Celebrity's Girl

[11] Celebrity's Girl

"Ra, Idho mau ngomong tuh."

Ara mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Tata. Idho adalah salah satu cowok yang naksir berat pada Ara. Baru-baru ini ia melapas jabatan ketua OSIS-nya karena sudah waktunya regenerasi. Ara mengenal Idho sejak kelas satu, awalnya mereka berada dalam satu ekstrakurikuler KIR. Karir Idho melesat dari anggota ekskul biasa hingga menjadi ketua OSIS. Sementara Ara hanya berakhir dengan menjadi anggota KIR sampai akhirnya kepengurusan berganti.

Awalnya, mereka hanya kenalan biasa saja. Tapi lama-lama Idho mulai menyukai Ara. Bukan hanya sekali Idho mengungkapkan perasaannya pada Ara. Berkali-kali. Dan berkali-kali juga Ara menolaknya. Selain Ara hanya menganggap Idho sebagai teman saja, Ara memang tidak pernah ada perasaan apa pun pada Idho. Apalagi ada Emil, suami sahnya.

"Mau ngapain ya?" tanya Ara bingung. Tata menjawab dengan mengangkat bahunya, tapi kemudian tersenyum menggoda Ara.

"Si Idho mau nge-dor lo lagi kali," ujar Tata sambil menaik-naikkan alisnya. Kalau siswi yang lain mendengar ledekkan Tata ini, mungkin wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. Siapa yang tidak mau ditembak oleh seorang Idho? Idho itu most wanted banget. Pintar, keren, dan pembawaannya dewasa. Tetap saja, tidak ada pengaruhnya pada Ara.

Ara sempat memutar bola matanya sebelum keluar kelas menemui Idho. Di sana, Ara melihat Idho yang berdiri bersandar pada tembok kelas. Satu tangannya memainkan ponsel, sedangkan tangan lainnya berada di saku celananya. Dari atas hingga bawah, pakaian Idho selalu rapi. Tanpa kusut, dan tanpa cela. Idho memang pantas menjadi idola sekolah, bukan yang bad boy, tapi yang prince charming.

"Hai, Ra," sapa Idho saat menyadari kehadiran Ara. Ara hanya mengangguk dan tersenyum. "Kamu pindah rumah ya?"

Pertanyaan tanpa basa-basi itu sukses membuat Ara melongo. "Hah?" Tatapan dan pertanyaan Ara membuat Idho salah tingkah.

Idho berdeham untuk menutupi kecerobohannya yang main 'sembur'. "Sebenernya hari Minggu kemarin aku ke rumah kamu," aku Idho.

Idho memang tahu rumah Ara. Ia pernah ke sana saat mereka masih dalam satu wadah ekstrakurikuler. Sebatas kerja kelompok untuk penelitian kecil, itu pun bersama yang lainnya.

"Kamu ke rumahku?" Ara malah mengulang ucapan Idho.

Idho menganggukkan kepalanya. "Tadinya mau pinjem beberapa buku. Cuma pas aku ke rumah kamu, nggak ada orang sama sekali. Tetangga kamu bilang kalian pindah, ke Bandung malah. Tapi kamu ada di sini. Aku jadi bingung. Hehehe," ujar Idho panjang lebar diakhiri kekehan.

"Orang tuaku sih yang pindah ke Bandung. Aku nggak pindah, aku tinggal sama keluargaku yang baru. Udah kelas tiga, nanggung kalo pindah."

"Keluarga baru?"

Menyadari kesalahannya, Ara cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Bukan, bukan. Maksudnya saudara jauh. Aku tinggal sama saudara," ralat Ara buru-buru.

Idho ber-oh-ria. "Jadi, aku boleh ke tempat kamu? Pulang sekolah nanti? Kita mungkin bisa makan siang dulu," tawar Idho tanpa basa-basi lagi. Gemas pada Ara yang berputar-putar.

Sudut bibir Ara tertarik untuk menunjukkan senyum pemakluman. "Maaf ya, Dho. Aku nggak bisa. Aku udah ada janji sama kakak i... ibuku." Hampir saja Ara menyebut 'ipar' yang merujuk pada Kania. Bisa dua kali keceplosan Ara.

Idho kembali ber-oh-ria. Sebenarnya dari dulu Ara memang selalu menolak ajakan jalan berdua. Tidak heran kalau hari ini pun Ara kembali menolak ajakannya.

"Oke deh. Mungkin lain kali. Bye, Ara."

Mungkin nggak ada lain kali, Dho. Aku nggak mau bikin Emil cemburu. "Oke, bye, Dho."

Ara masih memerhatikan punggung Idho yang menjauh. Tidak ada perasaan apa pun selain berharap semoga Idho bisa bertemu perempuan baik hati yang available.

"Kasian si Idho. Dia udah lama banget ngejar lo. Kenapa nggak diterima aja sih, Ra?"

Ara mendapati Dhea, yang sepertinya baru kembali dari toilet, kegiatan wajib setornya saat istirahat. "Aku cintanya sama Emil." Itulah yang ingin Ara ucapkan, tapi Ara hanya mengedikkan bahu dan kembali ke kelas.

---

Salam,

rul