BAB 4

22K 1.7K 58
                                    

Hari berlalu aku kembali disibukkan oleh tugas-tugas rumahan yang langsung kuselesaikan secepatnya. Aku tidak pernah sesemangat ini. Seperti yang aku pernah katakan, aku ingin menyibukkan diri agar pikiranku tidak kosong tahu-tahu melambung ke kejadian itu lagi. Atau tiba-tiba saja merasakan tubuhku bergemetar panik seperti berada di dalam mobil yang berjalan tidak beraturan.

Aku tidak memiliki teman, hubunganku dengan teman sebangkuku, Sandra, tidak terlalu baik. Dia beberapa kali mengajak bicara hanya untuk basa-basi atau sekedar menanyakan PR.

Aku baru saja menyerahkan LKS ke Bu Rina, guru Bahasa Inggris yang masih muda. Saat hendak kembali ke kelas dalam perjalananku sebuah tangan besar menarik lenganku pelan untuk masuk ke dalam gudang kecil tempat penyimpanan bangku dan kursi cadangan.

Aku tidak bisa memberontak, karena tarikannya kuat sekali, seberapa usahaku untuk melepaskan diri sia-sia, dia terlalu kuat untukku, dan aku berhasil dibawa masuk olehnya.

Nino sudah mengunci pintu gudang dari dalam.

Iya, Nino yang itu. Cowok itu menaikkan salah satu sudut bibirnya tersenyum licik? Ahhhh, tidak, aku terjebak bersama cowok di ruangan kosong dan sepi seperti ini.

Aku sudah mundur sampai menabrak tumpukan meja dan kursi. Nino berjalan ke arahku dengan sorot mata tajam. Aku melirik mencari benda atau apa sajalah yang bisa kujadikan senjata. Tanganku berusaha meraih pulpen yang terletak di meja tak jauh dariku, saat aku berhasil meraihnya Nino merampas pulpen itu dan melemparnya. Dia tersenyum miring.

"Hei, jangan main kasar dong!" seru Nino semakin dekat denganku bahkan ujung sepatu kami sudah bersentuhan.

Aku menundukkan kepala memandangi lantai, gila dari sedekat ini aku cuma sedadanya dia?

"Sayang banget kita punya kesempatan berduan begini, tapi dalam kondisi yang nggak enak."

"Kamu mau apa, No?" Aku berusaha mendongakkan kepala.

Wajah Nino sudah di depanku. Kalau aku tadi bergerak lebih bisa-bisa aku dan dia sudah ... ah, sudahlah.

Matanya yang memiliki manik tajam bak mata elang mengunci matakku. "Lo yang jujur sama gue ya, lo yang meneror anak-anak sini? Rama? Reksa?" tanya Nino membuat aku melotot karena dituduh sesuatu yang seharusnya itu dirinya.

Aku dibuat jadi mendengus geli. "Bukannya kalian yang meneror mereka?" Aku mengernyitkan dahi, dalam posisi sedekat ini si sosok bertopeng mulut miring itu lebih pendek dari Nino.

Benar, jadi sosok itu jelas bukan Nino.

"Kalian? Maksudnya gue, Sandra dan Joe?" Tangan Nino melewati bahuku dan berpegangan pada bangku di atas meja yang menjadi penahanku saat ini, kalau dilihat dari luar kami kan seperti sedang bermesraan.

"I-iya."

"Jadi beneran lo ya orang yang menguntit kita ke komplek Merpati Nusantara itu??"

"Iya, itu emang aku. Kok kamu menuduh aku yang meneror anak-anak OSIS, jelas-jelas kalian yang meneror ke rumah Chacha," kilahku dengan nada kesal. Habis mereka nuduh aku. Apa karena jaket hitamku ini aku terlihat seperti kriminal?

"Trus kok lo menguntit kita? Yah, gila, ternyata kita salah target!" gerutu cowok itu kesal.

"Maksudnya?"

"Jadi gini, gue sama yang lain tuh nggak sengaja tahu kalo Reksa dan Rama mendapat surat teror. Sandra yang takut kalo, ehem, difitnah tentang kutukan lagi mau mencari tahu siapa pelakunya. Karena OSIS adalah sekolah, yang terjadi di OSIS adalah urusan sekolah," jelas Nino. Dia langsung menjauhkan dirinya dariku saat menyadari raut wajahku tak nyaman. "Gue sama yang lain mengirim surat teror buat Chacha biar pelaku aslinya keluar merasa dirinya di atas angin karena ada pihak lain yang ikut membenci OSIS."

EntangledWhere stories live. Discover now