Part 11

29.3K 2.5K 252
                                    

Violeta melangkahkan kakinya menyusuri jalan raya yang diterangi oleh lampu-lampu jalan. Jalanan tampak sepi karena waktu yang sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sebenarnya Bunda hendak meminta agar Ayah Haris untuk mengantarkan Violeta pulang. Namun Violeta menolak. Ia membutuhkan udara segar saat ini. Rencana awalnya untuk naik taksi di jalan besar ia urungkan. Violeta tetap melanjutkan langkahnya. Pikirannya terus melayang mengingat cerita Bunda mengenai kisah kedua orangtuanya.

Tangan kanan Violeta mengelus perutnya lembut. Ia mencoba membayangkan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh ibunya kala itu. Apakah Ibunya juga mengalami keputusasaan sepertinya? Apakah Ibunya juga sempat hendak menggugurkan dirinya? Atau bahkan Ibunya juga sempat merencanakan bunuh diri??

Ayah, Ibu, apa sebenarnya yang kalian rasakan saat itu? Apa kalian menyesali semuanya? Apa yang harus Mona lakukan saat ini?

Violeta terdiam menatap langit malam. Saat kecil, ia ingat ada seorang teman satu panti yang mengatakan, jika seseorang meninggal, maka ia akan terbang ke langit dan menjadi bintang yang bercahaya. Violeta tahu, kalau hal itu hanyalah sebuah kalimat penghiburan bagi mereka yang merasa kehilangan, namun, hati kecilnya sedikit berharap jika hal itu adalah benar, agar ia bisa menatap Ayah dan Ibunya, walaupun lewat bintang malam.

Anak Bunda, maafkan apa yang hendak Bunda lakukan sebelum ini. Bunda berjanji kalau Bunda akan merawatmu. Bunda akan menerimamu seperti Nenek menjaga dan merawat Bunda. Bunda menyayangimu, Nak....

Violeta menghentikan langkahnya saat sebuah pertanyaan muncul di pikirannya.

Haruskah aku memberitahu Pak Dillian? Tapi ... apakah ia akan menerima anak ini?

Violeta menggelengkan kepala, seolah berusaha menghilangkan pikiran itu.

Gak ... gak. Mustahil ia akan menerima anak ini, apalagi menikahiku. Menikah? Apakah aku baru saja berharap Pak Dillian akan menikahiku??

Violeta menghela napasnya dan kembali berjalan. Hatinya masih bimbang. Pikirannya terus berdebat. Ia mencoba mempertimbangkan segala sesuatunya, namun hasilnya sama saja. Semuanya keputusan dan jalan yang tersedia, memiliki kemungkinan buruk bagi ia maupun bayi di dalam kandungannya.

Tuhan, bisakah Engkau memberiku petunjuk? Haruskah aku memberitahu Pak Dillian tentang keberadaan anak ini? Atau ... lebih baik aku menjaga anak ini seorang diri?

Violeta serba salah. Di satu sisi, Violeta takut jika Dillian justru akan murka saat tahu mengenai kehamilannya. Pria itu bisa saja menyuruhnya untuk menggugurkan kandungan itu. Mungkin tadi pagi Violeta dengan sendirinya memiliki niat itu. Namun sekarang sudah berbeda. Ia sudah berjanji pada dirinya dan anak di kandungan itu, kalau ia akan menjaga dan merawatnya. Violeta juga takut jika Dillian melakukan segala cara untuk menjaga nama baiknya. Pria itu pasti hanya akan menganggap keberadaan anak di kandungan Violeta sebagai sebuah ancaman bagi namanya.

Di sisi lain, Violeta tidak yakin akan mampu membiayai kebutuhan anak di dalam kandungannya ini. Mengandung, melahirkan, bahkan merawat seorang anak, tidak hanya membutuhkan sebuah cinta dan niat tapi juga materi. Semua itu adalah fakta. Ia harus memberikan gizi yang cukup bagi untuk perkembangan janin di kandungannya. Untuk melahirkan ia pastinya memerlukan biaya rumah sakit. Memang, ia bisa saja memilih alternatif yang lebih murah, namun tetap saja ia memerlukan uang untuk itu. Setelah lahir, ia juga memerlukan biaya untuk merawat dan membesarkan anaknya. Bahkan saat ini ia tidak memiliki tabungan sepeser pun.

Selama ini uang gaji bulanannya memang lebih sering ia gunakan untuk berbagi dengan anak-anak di panti asuhan. Walaupun begitu, biaya merawat seorang bayi pastinya lebih besar dari itu bukan? Violeta sadar keputusannya untuk menerima anak itu tidak serta merta melancarkan semuanya. Menerima anak itu, artinya ia harus menyiapkan diri dan menjadi lebih kuat daripada Violeta yang sekarang.

VioletaWhere stories live. Discover now