Move#18

52.4K 7.3K 350
                                    


Chapter Delapan Belas: Pesona Mister Simon


          Hanna merunduk, memandangi layar hape membaca pesan baru hari itu. Ia menghela nafas pelan, mencoba sabar. Lagi-lagi mamahnya menanyakan tentang Ares, cowok jangkung yang kemarin dipertemukan dengannya. Mamah berkali-kali menawarkan Ares menjemput Hanna sekolah tapi Hanna buru-buru mengatakan dia akan pulang lama. Ares cowok yang baik dan ramah, tapi tetap saja Hanna tak bisa menerima begitu saja. Pemuda itu juga tak keberatan saat orangtua mereka sibuk memperkenalkan keduanya.

Hanna menyampirkan tas ke pundak lalu berdiri, mengikuti teman-temannya yang sudah lebih dulu keluar dan pulang. Gadis itu mau melangkah, tapi tersentak ketika cowok yang duduk di depannya itu menghadang langkahnya.

Yoyo menghembuskan nafas, memandangi Hanna lekat membuat Hanna mendelik bingung. Yoyo diam sejenak, lalu mengangkat tangan menempelkan telapaknya ke kening Hanna. Hanna makin tak mengerti.

"Ck. Elo nggak sakit, kan?" tanya Yoyo kini ganti mengecek suhu pipi bulat Hanna. "Seharian lo murung banget tahu."

Hanna mengangkat alis. Hatinya agar berdesir menyadari pemuda ini begitu memerhatikannya.

"What? Why? Kenapa?" tanya Yoyo menuntut. Kini ia jadi mengubah posisi benar-benar menghadap gadis itu. Sisa mereka berdua saja kini di kelas.

Hanna menghela nafas berat. Sebenarnya ia ingin sekali menjelaskan semuanya. Tapi hatinya masih merasa takut.

Yoyo mendekat. Kedua tangannya kini mencubit kedua pipi Hanna membuat Hanna mau tak mau mengangkat wajah. "Kenapa sih Han? Hm?" tanya Yoyo sambil memain-mainkan kedua pipi bulat Hanna yang bagaikan daging empuk dan kenyal.

Hanna mengerucutkan bibir sambil memegangi kedua tangan Yoyo agar menghentikan cowok itu menguwel-uwel wajahnya. "Ck, Yo," decaknya tak menjawab pertanyaan Yoyo.

Yoyo ikut memajukan bibir. "Ke rumah gue yuk!" serunya tiba-tiba membuat Hanna tersentak. "Gue masakin lasagna."

Mata Hanna melebar, terkejut. "Emang lo bisa?" tanyanya tak percaya.

Yoyo tertawa renyah, "selama ini gue udah belajar resepnya gara-gara itu makanan kesukaan lo!" katanya mengetuk pelan kening Hanna. "Kemaren udah sukses. Si Chua bahkan ngabisin. Padahal mah biasanya dia nggak pernah mau nyentuh masakan gue."

Hanna refleks tersenyum melihat bibir mencuat Yoyo saat mengomel tentang Chua.

"Yuk," ajak Yoyo langsung menarik lengan gadis itu. "Gue anter ke rumah lo dulu?"

"Nggak usah," jawab Hanna segera, "langsung ke rumah lo aja."

"Emang nyokap nggak nyariin? Katanya nyokap lo dah pulang," kata Yoyo menggandeng gadis itu keluar kelas dan melangkah bersama di koridor.

Hanna diam sejenak, "gue juga udah ngomong mama hari ini pulang telat..." jawabnya agak memelankan suara.

Yoyo mengernyit, "kok ngomong gitu? Padahal hari ini nggak ada kegiatan tambahan, kan?"

Hanna tak menjawab. Gadis itu hanya agak merunduk. Membuat Yoyo mengerti. Yoyo membenarkan jemarinya, menggenggam telapak tangan Hanna hangat. Ia agak merapat, tanpa kata menyodorkan diri tempat gadis itu bersandar.

Hal itu membuat hati Hanna berdesir. Perlahan ia melirik pemuda tampan itu. Selama ini, atau tepatnya sejak kepergian Arga, ego Hanna selalu memberitahunya bahwa Hanna bisa melakukan semua sendiri. Ia tak butuh siapapun untuk melalui semuanya. Tapi kehadiran Yoyo mengubah itu. Rasanya ingin mengadu bahwa selama ini Hanna sudah mulai lelah.

2A3: Make A Move ✔ ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ