4. Sebuah Rasa

31.6K 2.3K 75
                                    

25 Mei

Bareng dia itu rasanya nano-nano. Semuanya nyampur. Nggak tau gimana gue harus deskripsiin perasaan gue saat ini. Jangan mikir yang macem-macem. Perasaan gue masih sama kayak sebelumnya. Hate Peanuts...

***

(Namakamu) menghela napas, hujan deras masih belum berhenti mengguyur kota. Biasanya, ia akan senang menerobos hujan dan membuat seluruh tubuhnya basah kuyup karena air hujan.

Tapi beberapa hari terakhir kondosi tubuhnya sedang tidak fit, dan ia tidak mau mencari gara-gara dengan Ayahnya karena pulang dalam keadaan basah.

"Guys, gue duluan ya? Cowok gue udah jemput. Bye." Steffi melambaikan tangannya pada (namakamu) dan Salsha yang masih bersandar pada dinding koridor menunggu hujan reda.

(Namakamu) dan Salsha hanya melempar senyum tipis dan membalas lambaian tangan Steffi yang kini berlari menerobos hujan. (Namakamu) melirik jam tangannya dan berdecak kesal. Hujan masih sangat deras. Dan hari semakin sore. Sekolah sudah mulai sepi, hanya tersisa beberapa manusia di koridor ini yang menunggu hujan reda.

"(Namakamu), sori ya gue duluan, gue mau nerobos ujan aja. Lama kalo nunggu reda. Daah..." Salsha meletakkan tasnya diatas kepala dan kemudian berlari menerobos hujan seperti apa yang dilakukan Steffi sebelumnya.

(Namakamu) berdecak kesal. Steffi dan Salsha tega meninggalkannya sendiri disini. (Namakamu) menatap sekilingnya yang kini hanya tersisa satu manusia. Bahkan, satu-satunya manusia itu kini ikut berlari menerobos hujan seperti yang lain.

(Namakamu) melangkah kedepan. Berdiri di ujung koridor dan memperhatikan langit yang masih gelap. Ia menarik napas beratnya, merasakan dadanya yang masih sesak sisa sakit kemarin. Ia ingin menerobos hujan seperti yang lain. Tapi, itu tidak mungkin dengan kondisinya yang baru saja sembuh.

Sejenak, (namakamu) tertegun saat seseorang melebarkan jaket untuk menutupi kepalanya. (Namakamu) menatap kesisi kirinya dan mendapati Iqbaal tersenyum dengan alis terangkat beberapa kali.

"Gue anterin lo pulang. Lo nggak mungkin nunggu hujan reda. Biar gue payungin lo pake jaket gue," ucapnya.

(Namakamu) menyingkirkan lengan dan jaket Iqbaal dari kepalanya. "Nggak usah. Bentar lagi ujannya reda kok." Tolak (namakamu) dengan wajah berpaling dari tatapan Iqbaal.

"Lo mau sendirian disini? Kalo berani yaudah nggak papa. Gue balik duluan." Iqbaal memposisikan jaketnya di atas kepala dan bersiap untuk pergi.

Tapi, langkahnya tertahan saat (namakamu) mencekal lengannya. Iqbaal tersenyum melihat tatapan (namakamu) yang seperti memohon padanya.

"Iya deh gue ikut lo," ucap (namakamu) diakhiri dengan helaan napas.

Iqbaal tersenyum, lalu melepaskan jaketnya dari kepalanya dan kemudian menutupi kepala (namakamu) dengan jaketnya.

"Lo nggak pake?" tanya (namakamu).

Iqbaal menggelengkan kepalanya. Merentangkan tangannya lebih lebar agar jaketnya menutupi kepala (namakamu) sepenuhnya.

"Gue kan cowok, gue lebih kuat dari lo," jawabnya.

(Namakamu) menatap Iqbaal lebih dalam. Ia seperti bukan melihat Iqbaal. Laki-laki itu bersikap cukup manis. Entah apa yang tengah dipikirkan Iqbaal saat ini. (Namakamu) tidak pernah mengerti jalan pikiran Iqbaal.

Iqbaal mulai melangkahkan kakinya berbarengan dengan (namakamu). Sesekali, ia membenarkan posisi jaketnya agar (namakamu) terlindung dari hujan yang masih cukup deras.

I Love You Mr. Dhiafakhri [Completed]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora