[25]

135K 9.3K 82
                                    

Hari ini hari libur. Entah keajaiban darimana, Emil kebagian juga jatah libur. Emil sudah memikirkannya, Gifar perlu naik gaji. Selama ini Gifar yang menyaring semua kegiatan keartisan Emil. Adanya libur seperti ini, membuat Emil merasa sangat berterima kasih pada sepupunya itu.

Kesempatan sekali bisa sayang-sayangan sama Ara, pikir Emil. Dua hari yang lalu Emil ada pekerjaan off air di Semarang. Tekad Emil, dia akan menghabiskan waktunya seharian penuh ini untuk menempel terus pada Ara. Tapi, Emil langsung cemberut. Tidak ada Ara di sampingnya saat ia terbangun dari tidurnya. Jelas-jelas setelah ibadah vertikal subuh tadi, Emil sendiri yang menggendong Ara ke ranjang mereka. Emil memeluknya erat, sekarang Emil jadi merasa kehilangan Ara.

Emil putuskan untuk mencari Ara. Langkahnya terhenti saat mendengar suara isak kecil bersamaan dengan suara televisi di ruang keluarga mereka. Setengah berlari Emil menghampiri Ara. Bahkan Emil sampai loncat karena panik melihat bahu Ara yang bergetar naik turun.

"Ara? Kamu kenapa, Sayang?" tanya Emil langsung menarik Ara dalam pelukannya. Membiarkan kaus putihnya basah karena air mata Ara.

Ara masih sesenggukan selama tiga menit. Sebelum akhirnya mengangkat kepalanya. Membuat Emil kalut menerka sebab apa yang membuat istrinya menangis seperti ini, sepagi ini. Dihapusnya air mata dan keringat yang melembabkan wajah Ara. Diusapnya pipi Ara untuk menyalurkan ketenangan.

"Ada apa? Kenapa nangis?" tanya Emil lagi dengan suara lembut. Emil tidak suka Ara menangis. "Kamu sakit?"

Ara menggeleng pelan. Lalu tubuhnya menyuruk pada tubuh Emil. Menjadikan kaus bagian depan Emil sebagai lap untuk sisa-sisa tangisannya. "Aku mau itu."

Emil mengerutkan keningnya mendengar ucapan Ara. Kok jadi ambigu ya terdengar di telinga Emil? Itu apa maksud Ara? Itu yang 'itu'?

"Ehmm ... itu apa, Ra? Kalo maksud kamu ibadah cinta, kamu kan tau kita harus kontrol ke dokter dulu. Dedek bayi belum terlalu kuat Sayang," ucap Emil sambil mengelus pelan perut Ara. Dalam hatinya berucap, "Nak, kamu harus jadi anak yang kuat dalam perut bunda. Bantu ayah sama bunda biar bisa buka 'puasa'. Please."

Tepukan yang cukup kuat dirasakan Emil mengenai lengannya. Wajah Ara yang menggemaskan dengan bibir mengerucut malah membuat Emil panas-dingin. "Bukan 'itu' ih. Kamu mah mikirnya ke sana. Aku juga inget dedek bayi belum cukup kuat. Aku mau itu."

"Iya, itu apa?"

Ara menunduk, masih bersandar di dada Emil. Tapi, tangannya yang membuat pola lingkaran kecil tepat di atas jantung Emil, malah membuat Emil semakin hilang akal. Kalau dibiarkan bisa khilaf nantinya, jadilah Emil menangkap tangan mungil Ara.

"Tadi aku liat iklan pizza. Aku jadi pengen makan pizza. Tapi belum ada yang buka. Apalagi hari Minggu," jelas Ara dengan suara pelan.

Emil melongo. Tertegun dengan permintaan Ara yang sampai membuatnya menangis. Berikutnya, Emil sadar bahwa Ara sedang mengandung dan inilah fase mengidam. Emil tersenyum kecil, kehamilan Ara pasti menyebabkan dirinya jadi cengeng seperti ini. Perubahan hormon, orang bilang. Kalau dalam keadaan normal, tidak mungkin Ara sampai merengek karena ingin sesuatu. Apalagi ini pizza, junk food. Ara sebisa mungkin menghindarinya.

Emil melirik jam dinding dalam ruangan itu. Pukul setengah tujuh kurang lima menit. Jelas belum ada restoran pizza yang sudah buka, apalagi yang jasa pesan antar. Kalaupun sudah buka, mungkin menu yang ada adalah menu breakfast.

Jurus pengalihan isu harus Emil keluarkan di saat-saat seperti ini. Namun sebelumnya, Emil menguatkan dirinya sendiri, dia tidak boleh terpengaruh dengan serangan balik yang mungkin dilancarkan Ara seperti beberapa hari yang lalu.

"Sayang, ini masih terlalu pagi. Belum ada resto yang buka," ucap Emil melancarkan bujukannya. "Kamu inget yang waktu itu aku bikinin kamu sarapan? Gimana kalau aku bikinin lagi? Nanti kalo udah jam sepuluh, kita delivery pizza."

Ara berpikir, mengingat rasa omelette buatan Emil yang menurut lidahnya luar biasa lezat. Jadi, Ara mengangguk dengan mata berbinar. Kesempatan langka bisa menikmati masakan buatan tangan Emil.

---

Sesak. Itulah yang Emil rasakan. Setelah sarapan pagi bersama. Ara tetap ingin makan pizza. Jadilah, mereka memesan pizza. Sayangnya, Ara seperti punya tipu muslihat sendiri. Dari satu box pizza ukuran besar yang dipesan, Ara hanya memakan satu slice. Sisanya, ia meminta Emil –memaksa lebih tepatnya- untuk menghabiskan sisanya. Buat Emil sebenarnya tidak terlalu masalah. Masalah lemak, dia bisa membakarnya dengan alat-alat fitnes.

Yang jadi masalah justru Ara, yang tanpa sadar membakar gairah Emil. Memang benar rencana awal Emil adalah ingin menempel seharian terus dengan Ara, tapi siapa yang sangka justru Ara yang tidak mau lepas dari Emil. Ara memeluk tubuh Emil dengan sangat erat. Di sofa sempit di ruang baca mereka. Bersempit-sempitan seperti ini dengan Ara membuat celana Emil ikutan sempit juga.

Kalau Emil melepaskan pelukan sedikit saja, Ara langsung manyun dengan pandangan sendu. Mau tidak mau Emil harus memeluknya lagi. Ara mungkin tidak tahu bagaimana efek tubuhnya sendiri terhadap tubuh Emil. Emil itu cinta dan tergila-gila pada Ara secara keseluruhan, termasuk fisik salah satunya. Emil harus benar-benar bersabar untuk kali ini.

Kasihan Emil.

---

Assalammualaikum, teman-teman. Maafkan aku yang lama nggak update. Bulan puasa gini ritme kehidupanku berubah total. Pekerjaan nambah, dan jam istirahat berubah. Jadi baru sempet nulis deh.

Semoga lancar-lancar ya puasanya ...

---

Salam,

rul 

Celebrity's GirlWhere stories live. Discover now