EPILOG

363 15 7
                                    


-Lain di mulut, lain pula di hati. Begitulah cara kita saling mencintai, bilangnya benci tetapi hati selalu menyayangi-

Lima  tahun kemudian….


Sirine ambulans, gerakan roda banker dan kerumunan dokter serta perawat yang melewati bangsal rumah sakit Abichandra memperlihatkan betapa sibuknya situasi saat ini.

Wabah demam berdarah adalah jawabannya, sekitar sepuluh orang pasien sudah terinfeksi dan tiga diantaranya kritis.

Seorang pria berusia mendekati dua puluh lima tahun, memakai kaus polo berwarna oranye muda dan celana jeans tengah berlari tergesa-gesa menuju lift. Sesekali, ia mengecek ponsel seraya tertawa kecil membaca pesan di grup chat.

Langkah kaki seorang perawat yang menghentikannya masuk ke dalam lift, membuat pria itu berdecak. Padahal, ia sudah pastikan untuk mengosongkan janji dengan pasien khusus di hari istimewa ini.

“Dokter Sam, ada pasien cedera sendi di ruang 156 sudah menunggu untuk segera diperiksa.Pasien perempuan, atas nama—“

“Saya ada reuni SMA, memangnya dokter Kiara tidak ada?”

“Dokter Kiara sedang cuti hamil, sedangkan yang lain belum pulang dari studi banding di Sidney. Diagnosa pasien kemungkinan adalah anterior talar impingement.”

Samuel yang kini sudah menjadi dokter spesialis bedah orthopaedi termuda, mau tak mau harus menjalankan tugasnya di saat ia ingin bertemu dengan kawan lama semasa SMA.

Pria itu lulus berkat predikat cumlaude, seperti yang dijanjikannya pada sang kakek.


Rina, perawat yang menjadi partner Samuel mengantarnya ke kamar rawat sembari pria itu memakai kembali jas snelli-nya secepat kilat dan menemui pasien.

Samuel menyapa perempuan berusia tiga puluh tahunan yang menemani seorang pasien dengan leotard berwarna hitam serta rok tutu. Kondisi kakinya terlihat sangat parah, membuat Samuel harus ekstra hati-hati menanganinya.

“Selamat siang, saya dokter Samuel.
Menurut diagnosa, kaki pasien mengalami cedera yang disebabkan oleh terjepitnya jaringan lunak di pergelangan kaki sehingga pergelangannya menekuk ke atas.”

“Sepupu saya ini, seorang ballerina, Dok. Dia baru saja selesai rehearsal untuk pertunjukkannya minggu depan. 
Sayangnya karena kurang istirahat dan terlalu lama memakai pointe shoes, pukul sebelas tadi dia mengeluh kesakitan dan terjatuh di panggung.”

Wanita tadi menceritakan kondisi sepupunya, sementara Samuel membaca namanya di kartu pendaftaran pasien. Sebuah nama yang mampu menggetarkan hatinya, hanya saja ia belum yakin apakah perempuan ini benar-benar ‘dia.’

“Baik, Vero harus menjalani operasi anterior talar impingement supaya kakinya bisa kembali digerakkan dengan normal. Dan dia harus istirahat sementara dari menari balet, setidaknya satu bulan jelang operasi.”

“Dokter enggak tahu kan, kalau saya ini bukan sekadar menari balet? Saya melakukannya untuk charity, supaya anak-anak perempuan di Indonesia bisa mendapat beasiswa pendidikan secara gratis. Jadi, saya enggak bisa istirajat begitu saja seperti saran dokter.”

Perempuan bernama Vero itu membantah Samuel dengan seenaknya sampai ia dimarahi oleh sang sepupu yang cemas setengah mati.

Samuel menyaksikan pertengkaran kedua orang itu seraya memijit kepalanya yang terasa agak pening.

SAMUEL AND SAMANTHA  : TROUBLE COUPLE SERIES 0.1 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang