Move #8

49K 7.5K 319
                                    


Chapter Delapan: Berakhir




    Yoyo mengangkat alis, masih berdiri di teras rumah itu memandang si gadis pemilik rumah yang membuka pintu rumahnya dan masih membeku dengan mata melebar.

"Elo... beneran dateng?" tanya Hanna tersendat tak percaya.

Yoyo mengerjap, "katanya lo belum makan," jawabnya dengan polos.

Hanna membulatkan mata. "Tapikan... ini udah malam Yo..."

Yoyo acuh saja, lalu mengacungkan bungkusan putih di tangannya. "Gue juga beliin martabak telor nih biar lo makan. Ini gue nggak disuruh masuk apa?" tanya dengan ekspresi memerotes.

"Eh, oh ya!" Hanna merutuk kecil, langsung mempersilahkan Yoyo memasuki ruang tamu lebarnya.

Keduanya duduk bersampingan di sofa putih gading Hanna dengan Yoyo yang mulai membukakan kotak kertas berisi martabaknya. Di sampingnya Hanna memandangi pemuda itu dengan tatapan masih terpukau tak menduga.

"Rumah lo sepi banget?"

Gadis itu terperanjat dan segera tersadar. Ia mengerjap, memandang Yoyo yang masih sibuk menyiapkan martabaknya.

"Ah, ya. Nyokap lagi ke Jepang, bokap ada sih. Tapi udah tidur," ucap gadis itu menunjuk ke arah sembarang, masih setengah sadar.

Mendengar itu, Yoyo mengangkat wajah. Tatapannya agak berbeda, memandang gadis itu lekat membuat Hanna agak merasa janggal.

"Elo... nggak punya adek atau kakak?"

Hanna mengangkat alis sejenak, lalu menggeleng kecil. Ia bisa membaca ekspresi Yoyo berubah perlahan. Membuat gadis itu tersenyum kecil. "Kenapa? Lo kasihan sama gue?"

Yoyo mendesah pelan, "elo nggak ngerasa kesepian?" tanyanya pelan dengan hati-hati.

"Kadang sih," jawab Hanna ringan, "apalagi kalau bokap tugas di luar."

Yoyo meredupkan kelopak matanya, kemudian tanpa kata langsung mengusap puncak kepala Hanna.

Hanna agak terkejut dengan gerakkan tiba-tiba itu. Matanya melebar kecil menatap Yoyo yang tersenyum lembut memandangnya.

"Hebat ya lo," puji pemuda itu tulus, "Lo bukannya ngeluh tapi jadi murid berprestasi di sekolah," kata pemuda itu tersenyum dengan kerlipan kagum.

Hanna terdiam. Ia bisa merasakan panas menjalar ke kedua pipi bulatnya.

"Beda sama si gitong," celetuk Yoyo menurunkan tangan tak lagi mengusap kepala Hanna membuat Hanna mengangkat wajah dan mengerutkan kening. "Dia sering tiba-tiba ke rumah gue, ngeluh rumahnya kosong lagi. Terus ngumpat-ngumpat sambil main pees."

Hanna tersenyum pahit, mengerti.

"Mungkin itu yang bikin lo sama Bobi deket ya, Han?"

Hanna terkejut, melebarkan mata menatap Yoyo.

"Kalian ngerasain hal yang sama."

Gadis itu terpaku. Ditatapnya Yoyo yang membalas tatapannya tepat. Hanna belum juga menjawab. Walau beribu pikiran berkelibat di otaknya. Dengan seutas kalimat sudah sampai di ujung lidah gadis itu. Wajah tampan dengan tatapan lembut itu membuatnya terbuai, hampir saja melontarkan semua tanpa ada lagi kepalsuan ataupun topeng.

Yoyo mengernyit membaca raut wajah Hanna. Pemuda itu agak memiringkan kepala menatapnya lekat, "Han? Hanna?" panggilnya yang tak dijawab Hanna, "woi!" serunya mengibaskan telapak tangan di depan wajah Hanna membuat Hanna berseru kaget dan tersadar.

2A3: Make A Move ✔ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang