3. Senyuman Tulus

35.1K 2.4K 68
                                    

05 Mei

Gue nggak tau apa bisa dia itu senyum secara tulus. Yang gue tahu dia itu jahil banget. Kalo disebut bad boy sih rasanya enggak. Kenapa? Liat aja sendiri, mukanya itu good boy banget. Dia bisa nipu orang pake muka good boy-nya dia yang gue akui sih emang unyu. Tapi, ini pertama kalinya gue liat senyum dia yang tulus. Jangan mikir kalo gue mulai suka sama Peanuts-_- No! Gue cuma 'sedikit' kagum. Iya, cuma sedikit 'kok'.

***

Hari ini, ia pulang terlambat. Ia terlambat karna berurusan dengan seseorang yang sudah mencari gara-gara dengannya tadi pagi. Dan saat pulang sekolah. Ia terpaksa meladeni orang itu untuk bertemu.

Iqbaal membuka pintu rumahnya. Seperti yang ia lakukan biasanya. Melepas sepatu dan meletakkan tasnya diatas sofa, lalu berjalan menuju dapur. Iqbaal harus menyiapkan bubur untuk kakaknya makan siang.

Ia terbilang cukup mahir. Dan Iqbaal tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat bubur. Satu mangkok bubur sudah siap dan ditemani segelas susu putih.

Iqbaal mengangkat nampan itu dan melangkah menuju kamar kakaknya yang berada di atas.

Tanpa mengetuk pintu. Iqbaal masuk begitu saja tanpa mengejutkan sang kakak yang duduk di kursi roda dan menghadap balkon yang pintunya sengaja dibuka lebar.

"Maaf kak, gue hari ini pulang telat lagi. Tadi gue ada urusan sebentar. Sekarang, kakak makan ya?" Iqbaal meletakkan nampan itu diatas meja di samping nakas.

Iqbaal menghampiri kakaknya dan duduk di tepi kasur. Hanya diam, menunggu kakaknya berbicara lebih dulu. Ia tidak pernah mau mengganggu kakaknya yang sibuk dengan lamunan yang entah seperti apa.

"Besok suster dateng, dia bilang mau ngajarin gue jalan." Laki-laki itu mencoba mengangkat sedikit kakinya. "Liat, gue udah mulai bisa gerakin kaki gue lagi. Bentar lagi gue sembuh."

Iqbaal menatap kaki kakaknya yang mulai bisa bergerak sedikit demi sedikit. Sebuah senyuman terukir manis menghiasi wajah tampan Iqbaal. Ia merasa bahagia melihat perkembangan itu. Tapi, seperti ada yang mengganjal di hatinya.

"Lo pasti sembuh, kak. Gue yakin seratus persen lo bisa jalan lagi dan lanjutin sekolah lo kayak dulu," ucap Iqbaal mencoba memberikan semangat pada kakaknya.

Kakak Iqbaal tersenyum kecil. "Iya, gue emang pasti sembuh dan bisa jalan lagi. Lagian, gue juga udah nggak sabar balik ke sekolah trus lihat dia lagi."

Iqbaal mengangguk dengan senyum penuh semangat. Membuat kakaknya lebih semangat lagi untuk sembuh. "Gue akan selalu jagain dia buat lo. Cepet kembali seperti dulu dan tinggalin kursi roda ini."

Kakak Iqbaal tiba-tiba diam ketika menyadari ada yang aneh dengan wajah adiknya. Luka lebam di tulang pipi Iqbaal terlihat begitu jelas.

"Ini kenapa muka lo biru-biru gini?" tanya Kakak Iqbaal dengan sorot mata menajam.

Iqbaal menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Tadi gue jatoh, jadi ya gini," jawab Iqbaal alibi.

"Jatuh? Lo serius! Lo jujur aja deh sama gue."

"Kak, gue nggak papa, ini luka kecil gara-gara gue kurang hati-hati pas bawa motor. Udahlah, lebih baik Kakak makan sekarang. Habis itu minum obatnya."

Iqbaal mendorong kursi roda Kakaknya mendekat pada meja tempat ia meletakkan bubur dan susu.

Iqbaal hanya berusaha mengalihkan perhatian Kakaknya dari luka lebam di tulang pipinya akibat berkelahi dengan salah satu teman Ari.

Karena menurut Iqbaal itu sama sekali tidak penting dan hanya membuang waktu.

***

I Love You Mr. Dhiafakhri [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang