BAB 14

14.3K 1.2K 62
                                    

Jalan Daisy tertulis di papan penanda berwarna hijau. Saat sekolah dulu aku selalu melewatinya, tidak sampai masuk ke dalam jalan tersebut. Saat memasuki jalan tersebut disambut rumah-rumah berukuran kecil yang berjejer di kanan-kiri sangat banyak, jarak antara rumah sangat dekat jadi dapat aku simpulkan Jalan Daisy ini lingkungan yang paling padat penduduknya di sekitar sekolah kami.

No. 18 ... 19 ... 20....

Rumah tersebut bercat putih sesuai dengan ciri yang diberikan oleh Sari. Rumahnya tidak terlalu besar, pagar hijau berkarat setinggi dadaku menjadi pelindung rumah ini. Di pekarangan depannya ada sebuah air terjun beserta kolam ikan mini yang sudah tak terurus dan kosong.

"Permisi. Assalam'mu alaikum, permisi!"

Pintu rumah terbuka dari balik pintu munculah seorang wanita paruh baya betubuh kurus, kulitnya putih dan berwajah sayu, seakan kesedihan itu menyedot semua auranya. Dia sedikit tersentak saat melihatku lalu tergopoh membuka pintu pagar.

"Selamat siang, Tante. Maaf mengganggu," kataku halus lalu mencium tangan kanan wanita yang aku tebak sebagai ibunya Citra.

"Nggak mungkin. Kamu Vanka kan? Bukannya kamu udah meninggal karena kecelakaan waktu itu?" Suara ibu itu terdengar tidak percaya.

"Saya Nantha, kembaran Vanka."

"Kembaran? Teman satu sekolah Citra juga?"

Aku mengangguk.

"Ayo, masuk, Nak."

Setelah dipersilahkan masuk, aku duduk di sofa ruang tamunya. Dalam rumah Citra sangat sederhana, di dinding rumahnya banyak foto keluarganya.

"Ibu senang masih ada teman Citra yang main ke sini, Ibu baru tau kalau Nak Vanka memiliki kembaran. Ibu kaget sekali tadi."

"Saya belum pernah ke sini sebelumnya, maaf Bu, saya belum pernah mendatangi rumah Citra sejak kejadian itu. Karena saat itu saya harus menjalani perawatan medis karena kecelakaan. Sekali lagi saya mohon maaf, Bu." Aku menggigit bagian dalam bibirku agar tidak bergetar hebat saat mengatakannya, tidak mudah aku mengatakan kalimat itu.

Setelah mobil terbakar hebat aku pingsan, dan keningku pendarahan hebat akibat terkatuk dashboard. Aku sadar dari siuman esok siangnya, sore hari itu juga pemakaman Vanka dilakukan. Jasad Vanka sudah tidak bisa dikenali karena terbakar, tapi dari kalung huruf J yang di leher Vanka bisa dijadikan bukti kalau mayat gosong itu adalah Vanka.

Pemakaman Citra baru bisa dilakukan 2 hari setelah penemuan karena polisi melakukan penyelidikan lewat otopsi jenazah Citra. Aku tidak hadir dalam acara pemakamannya, aku masih takut dan shock. Bahkan salah satu psikiater di rumah sakit tempat di mana aku dirawat, meminta para polisi yang ingin menyelidiki kasus kecelakaan mobil kami untuk tidak melibatkan atau meminta keterangan dari diriku dahulu. Meminta keterangan Pak Deden sudah cukup jelas.

Mata ibu Citra menerawang. "Setelah penemuan Citra itu banyak murid yang berdatangan untuk mengucap bela sungkawa. Saat Ibu menanyakan ketidakhadiran Vanka dan Ray, mereka mengatakan kalau Vanka sudah tiada. Ibu makin sedih dan drop sekali, semasa hidupnya Vanka sering bermain di rumah Citra sama Ray juga."

"Ray?" Aku membeo. Sedekat itu kah Vanka dan Citra sampai Ray juga diajak bermain di rumah Citra, ternyata mereka lebih dekat dan akrab dari yang aku kira.

Aku kira Vanka-Citra sebatas mengenal saja karena Vanka pernah menggertak Bella dan Dita yang membuli Citra. Sumpah, aku sama sekali tidak cemburu kalau Vanka lebih dekat dengan Citra bersama Ray juga. Mungkin dia tidak mau mengajak aku untuk menjaga perasaanku yang naksir berat sama Ray.

"Citra banyak bercerita tentang Vanka dan Ray yang sangat baik dan ramah kepadanya, Citra nggak pernah cerita tentang kelakuan anak-anak sekolah yang membulinya secara verbal, pernah pulang dalam keadaan basah kuyup. Saat ibu tanya, dia mengatakan habis dikerjain oleh teman-temannya karena ulang tahun."

EntangledWhere stories live. Discover now