang membalas, kita doakan saja supaya mereka bisa berubah menjadi lebih baik.”

Tentu, gue enggak bisa terus menerus bertahan untuk bungkam. Terlebih, mereka turut membawa-bawa nama Mama dan Papa bahkan menuding salah satu dari keduanya berselingkuh.

Memangnya, orang-orang itu tahu apa soal keluarga gue?

Apa mereka yang memberi kami makan, minum dan biaya hidup?

Enggak, kan? Lalu, kenapa mereka seolah sok tahu soal kehidupan kami?

Menyebalkan, rasanya gue ingin lempar granat saja ke orang-orang berhati busuk itu.

Di sisi lain, keluarga gue yang mulanya sangat harmonis perlahan-lahan mengalami beragam cobaan.

Perusahaan Papa bangkrut, membuat beliau sering pulang mabuk-mabukan dan menghabiskan uang untuk berjudi.

Butik Mama terpaksa harus dijual, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari kami.

Gue dan Kak Indira pun, mesti pindah ke rumah Bude Nia di daerah Pejaten. Mama berpesan sama kami, untuk selalu menjaga diri baik-baik, sekolah yang rajin, menurut pada Bude juga enggak merepotkan beliau.


Kak Indira  menasehati supaya gue enggak membenci Papa, namun hati gue begitu beku untuk dapat menerima sosok ayah yang selama ini kami kenal begitu hangat, bijaksana, berwibawa, penyayang dan humoris menjelma menjadi sesosok pengecut serta pecundang berjiwa keji.

Masih terbesit seperti apa pertengkaran besar yang terjadi diantara Papa dan Mama, tepat dua hari menjelang ulang tahun gue yang kelima belas. Tragis, bukan?

“Gara-gara anak sialan itu, hidup kita jadi hancur! Mestinya kamu tidak menerima permintaan Freddy untuk merawat Ian, hasilnya jadi begini kan?!

Reputasi keluarga ternodai, semua orang mengucilkan kita! Lagipula, Ian bukanlah anak kandung keluarga Renaldi. Untuk apa, dia ada di tengah-tengah kita?”

“Mas Aryan, tolong tarik kata-kata Mas tadi! Aku merawat Sebastian seperti anakku sendiri, sebab aku berhutang budi pada Freddy. Kalau dia tidak membawa aku ke rumah sakit saat itu, mungkin Indira tak akan bisa lahir dengan selamat.

Kamu harusnya berterimakasih, berkat Freddy kita punya anak laki-laki sebaik Ian, meski—“

“Ian bukan anak kandung Mama dan Papa? Lalu Ian ini siapa? Cuma perusak di keluarga Renaldi, yang membuat semua orang menderita? Ian enggak pernah minta dilahirkan dengan keadaan begini, jadi kenapa harus Ian yang disalahkan?!”

“Dasar anak tidak tahu terimakasih!
Sana, pergi cari orangtua kandung kamu dan jangan kembali lagi ke sini! Kamu itu anak haram, tidak pantas menyandang nama keluarga Renaldi yang terhormat!”

“Kalau Papa mau Ian pergi, akan Ian lakukan!  Dan jangan harap, Ian masih mau menganggap Papa sebagai ayah! Ian benci sama Papa! Bahkan Papa enggak menyesal sudah memukuli Mama setiap malam, kan?”

“Ian sayang ....Mama tidak apa-apa, Nak. Kamu jangan pergi kemana-mana ya? Kamu masih tetap anak Mama, Ian. Sama dengan kakakmu, kalian berdua berharga buat Mama.”

Malam itu, gue memeluk Mama erat-erat dalam tangisan pilu, hati gue amat terluka mendapati wanita yang sudah mengasuh Kak Indira dan gue sejak bayi, harus menghadapi penderitaan besar.

SAMUEL AND SAMANTHA  : TROUBLE COUPLE SERIES 0.1 Where stories live. Discover now