BAB 9

16.6K 1.4K 102
                                    

Kami sudah memesan 2 mug Hot Chocolove (cokelat panas), 6 buah permen cokelat dan 2 porsi Affogato (ice cream dengan hot espresso), ini adalah menu pilihan Nino. Aku juga baru tahu ada menu sejenis ini.

Kami sama-sama terdiam sambil mengesap penuh nikmat hot chocolove. Aku memainkan sendok di gelas membuat Nino memajukan tubuhnya dan memperhatikan aktivitasku, ditatap seperti itu aku mendongakkan kepala.

"Muka kamu merah," komentar cowok itu.

"Panas tau," kilahku cepat.

Nino terkekeh kecil. Aku tidak mengerti, kadang cowok itu terlihat ceria, dingin, serius, seram, judes, sensitif dan aneh. Aku jadi tidak tahu bagaimana kepribadian aslinya.

"Kamu lebih manis sekarang," katanya singkat dan juga padat.

"Lebih manis dari sebulan yang lalu?" Aku tersenyum kecut, lalu mengaduk cokelat panas lagi dengan sendok kecil.

Dari bayanganku Nino menggeleng lemah. "Lebih manis dari 2 tahun yang lalu, mungkin kamu kaget atau bakalan terkena serangan jantung. Tapi Tha, aku memperhatikan kamu sejak SMP kelas 2."

Aku terperanjat hingga menghentikan aktivitas mengaduk, lalu menatap cowok di hadapanku ini dengan wajah cengo, dagu melorot, dan mulut terbuka.

"Hah???" Aku mendengus. "Salah orang kali. Aku punya kembaran, dia lebih anggun, supel, gaul, dan ramah. Mungkin yang kamu suka itu dia."

"Nggak mungkin! Kamu sekolah di SMP Indonusa, kan? Aku melihat kamu pas diajak teman mainku. Dia anak Indonusa, kamu kenal Satrio? Dia teman mainku."

"Teman main?" Aku mengulang dengan nada geli.

"Iya main, tapi bukan teman sepermainan seperti di lagu Duo Ratu Teman Tapi Mesra." Ulangnya memperjelas dengan konyolnya.

Aku hampir tersedak.

"Um ... kamu kocak. By the way, Satrio sekelas sama aku, jadi dia adalah teman main kamu?"

"Kocak dari mana? Kamu aja nggak ketawa. Iya teman, dia banyak cerita tentang kamu sekaligus mata rantai. Suatu hari saat aku lagi menemani ortuku makan masakan daerah, aku ketemu kamu. Anehnya kamu pakai rok pendek, serba matching warna pink, pakai bando. Saat aku sapa kamu malah bingung dengan wajah blank, trus tersenyum, lalu pergi."

Aku gelisah di bangkuku sendiri seperti duduk di atas bara api, Nino baru saja menceritakan pertemuannya dengan Vanka, jelas banget itu kembaranku.

"Emang penampilanku beda banget sama biasanya?"

"Kamu biasanya cemberut, dingin dan misterius. Itu yang aku tahu, makanya sejak saat itu aku jadi bingung."

Aku mengambil mangkuk yang berisi affogato sebelum meleleh. Nanti tidak enak lagi, aku mengaduk-aduk ice cream dengan espresso.

"Nino, yang kamu lihat di restoran makanan daerah itu kembaranku, Vanka. Dia sekolah di Bogor, mungkin saat itu dia lagi pulang ke rumah kami."

"Kembaran beneran??? Pantesan mirip tapi beda!" Nino memekik heboh. "Aku hampir percaya kamu punya sikap kaya kodok, amphibi, beda tempat beda gaya."

"Tapi Vanka sudah meninggal kecelakaan," ujarku sendu.

"Sori ... aku turut berduka cita ya, sori banget."

"No prob," gelengku lemah.

"Aku masuk SMA Indonusa biar ketemu kamu, abis info dari Satrio kamu nggak pernah pindah sekolah. Tapi, di hari pertama masuk sekolah aku nggak melihat kamu, aku kecewa banget tuh, aku udah nggak tahu lagi mesti gimana. Kabar burungnya kamu pindah untuk menetap di Bogor," kata Nino panjang lebar menceritakan semuanya, mengenai pengalamannya yang menyangkut diriku. Dia tersenyum manis, manis sekali.

EntangledWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu